Chereads / remember that day / Chapter 3 - Bagian 3

Chapter 3 - Bagian 3

Bian dan Airin menikmati kopi ditemani dengan pemandangan yang luar biasa. Laut biru terbentang luas. Suara deburan ombak terdengar halus. Angin-angin pesisir. Sempurna bersama orang yang tercinta. Airin kembali tersenyum. Sepertinya Airin perlahan sudah mulai dapat berdamai dengan keadaan.

Setelah selesai minum kopi Airin segera bersiap untuk ke kantor. Walaupun kantor mengizinkan dia untuk mengambil libur selama 3 hari, dia tidak ingin pekerjaannya menumpuk karena terlalu sibuk dengan urusan pribadinya. Sehari saja libur pasti sudah membuat pekerjaannya menumpuk.

Hari baru

"Selamat Pagi, Lif!" sapa Airin dari belakang kursi Alif.

"Heh…! Kok kamu udah masuk? Nggak ambil libur aja?" Alif memutar kursinya.

Airin memutar kursinya dan memperlihatkan tumpukan kertasnya di meja, "Kerjaan aku udah numpuk begini, kamu bisa lihat sendiri."

"Yasudah. Eh, nanti sore ngopi yuk!"

"Ok! Kerja dulu."

"Ok! Aku meeting dulu."

Airin dan Alif kembali meneruskan pekerjaan mereka. Airin mulai berusaha fokus membuka-buka filenya. Menyusun list pekerjaan mana yang harus dia selesaikan lebih dahulu. Baru selesai membuat skala prioritas, tapi sudah tiba jam makan siang.

"Rin, mau ke kantin nggak?" tanya salah seeorang kawan.

"Iya, sekalian yuk!" ajak seorang lainnya.

Airin tersenyum. Awalnya dia berencana untuk tidak pergi makan siang, takut nanti teman sekantornya akan banyak bertanya soal Bian. Namun, Airin membesarkan hatinya. Dia berjalan mendekati rombongan.

Selama makan siang tidak ada seorang pun yang menanyakan soal Bian. Mereka justru asik membahas anak-anak mereka. Airin tidak nyaman. Dia belum dikarunia anak, tetapi dia sudah harus berpisah dengan Bian. Dia tidak dapat menyelesaikan makan siangnya.

"Aku duluan, ya… ." Airin pamit pada teman-temannya untuk kembali ke ruangan.

"Kok buru-buru, Rin?"

"Mau bikin kopi dulu, bye…."

"Bye…."

Saat Airin akan membuka pintu pantry, tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Ternyata Alif yang membuka pintu. Mereka berdua sama-sama terkejut kemudian tertawa. Alif mempersilakan masuk dan memberi jalan pada Airin.

"Silakan, Nyonya…." candanya.

"Terima kasih, Pengawal." Airin balas meledek sambil berlalu.

"Jangan lupa nanti sore, ya?"

"Iya…."

Waktu yang ditunggu-tunggu semua karyawan tiba, pukul 5 sore waktunya pulang kantor. Alif menghampiri meja Airin untuk mengajaknya pergi. Café yang akan mereka tuju adalah Café Latte, lokasinya tepat ada di depan kantor.

"Lif, aku tahu kamu pasti mau tau soal Mas Bian. Tapi sekarang semua masalah sudah selesai dan sekarang juga aku sudah baik-baik saja. Ya, aku akui kemarin aku sempat kacau. Tapi aku sudah bisa mengatasi semuanya. Aku tidak memungkiri kalau aku memang masih sangat kecewa dengan Mas Bian. Aku juga masih belum ikhlas dengan perpisahan ini. Emmm… tapi aku udah rela kalau Mas Bian tidak lagi bisa aku peluk karena bukan suamiku lagi. Hari ini aku sudah memulai kisah baruku di lembaran baru di buku baru. Aku sudah menjadi Airin yang baru dengan status baru. Janda, hahaha… ."Airin tertawa.

"Pokoknya kalau kamu mau cerita apapun, butuh apapun, bilang sama aku. Kamu tahu aku selalu ada buat kamu. Aku nggak akan maksa kamu untuk cerita atau datang ke aku. But if you need me, I am here." Alif tahu sahabatnya ini tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja, tetapi dia tidak akan memaksa agar Airin bercerita kepadanya. Dia tahu bahwa Airin ingin mejaga privasi masalah rumah tangganya, itu haknya. Jika Airin ingin bercerita, dia pasti akan bercerita tanpa diminta. Niatnya mengajak Airin pergi minum kopi bukan untuk mencari tahu kebenaran cerita yang dia dengar, tapi dia hanya ingin membuat sahabatnya tidak merasa sendirian. Dia ingin Airin tahu bahwa ada dirinya yang akan selalu ada untuknya.

"Aku tahu." Airin tersenyum.

Mereka melanjutkan menikmati kopi dan membicarakan hal-hal lain selain masalah perceraian Airin dan Bian. Jika mereka sudah mengobrol, mereka tidak akan pernah kehabisan topik pembicaraan. Akan ada saja yang mereka bicarakan, mulai dari masalah besar sampai hal-hal receh.

2 jam sudah mereka bercengkrama di dalam café. Kopi mereka juga sudah habis diseruput. Airin dan Alif memutuskan untuk pulang. Mereka kembali ke basement kantor untuk mengambil mobil.

"Mau aku kawal dari belakang, Rin?"

"Ndak perlu, Lif. Sayang bensinnya."

"Baiklah."

"Aku duluan, ya?" kata Airin sambil membunyikan klakson.

"Hati-hati! Jangan ngebut!" Arif segera memasuki mobil. Dia menyusul Airin dan membuntutinya dari kejauhan. Dia ingin memastikan Airin aman sampai ke apartemennya.

Setelah 15 menit berkendara, akhirnya mobil Airin sudah memasuki basement apartemen. Arif berhenti di depan gedung. Dia menghela nafas lega. Kekhawatirannya jika Airin akan berkendara dengan sembrono, hilang kendali dan membahayakan nyawanya.

Morning, Sunshine

Sinar matahari mulai membuat mata Airin tidak nyaman. Airin kemudian terbangun dari tidurnya.

"Selamat pagi, Mas… ." kata Airin yang masih setengah sadar. Setelah matanya sukses terbuka dia baru menyadari bahwa dia hanya sendiri di atas ranjang. Dia tersenyum, namun air matanya juga menetes.

Masih aja susah membiasakan kebiasaan baru. Mas Bian, aku kan jadi harus membiasakan kebiasaan baru. Padahal udah nyaman dengan kebiasaan lama.

"Morning sunshine" suara halus Bian masih terngiang ditelinga Airin. Biasanya suara dan kecupan Bian menyapanya setiap pagi. Tapi kini suara yang menenagkan dan kecupan yang memberi energi untuk menjalani hari sudah tidak ada lagi.

Sebelum semakin larut dalam bayang-bayang masa lalu, Airin segera menghapus air matanya dan bersiap untuk bekerja. Airin berniat berangkat lebih pagi agar dia sempat mampir membeli sarapan dulu ke warung bubur ayam khas Cirebon langganannya dan Bian.

Tanpa berlama-lama, setelah rapi dengan pakaian formal dan riasan tipis Airin langsung menuju warung bubur ayam langganannya. Warung itu sejalan dengan jalan menuju kantornya. Biasanya dia bersama Bian beli sarapan di sana.

"Pagi, Bu. Buburnya 1, ya?"

"Iya, Neng. Tumben cuma 1, Neng. Suaminya ndak sekalian?"

Airin tersenyum, "1 saja, Bu. Dibungkus, ya?"

"Biasanya makan di sini, Neng. Tuh meja yang biasa kosong."

"Sedang buru-buru mau ke kantor, Bu."

"Oooh… . Sebentar ya, Neng?"

"Iya, Bu."

Airin duduk di salah satu kursi. Dia memandang ke sudut favoritnya dan Bian. Meja di bawah pohon kamboja dengan sebuah bangku panjang. Sekarang tempat itu kosong, tapi dia bisa melihat dirinya duduk bersama Bian bahagia menikmati setiap suapan bubur. Mata Airin mulai berkaca-kaca mengingat kenangan itu. Rasa kecewa pada Bian semakin bertambah. Airin tau ini tidak boleh terjadi, tetapi dia belum bisa menghentikan rasa itu. Semakin dia berusaha untuk berhenti, rasanya justru semakin sakit menusuk hatinya.

"Neng, ini buburnya." sambil menyodorkan sebungkus bubur ayam.

"Neng…" ibu itu memanggil Airin dan memegang bahunya.

"Eh, iya Bu." Airin tersadar dari lamunannya.

"Lagi banyak pikiran, ya? Neng, baik-baik aja?"

"Iya, ndak apa-apa. Ini uangnya, Bu. Terima kasih. Saya permisi."

"Iya, Neng. Sama-sama. Hati-hati di jalan, Neng!"

"Iya, Bu."

Airin melanjutkan perjalanannya ke kantor. Konsentrasinya menyetir sedikit terganggu. Dia berkali-kali melirik bubur ayam yang dia taruh di kursi samping. Bukan karena dia sudah lapar, melainkan dia masih terus teringat dengan kenangan yang berhubungan dengan bubur itu.

Kriiing … kriiiing … kriiiing… Handphone Airin berdering.