"Hallo, Lif. Ada apa?"
"Hallo, Rin. Udah sarapan? Sarapan bareng, yuk!"
"Aku udah beli sarapan tadi, mau aku makan di pantry. Ini masih di jalan."
"Beli apa?"
"Biasa, bubur ayam khas Cirebon langgananku sama Mas Bian."
"Oooh, aku mau ngomongin sesuatu. Aaku tunggu di Kantor, ya? Hati-hati bawa mobilnya! Bye …!"
"Ok, bye…."
Airin kembali berkonsentrasi pada mobilnya. Dia melihat jamnya sudah menunjukkan pukul 07.40 WIB. Segera dia menambah kecepatan mobilnya agar dia sempat bertemu Alif dan sarapan di kantor.
5 menit kemudian Airin sudah sampai di basement kantor. Dia langsung menelpon Alif mengabarkan padanya bahwa dia sudah sampai dan memintanya menuju pantry.
"Hai, Lif. Maaf ya ngobrolnya di sini aja, biar aku bisa sekalian sarapan. Mau ngomongin apa? Emmm… 5 menit cukup, kan?"
"Iya, bentar aja. Kamu itu kalau mau ngomong makannya berhenti dulu bisa, kan? Mulut penuh begitu dipakai ngomong, mana cepet lagi temponya. Awas tersedak nanti! "
"Iya, bawel amat kaya emak-emak."
"Nah, kan. Kalau dikasih tau, ngeyel."
"Maaf. Jadi mau ngomong apa?"
"Temenin aku kondangan ke temen SMP aku di Bandung, ya? Hari Minggu, jam 8 pagi aku jemput ke apartemen. Tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun. Titik."
Airin belum sempat menjawab karena mulutnya terlalu penuh dengan bubur dan kerupuk.
"Bye, aku ke proyek dulu. Sampai jumpa hari Minggu." tambah Alif.
Airin berusaha mengunyah makanannya dengan cepat agar bisa menolak ajakan Alif. Namun Alif sudah menghilang di balik pintu. Yasudah… Airin pasrah. Selesai dengan sarapannya dia menuju ke ruang kerjanya.
Kesempatan dalam ketidaksengajaan
Hari Minggu pagi. Matahari masih enggan membagi sinarnya. Airin sudah bangun dan menikmati secangkir kopi di depan TV. Dia ingat hari ini dia akan menemani sahabatnya ke Bandung.
Kriiiing … kriiiing… kriiing….
"Iya, Lif. Kenapa?"
"Bangun! Jangan lupa hari ini temenin ke Bandung."
"Iya, bawel. Ini udah bangun, aku minum kopi dulu baru mandi."
"Hehehe…. "Arif terkekeh.
"Ketawa ya, Anda? Dah, aku mandi dulu."
"Iya. Jam 8, nggak ada jam karet!"
"Iya."
Airin segera bersiap untuk mandi. Dia membuka almari dan memilih gaun mana yang hendak dia pakai. Dia melihat gaun warna putih berenda. Gaun ini dibelikan oleh Bian khusus dipakai untuk menghadiri pernikahan salah seorang teman kuliah Bian. Sebenarnya saat itu Airin sudah membeli kebaya modern di butik, namun Bian mengatakan bahwa kebaya itu kuno jadi dia membelikan Airin gaun. Sebenarnya Airin tidak menyukai gaun itu karena agak terbuka dibagian punggungnya. Dia merasa itu bukan gayanya, tapi Bian tidak menghiraukan pendapatnya. Terkadang memang Bian suka memaksakan kehendaknya pada Airin. Airin mengeluarkan gaun itu dari almari. Dia mencoba baju itu di depan kaca. Dia ingat saat memakai gaun itu, Bian memujinya cantik.
"Bidadari cantik dari mana ini?"kata Bian.
"Mas bisa aja." jawab Airin dengan malu-malu.
"Nona cantik sudah ada yang punya, kah?" Bian semakin senang menggoda Airin. Bian senang ketika Airin mulai slah tingkah di depannya.
"Sudah. Milik Abang Bian seorang." dengan manja Airin memeluk Bian.
Hmmmm…. Masih pagi tapi aku sudah teringat dia lagi. Airin melipat gaun itu kemudian memasukkannya kedalam kardus bersama dengan beberapa pakaian lain yang akan dia donasikan. Dia kembali memilih pakaian di dalam almari.
Kriiiiing… kriiing… kriiiing….
"Ya, Lif?"
"Aku udah di bawah. Buruan nanti telat."
"Iya. Aku turun."
Airin menghampiri Alif yang sedang mengobrol dengan security di dekat pintu utama. Alif tampil rapi dengan setelan jas slimfit warna abu-abu. Terlihat berbeda dari biasanya. Dia juga mencukur rambut gondrongnya, terkesan jadi lebih muda. Apalagi jambangnya juga sudah dipotong dengan rapi.
"Lif, yuk!"
"Eh, Rin. Ngagetin aja." Alif terpana dengan penampilan sahabatnya itu hari ini. Biasanya cantik tapi kali ini cantiknya berbeda. Kebaya itu membuatnya semakin terlihat anggun, pesonanya terpancar. "Emmm…Udah siap?"
"Udah."
"Pak, saya jalan dulu ya?" Alif menjabat tangan security.
"Siap, Pak. Hati-hati di jalan ya, Pak. Hati-hati di jalan, Bu."
"Iya, Pak." Alif dan Airin menjawab dengan bersamaan.
"Mari, Pak." kata Airin.
"Iya, Bu."
Alif membukakan pintu mobil untuk Airin.
"Tumben, ada angin apa nih?" kata Airin heran.
"Sekali-kali."
Mobil Alif mulai melaju menjauhi apartemen. Di dalam mobil, Alif mulai melirik-lirik ke arah Airin. Airin yang asik bermain game di handphone mulai menyadari lirikan-lirikan Alif.
"Kenapa, Lif? Kamu nggak pernah lihat orang main game?"
"Kamu nggak pusing apa main HP di mobil?"
"Nggak." Airin mematikan handphone-nya dan sedikit memutar badannya menghadap ke arah Alif. "Lif…."
"Hmmm…"
"Tumben, keren. Kena angin apa sampe mau potong rambut gonderong kebanggaanmu itu? Ini juga jenggotnya jambangnya jadi rapi gini. Kelihatan deh keturunan Arabnya. Tumben banget. Pasti ada apa-apa. Cerita dong, Lif! Udah ketemu sama cewek yang sesuai kriteria, ya? Nanti ceweknya pasti dateng ke acara, nih… soalnya kalau nggak ada apa-apa, kamu nggak akan totalitas seperti ini. Udah ketakar kamu, Lif… Lif… ."
"Ini, anak. Kalau udah ngomong,kaya nggak ada remnya. Sahabatnya udah jadi keren begini, bukannya dipuji malah diragukan terus. Tumben tumben terus dari tadi."
"Loooh… kan, memang dalam sejarah pertemanan kita ini aku belum pernah lihat kamu seperti ini. Dinikahanku sama Mas Bian apa kamu serapi ini? Kan, nggak."
"Hmmm… Jadi, intinya bagus nggak penampilan baruku ini?"
"Bagus, Lif. Cocok sama kamu. Keren. Aku suka lihat kamu serapi ini. Dua jempol buat kamu."
"Suka?"
"Iya."
Alif tersenyum mendengar jawaban Airin. Dia kemudian bertekad untuk selalu tampil rapi karena Airin menyukainya.
"Kamu udah sarapan? Aku beli roti, minuman, sama camilan. Ada di kursi belakang."
"Bilang dari tadi dong, Lif. Aku kan laper." Airin mengambil sekantong makanan yang dibeli Alif. Dia mengambil roti yang sangat familiar. "Wiiih…. Ini roti kesukaanku, kan? Masih inget aja."
"Iya lah. Gimana mau lupa? Kamu kan selama 4 tahun kuliah di Jogja tiap hari sarapannya itu terus."
"Nggak tiap hari juga kali, Lif. Aku makan, ya? Kamu mau juga? Ini, buat kamu…."
"Thank you, Rin."
Airin memakan roti itu dengan lahap. Dia makan sambil senyum-senyum teringat saat masih kuliah kalau sudah kehabisan nasi kuning atau bubur langganannya, dia akan lari ke minimarket di depan kampus untuk membeli roti ini. Tidak jarang juga karena dia terlambat bangun dan harus buru-buru karena kelas pagi, roti ini adalah solusi daripada tidak sarapan dan harus merasakan sakitnya maag.
"Rin, kamu cantik."
"Baru sadar, lif? Kemana aja kamu?"
"Maksudku, biasanya kamu cantik tapi kali ini cantiknya beda."
"Kamu lagi ngegombalin aku?" Airin mencondongkan badannya ke arah Alif. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centimeter.
"Mundur-mundur…! Kaya anak kecil, nggak bisa duduk tenang.Ganggu konsentrasi menyetir… ." Alif menyembunyikan gugupnya dengan mengomel.
"Sorry…." Airin kembali duduk dan memakan rotinya sambil tertunduk persis seperti anak kecil yang baru dimarahi orang tuanya.
Alif melirik Airin yang terdiam seketika. Airin masih terlihat cantik walaupun sedang merajuk seperti sekarang. Alif tidak bisa menahan tawanya.
"Benar-benar seperti anak kecil. Aku bercanda, Airin. Lanjutkan makanmu, ya…." Alif mempercepat laju mobilnya. Dia tidak ingin terlambat menghadiri janji suci temannya.
Mobil mereka mulai memasuki area pesta pernikahan. Banyak mobil berderet di sana. Airin melihat salahsatu mobil yang tidak asing, namun dia tidak menghiraukannya. Mobil seperti itu pasti banyak di Indonesia. Alif segera memarkirkan mobilnya karena mereka sedikit terlambat. Tempat parkir terlihat lengan, hanya ada petugas parkir dan beberapa orang lainnya. Sepertinya semua tamu sudah berada di dalam.
Alif dan Airin berjalan berdampingan. Terlihat serasi. Mereka seperti pasangan pengantin. Bagi yang tidak mengenal mereka, pasti mereka akan terlihat seperti sepasang kekasih. Airin terlihat agak kesulitan berjalan karena paving di tempat parkir memiliki model yang berlubang sehingga dia harus hati-hati dengan heels-nya saat berjalan. Melihat hal itu Alif mengulurkan lengannya, menawarkan Airin topangan. Airin menyambutnya dengan baik.
Arin tidak menyadari bahwa dia masih terus memegang lengan Alif saat berjalan memasuki venue. Semua mata memandang mereka. Salah seorang teman Alif mengangkat lengan dan memintanya menempati kursi di sebelahnya. Alif mengajak Airin berjalan menuju deretan kursi paling depan. Airin berjalan sambil terus menggandeng lengan Alif. Tidak ada yang dia kenal selain Alif di sana.