Chereads / remember that day / Chapter 1 - Bagian 1

remember that day

Galuh_Fifiana
  • 377
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 42.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bagian 1

Semua makhluk hidup yang ada di bumi pasti tidak akan hanya baik-baik saja, akan ada waktunya mereka menghadapi masalah atau cobaan. Airin, wanita yang hampir selalu baik-baik saja dalam hidup. Hingga suatu ketika dia harus merelakan kasihnya berubah. Bian telah membuatnya kecewa.

Airin harus menghadapi sidang perceraian sendirian. Dia tidak ingin orang tuanya terbebani, belum siap rasanya melihat kekecewaan di mata ayah dan ibu yang sudah renta saat mendengar kabar ini. Setelah persidangan, Airin mulai hidup dalam kesepian dan kekecewaan. Terpukul, pasti. Setiap saat selalu ada saja kenangan yang mampir dipikiraannya. Namun, semakin banyak kenangan datang semakin banyak pula kekecewaannya pada Bian. Airin harus pandai dalam menyikapi setiap kenangan yang sering muncul dengan tiba-tiba.

Resmi

"Sidang perkara perdata cerai gugat register nomor 0407/Pdt.G/2020/PA JS pada hari ini tanggal 4 Mei 2020 dinyatakan ditutup." Hakim ketua menutup persidangan.

Tok… tok… tok… tiga kali palu kayu diketuk, resmi sudah persidangan ditutup. Resmi pula Airin dan Bian menyandang gelar baru.

"Majelis Hakim akan meninggalkan ruang sidang. Hadirin dimohon berdiri." Petugas khusus mempersilakan hadirin berdiri untuk memberi penghormatan kepada hakim yang beranjak meninggalkan ruang sidang.

Dengan bibir yang semakin gemetar Airin beranjak dari posisinya berdiri untuk menghampiri Bian. Airin menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian dan keteguhan untuk sakadar bersalaman dan mengucapkan perpisahan pada Bian. Dia berharap setidaknya drama perpisahan ini bisa berakhir dengan baik. Namun, gayung tak bersambut. Bian justru memalingkan wajahnya dan mengubah posisinya membelakangi posisi Airin berdiri. Dia mengabaikan uluran tangan Airin seolah dia tidak melihat Airin berada dihadapannya.

"Ra, kita rayakan kebebasanku di caffe biasa ya?" ucap Bian pada seorang wanita yang secara terang-terangan digandengnya saat memasuki ruang persidangan.

Mendengar kalimat yang dilontarkan Bian, runtuh seluruh keteguhan yang sedari tadi susah payah Airin pertahankan. Seketika tubuhnya terpaku, tangannya menjadi lemas, bibirnya bergetar hebat hingga dia harus menggigit biarnya agar tidak terlihat bergetar. Dia datang hanya seorang diri, tanpa ada kawan, tanpa saudara, apa lagi orang tua. Bahkan karena tidak sanggup melihat kekecewaan di mata ayah dan ibunya, Airin belum menceritakan soal kandasnya rumah tangga mereka pada kedua orang tuanya di Yogyakarta.

Tuhan, inikah laki-laki yang aku percaya mampu menjagaku? Mengapa kini aku tidak mengenalinya? Mengapa dia bisa mengajak orang lain dalam persidangan ini sedangkan aku memberi tahu orang tuaku tentang semua ini saja aku tidak sanggup.

Setelah beberapa detik Airin terpaku, dia mulai mengumpulkan kesadarannya kembali dan berjalan meninggalkan ruang persidangan. Mobilnya terparkir di ujung lorong. Dia berjalan menyusuri lorong dengan kepala tertunduk. Langkahnnya cepat.

Sampai di dalam mobil Airin benar-benar tidak sanggup membendung air matanya. Hatinya hancur mengingat semua yang dia alami hari ini. Suara ketukan palu dan bacaan putusan hakim terus terngiang ditelinganya. Tidak pernah terlintas dipikirannya akan berpisah dengan orang yang begitu dia cintai, apalagi berpisah karena perceraian. Perceraian adalah hal yang takpernah terlintas sedetikpun dipikirannya. Dia masih berpikir ini mimpi buruk, mustahil rumah tangganya bisa berakhir dengan perceraian hanya dalam waktu 3 tahun.

Airin mulai menyalakan mesin mobilnya, ia memacu mobilnya meninggalkan pengadilan agama dengan kecepatan tinggi untuk melampiaskan emosi hingga tidak peduli jika dia dapat terluka karena hal itu. Beruntung jalanan cukup lengang siang ini. Dia bebas menguasai jalanan.

15 menit kemudian Airin sudah memasuki basement apartemen. Dia sampai dengan selamat di apartemen barunya. Sebelum keluar dari mobil dia merapikan rambutnya, merapikan pakaiannya, menyeka air matanya, kemudian berlatih tersenyum di depan spion. Dia menarik napas panjang sebelum membuka pintu dan menyapa penjaga apartemen yang ramah.

"Selamat siang, Bu Airin. Sepertinya tadi ada tamu yang menunggu Ibu di lobby," ucap salah seorang penjaga.

Sambil berlalu, Airin hanya membalas dengan senyum dan anggukan.

"Rin!" Seorang pria bertubuh gagah memakai stelan jas rapi bangkit dari sofa.

Dengan jelas Airin tahu siapa pria itu. Dia adalah Alif, sahabat yang Airin temukan sejak masih bersekolah dibangku sekolah menengah atas. Dia sekarang juga rekan kerjanya di perusahan konstruksi, namun Alif lebih sering dinas keluar kantor dan terjun langsung di lapangan. Hanya seminggu dalam sebulan dia ke kantor untuk melaporkan semua perkembangan proyek dan mengadakan rapat.

Alif sudah berdiri tepat dihadapannya. Dia memegang pundak Airin dan menghela napas. Airin mendongan untuk menatap Alif dan tersenyum dengan seadanya.

"Hai, Lif. Kamu sudah kembali dari Bangka?"

"Sudah. Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang ini, Rin? Kenapa aku harus mendengar