Chereads / remember that day / Chapter 6 - Bagian 6

Chapter 6 - Bagian 6

"Kamu lapar apa doyan?" canda Alif.

"Dua-duanya." Airin menyeringai. "Lif, bungkus 1 boleh, ya?"

"Boleh-boleh. Kecil tapi makanya banyak, ya?"

"Buat nanti malam Lif kalau laper lagi di apartemen. Daripada aku makan mie instan, kan?"

"Iya, boleh."

Kondisi jalan sudah mulai lengang. Kemacetan pasti sudah berakhir. Alif dan Airin melanjutkan perjalanannya kembali.

"Terima kasih, Rin. Selamat beristirahat, sampai jumpa besok." kata Alif.

"Sama-sama, Lif. Terima kasih ya nasi gorengnya. Hati-hati di jalan."

"Sama-sama. Aku pulang dulu, bye…."

"Iya, bye…." mobil Alif kembali melaju meninggalkan apartemen Airin.

Airin menaiki lift. Dia tersenyum melihat nasi goreng yang dibawanya. Sampai di apartemen dia langsung membersihkan dirinya. Menghapus make-up, mandi, keramas, kemudian mengganti pakaian.

Selesai membersihkan diri, Airin menuju dapur. Dia memindahkan nasi gorengnya ke piring. Dia tidak berniat untuk makan lagi, dia hanya ingin melihat nasi goreng itu dan mengenang kenangannya.

Saat itu Airin sedang tidak enak badan. Badannya lemas, seharian dia hanya bisa beristirahat di kosnya. Dia juga tidak punya nafsu makan. Sejak pagi Bian menghubungi Airin namun tidak ada jawaban. Bian mencari Airin di kelasnya, namun teman-temannya mengatakan bahwa Airin tidak masuk kelas hari ini. Bian ingin menemuinya ke kos tapi dia hari ini kerja lapangan, tidak bisa membolos. Seharian Bian hanya mengkhawatirkan Airin dan tidak bisa fokus dengan apa yang sedang dia kerjakan. Setiap ada kesempatan dia selalu mengirim pesan atau menelpon Airin tapi selalu nihil.

Pukul 7 malam Bian selesai kerja lapangan. Dia langsung tancap gas menuju kos Airin. Dalam waktu singkat dia sudah berada di depan gerbang kos Airin. Bian menelpon Airin beberapa kali namun tidak juga dijawab. Seorang penghuni kos keluar untuk membuang sampah.

"Mbak, mbak… boleh minta tolong?"

"Iya, Mas. Apa yang bisa saya bantu?"

"Mbak kenal Airin? Dia kos di sini. Dari pagi saya hubungi tapi dia tidak menjawab, boleh tolong panggilkan?"

"Ooh, Airin. Sebentar ya, Mas. Mas masuk dulu aja, tunggu di teras. Saya panggilkan Airin dulu." dia kemudian membukakan gerbang untuk Bian. Dia masuk untuk memanggil Airin. Tak lama dia keluar lagi dengan wajah yang cemas. "Mas, Airin sakit. Ayo masuk aja, Mas! Saya temani."

Mereka berdua kemudian masuk ke kamar Airin. Badan Airin demam tinggi. Wajahnya pucat pasi. Bian segera memanggil taksi online untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat.

"Mbak, saya sudah pesan taksi online. Kita bawa Airin ke rumah sakit terdekat. Saya minta tolong Mbak untuk ikut kami ke rumah sakit, ya?"

"Ya, Mas."

Airin diperiksa oleh dokter, beruntung dia tidak perlu melakukan rawat inap. Airin hanya kelelahan. Dokter memberi Airin suntikan vitamin dan resep obat yang harus ditebus. Diperjalanan pulang tiba-tiba Airin ingin memakan nasi goreng.

"Mas Bi, mau nasi goreng." bisik Airin lirih.

"Oh, iya. Boleh, Rin. Makannya di kos aja, ya?" Bian senang Airin sudah bisa membuka mata dan berbicara. "Pak, mampir ke restoran Magelangan Bu Sri sebentar ya?"

"Ya, Mas." kata sopir taksi.

"Sebentar ya, Pak?" Bian turun untuk membeli nasi goreng. Dia kembali dengan 4 bungkus nasi goreng ditangannya. Dia memberikan 1 bungkus untuk sopir taksi dan 1 bungkus untuk teman kos Airin. Sisanya untuk mereka berdua.

Airin digendong oleh Bian memasuki kamar. Ditemani oleh teman kos Airin, Bian menyuapinya di dalam kamar.

"Makan yang banyak ya, Rin? Cepet sehat. Aku tadi seharian khawatir loh sama kamu. Kamu nggak kasih kabar dan kamu juga nggak bisa dihubungi. Besok lagi jangan begini, ya?" kata Bian sambil menyuapi Airin.

"Maaf, Mas."

"Iya. Habis makan, diminum obatnya, terus tidur."

"Makasih ya, Mas? Makasih ya, Linda?"

"Iya, Rin. Maaf aku tadi nggak tahu kalau kamu seharian sakit, baru tahu tadi setelah mas ini minta aku buat manggilin kamu."

"Nggak apa-apa, Nda."

Nggak nyangka aku bisa ketemu lagi sama nasi goreng ini. Nggak nyangka juga tadi bisa ketemu sama Mas Bian. Tapi kenapa ya tadi Mas Bian seperti itu? Airin memegang pergelangan tangan kirinya.

Kesepakatan baru

Sebelum pukul 12 siang Alif sudah duduk disalah satu meja menunggu kedatangan Bian sambil menyeruput secangkir kopi. Dia menunggu ketidakpastian. Bian akan datang dengan gentle atau cukup menjadi pecundang dengan tidak memenuhi undangan dari Alif.

Sudah lebih dari Pukul 12 siang, namun Bian belum datang juga. Alif berniat untuk meninggalkan tempat itu, dia pikir Bian tidak akan datang. Namun ketika Alif hendak beranjak pergi, Bian menghampiri mejanya.

"Maaf, tadi macet. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" Bian langsung memulai pembicaraan.

"Begini, Mas. Aku mau, mulai sekarang Mas jangan ganggu Airin lagi."

"Kenapa begitu? Apa hakmu?"

"Mas, kamu lupa dengan kesepakatan kita dulu?"

"Ingat."

Kesepakatan yang mereka bicarakan adalah kesepakatan mereka 6 tahun yang lalu. Saat itu Airin sudah dekat dengan Alif dan Bian. Bedanya dimata Airin, Alif adalah sahabat yang sangat dia sayangi sedangkan Bian adalah laki-laki yang ingin dia jadikan kekasih.

Sehari setelah Bian dan Airin resmi menjadi sepasang kekasih, Alif menemui Bian tanpa sepengetahuan Airin. Mereka membuat kesepakatan itu. Dengan besar hati Alif mulai menjaga jarak dengan Airin. Dia memberikan ruang sepenuhnya untuk Bian. Dia rela berkorban memendam dan memupus harapannya akan Airin sejak itu.

Bertahun-tahun dia menjaga Airin dari kejauhan. Dia melihat Airin jalan-jalan berdua dengan Bian, mengerjakan tugas dengan Bian, dan melakukan banyak hal lain dengan Bian. Hingga akhirnya peluang Alif benar-benar tertutup saat Airin dan Bian memutuskan untuk menikah. Hatinya benar-benar hancur mengetahui hal itu, tetapi dia tetap terlihat bahagia saat menghadiri pernikahan Airin dan Bian. Dia rela menyakiti dirinya sendiri asalkan Airin bahagia.

Tapi, kini peluang Alif untuk mewujudkan asanya bersama Airin kembali terbuka. Kekecewaannya pada Bian dan perasaannya pada Airin yang terpendam selama ini mendorongnya untuk berani memperjuangkan Airin kembali. Dia akan melakukan apapun untuk bisa melindungi Airin lagi.

"Berarti kamu juga sadar kalau kamu sudah melanggar kesepakatan itu, kan?"

"Tapi…."

"Mas… Mas… Kesepakatan kita, aku melepaskan Airin karena aku percaya kamu bisa menjaganya. Selama kamu bersamanya aku tidak boleh mengganggu kalian. Tapi sekarang bagaimana keadaannya? Kamu nggak bisa menjaga Airin, kamu justru melukainya. Kamu membuang dia begitu saja. Sadar, kan?"

"Lif…." Bian tidak bisa berkata-kata. Dia menyadari semua yang Alif katakan benar adanya. Penyesalan mulai menguasai dirinya. Dia tertunduk lesu.

"Nggak, Mas. Biarkan aku yang menjaganya lagi seperti sebelum dia bertemu dengan kamu waktu itu." Alif kemudian pergi meninggalkan Bian.

"Aku menyesal… aku menyesal… aku menyesal, Rin…." Bian terus mengulang ucapannya lirih. Dia menyesali apa yang telah dia lakukan kepada Airin. Dia tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba ingin bercerai dari Airin dan mengencani wanita lain.

"Alif…!" panggil Airin dari pintu utama kantor. Dia menghampiri Alif yang sedang merokok di area khusus merokok.

"Ada apa?"

"Nanti… makan malem di apartemenku, ya? Aku masakin steak. Ya, itung-itung buat syukuran apartemen baru… gimana?"

"Boleh juga, tuh."

"Jam 7 aku tunggu di apartemen."

"Ok."

"Aku pergi dulu. Jangan lupa…!" kata Airin sambil berjalan memasuki kantor.

"Iya…!"

New beginning

Setelah pulang dari kantor, Airin segera berbelanja di supermarket terdekat. Dia sudah menyiapkan daftar belanja agar tidak ada bahan masakan yang terlewat. Airin sudah mendapatkan kembali semangat untuk memasak dan menjalani kehidupannya kembali.

Hanya perlu menerima keadaan, berdamai dengan masa lalu dan mengikhlaskan Mas Bian, maka aku akan bisa bahagia dengan memulai yang baru. Lebih baik aku menjalani hari ini dan merencanakan masa depan, daripada aku merenungi hari kemarin dan semakin terpuruk.

Makan malam sudah siap di atas meja makan. Tinggal menunggu Alif datang. Sambil menunggu, Airin terus saja merapikan meja dan pakaiannya. Dia bahkan memakai riasan tipis untuk mempercantik penampilannya. Malam ini Airin seperti seorang wanita yang sedang menunggu kekasihnya untuk makan malam romantis.

Kriiiiing… kriiiing… kriiiing….

Tiba-tiba tempo detak jantung Airin menjadi semakin cepat. Dia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. "Ya, Lif?"

"Halo, Rin. Aku sudah di loby."

"Naik aja ke lantai 4, unit 402."

"Ok."