Pagi hari.
Kabut terasa lebih tebal dari biasanya, Beni nampak menghela nafasnya panjang. Terlintas lagi sekelebat bayangan dalam ingatannya beberapa kejadian yang telah menjadi awal sejarah kelam dalam hidupnya.
Runtutan kejadian yang mengguncang jiwanya telah membenamkan diri kedalam lautan kenestapaan.
Dari studio yang terbakar hingga menghabiskan seluruh asset miliknya, dan kekasih yang telah pergi. Meninggalkannya dengan menikahi lelaki tua yang sudah beristri, membuat dirinya tidak dapat mengetahui lagi, apa yang menjadi tujuan hidupnya sekarang. Semua terasa begitu hampa, kosong. Seperti tatapannya saat ini.
Hati dan jiwanya sudah sangat lengkap diselimuti duka lara dan nestapa. Gelap terkurung diruangan hampa tanpa udara. Sesak sungguh telah memenuhi rongga dadanya.
Beni nampak malas-malasan, membereskan baju-baju dan semua barang yang akan dibawanya pulang ke Bandung. Rasa pilu yang bercampur kegelisahan itu telah mengoyak hati dan jiwanya yang memang sudah rapuh sebelumnya.
Dua buah tas yang cukup besar terlihat cukup padat dan menggelembung. Perlahan diraihnya tas-tasnya itu lalu menaruhnya dibawah lantai samping sepeda motornya itu.
Dari awal Beni datang ke kota kecil ini, Beni sengaja mengontrak sebuah rumah yang sudah lengkap dengan seluruh isinya, Jadi Beni tidak perlu repot lagi membeli segala macam barang perlengkapan rumah lainnya.
Langkahnya gontai menuju rumah Bu Neti yang mempunyai kontrakan tersebut untuk mengembalikan kunci kontrakan sekaligus berpamitan, kembali pulang ke kota asalnya.
"Bu, terima kasih sudah mengizinkan saya untuk tinggal di rumah ibu selama beberapa tahun ini. Sekarang saya mohon izin pamit pulang ke Bandung, salam baktos buat semuanya."
Beni berkata dengan suara yang pelan terdengar lirih, tidak terasa matanya mulai nampak berembun. Sedih, bingung dan kalut menghantam kondisi mentalnya, membuat fisiknya terlihat cukup memprihatinkan.
"Iya nak Beni, sabar ya. Semoga semuanya tergantikan dengan yang lebih. Hati hati dijalan, salam buat keluarga di bandung." Ucap Bu Neti sembari menyalaminya.
"Iya bu, terima kasih." Ucap Beni, lalu putar langkah menuju ke parkiran motor.
Tas-tas besar itu ia naikan ke jok belakang, diikatnya kencang sembari membuang nafasnya yang sudah terasa berat sedari tadi.
Beni sudah bersiap diatas jok sepeda motornya. Menyalakan mesin, lalu sekejap kemudian sepeda motor itu melaju dengan kencang. Dia ingin segera meninggalkan kota itu, meninggalkan semua kenangan pahit yang ada didalamnya.
___________________________________
Lembang dari dulu memang sudah dianugerahi hawa yang teramat sejuk, bahkan semilir anginnya yang lembut, sanggup membuat badan menggigil walau kabut yang tersebar luas diatas hamparan kebun teh itu sudah mulai menipis, tersibak hari yang merangkak perlahan, menyambut teriknya matahari.
Beni menurunkan gas, lalu berhenti di pinggir jalan. Dibawahnya nampak perkebunan teh yang berjejer rapih. Sejauh mata memandang, kedua bola matanya dibuat segar dengan warna hijau yang membentang luas. Semuanya nampak serasi dengan perpaduan biru awan di atas langit sana.
Tidak terhitung berapa banyak pohon teh yang berjejer rapih membentuk pola yang indah itu, desiran angin membuatnya meliuk-liuk genit bagaikan penari eksotis yang nampak horny diantara gundukan bukit-bukit kecil dibawah sana.
Hampir satu jam Beni menghabiskan waktu, duduk termenung di pinggir jalan itu. Kesejukan disana dengan pemandangan yang memanjakan mata itu nampaknya tidak sepenuhnya bisa menghapus kegetiran hatinya.
Luka yang begitu besar memang tidak akan mudah disembuhkan sesegera mungkin. Perlu kesabaran yang ekstra agar dapat kembali menata hati.
Setidaknya, Beni sudah mulai mau berusaha. Pelan-pelan bergerak maju, meninggakan segala kisah pahit didalam hidupnya, demi obati luka dijiwanya.
Sesampainya di bandung, Beni segera menuju pulang ke rumah Ibunya. Rumah yang sederhana itu membuat Bejo teringat masa remajanya, nampak senyum tipis terlihat di wajahnya.
Ada rasa rindu yang mengalir hangat, "Aahh ternyata aku sudah lama meninggalkan kota ini, apa kabar teman-teman sekolahku dulu ya" Batinya berkata dalam hati.
Dari dalam rumah, ibu keluar mendengar suara gerbang depan rumahnya terbuka.
"Nakk, kamu pulang sayang"
Ibu menghampiri Beni dan langsung memeluk anaknya itu.
"Sabar ya nak, mungkin rezeki kamu bukan disana"
Ucap ibu sembari memeluk Beni, anak lelakinya. Lalu dengan penuh kelembutan, ibu mengusap puncak rambutnya pelan, seolah ingin melebur kerinduan kepada anaknya itu, dengan hati yang pilu, ibu membelai wajah anaknya dengan kedua tangan yang sudah terlihat mulai keriput itu.
Rasa kasih dan sayang seorang ibu selalu terpancar dari sorot matanya yang teduh, seolah menyiratkan berbagai macam do'a. Berharap anak lelakinya itu tegar menghadapi semua masalah serta musibah hebat yang telah menimpanya.
Ibu mana yang tidak merasa sakit hatinya melihat kondisi anaknya seperti ini. Wajah Beni yang kusut itu tampak pucat, matanya terlihat membengkak, entah karena kurang tidur atau terlalu sering meneteskan air mata.
Ibunya tidak mengetahui, jika yang membuat dirinya seperti itu bukan hanya karena musibah kebakaran yang telah menimpa anaknya, tetapi lebih banyak mempengaruhi kondisi hatinya adalah karena kehilangan kekasih hati. Kekasih hati yang lebih memilih lelaki tua itu, membuat hati dan jiwanya semakin bubuk, hancur berantakan.
"Ayo masuk nak, ibu sudah siapkan makanan untukmu, setelah makan, kamu tidur istirahat ya!"
Ibu berjalan pelan sembari menggandeng tangan anaknya itu, membawa masuk kedalam rumah. Walau tertutupi senyuman, nampak sekali kesedihan dimatanya melihat kondisi anak lekakinya itu.
Andaikan suaminya masih ada, mungkin beliau akan berbagi kegelisahannya dengan suaminya. Berdua mencari solusi untuk anak mereka.
Ayahnya Beni sudah meninggal dunia 10 tahun yang lalu. Ketika itu Beni masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Kepergiannya memang sudah lama, tetapi terasa seperti baru kemarin mereka kehilangan sosok yang begitu mereka cintai itu.
Beni mengikuti ibu, melangkahkan kakinya pelan, terlintas kembali kenangan masa-masa kecilnya dahulu, dirumah ini.
Ibu menemani Beni makan, walau tanpa banyak cakap, ibu tahu betapa berat beban yang tengah dipikul anaknya kini, terlihat dari kurang semangatnya anak lelakinya itu malahap makanan di meja makan mereka. sesuap demi sesuap yang ia paksakan hanya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ditubuhnya.
"Bu, Beni tinggal dulu disini untuk sementara ya, sambil nyari kerja." Ucap Beni, setelah suapan terakhir itu masuk kedalam mulutnya.
"Tinggallah sesuka hatimu nak, ini kan rumah kamu juga." Kata Ibu sembari tersenyum.
"Makasih ya bu, maaf Beni belum bisa menyenangkan ibu." Ucap Beni tertunduk lesu.
"Lihat kamu sehat saja ibu sudah sangat senang nak, jangan terlalu difikirkan." Kata Ibu, kembali melingkarkan senyum tulus diwajahnya.
Beni mengangguk pelan, membalas senyuman ibunya yang selalu hangat itu.
Selesai makan, Beni pamit menuju ke kamarnya, lalu berbaring di ranjangnya yang dulu.
Kamarnya sama sekali tidak berubah, masih sama seperti dulu. Poster-poster pemain band luar seperti KoRn, Radio Head, Nirvana sampai Ramones memenuhi dinding-dinding kamarnya.
Fikirannya melayang-layang kemana-mana, sampai akhirnya matanya mulai berat, lalu tertidur pulas karena kelelahan yang luar biasa. Lelah fisik yang berat sekalipun dapat dia tahan, Tapi lelah hati dan jiwa ini sunguh sangat menyiksanya.