Pembangunan sebuah rumah sedang dilakukan di atas tanah yang begitu luas. Para pria sedang sibuk membantu, para wanita sibuk menyiapkan hidangan. Sementara anak-anak asyik bermain.
"Suamimu kerja apa sih di kota, Har? Kok ya baru sebulan udah bisa beli tanah dan bangun rumah" tanya salah satu tetangga Harini
"Yo aku ndak tau, mas Bayu ndak pernah cerita karo aku"
"Takutnya suamimu malah ikut pesugihan, Har. Kamu tau sendiri, bayarannya yo tumbal"
Harini mulai memikirkan perkataan tetangganya tadi. Ia takut apa yang dikatakan tadi ada benarnya. Karena selama ini Mas Bayu, suaminya, seperti menutupi sesuatu darinya.
**
Di gubuk dekat sungai dan hutan, Widati sedang menyiapkan makan siang. Cokroatmojo kembali dari hutan membawa sekarung umbi-umbian. Widati menghampiri suaminya itu.
"Dari mana saja kamu mas? Tadi kang Bayu nyariin kamu"
Raut wajah Cokroatmojo berubah menjadi sinis saat mendengar nama Bayuaji disebut. Ck, bajingan. Gumamnya.
"Adit mana bu?"
"Adit tadi main sama Bagas dan Adi di rumahnya"
Cokroatmojo meletakkan karung berisi umbi-umbian itu dan berjalan ke arah rumah Bayuaji yang sedang dibangun. Terlihat Aditya, Bagaskoro dan Adiluwih sedang bermain gundu, Bagas menyadari kehadiran Cokroatmojo.
"Bapakmu wis balik, Dit"
Aditya segera menghampiri Bapaknya. Ia tau bahwa saat ini pasti Bapaknya akan memarahinya habis-habisan.
"Bapak"
"Ayo balik nang umah"
"Tapi aku lagi main sama mereka, pak"
"Turuti kata bapak"
Akhirnya Aditya pulang bersama Cokroatmojo.
**
Malam itu, desa diguyur hujan rintik. Suara jangkrik dan katak terdengar bersahut-sahutan. Sorotan lampu minyak terpancar dari gubuk yang tak jauh dari hutan. Suara langkah kaki berhenti tepat di depan pintu kayu usang.
Tok...tok...tok..
Cokroatmojo membuka pintu tersebut. Pria gagah tengah berdiri di hadapannya sekarang. Dia Bayuaji. Sahabat karibnya di desa ini. Tapi itu dulu.
Cokroatmojo tetap mempersilahkan Bayuaji masuk dan duduk. Mereka saling bertatapan. Bayuaji tersenyum.
"Nang ndi Adit?"
"Opo sing mbok lakoni nang kene? Cepet mulih!" suara lantang itu mengagetkan Widati yang sedang berbaring di bilik dengan cahaya samar-samar.
"Aku teka mrene, kanggo ndeleng anakmu, dheweke melu aku wae. Kanggo uripe seneng"
"Sampeyan mikir anakku ora seneng nang kene?"
Bayuaji tertawa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan. Melihat kondisi Cokroatmojo yang jatuh miskin dan harus tinggal di dekat hutan jauh berbeda dengan kehidupannya sekarang.
"Sing pertama nggawe aku kesasar yo sampeyan. Mula baline masrahake anakmu marang aku"
Widati mendengar percakapan mereka. Cokroatmojo menyeret Bayuaji untuk keluar dari rumahnya.
"Yen sampeyan bakal nandhang sangsara, cepet mulih, aja bali manih mrene"
Cokroatmojo menutup pintunya. Bayuaji berjalan pergi dan lenyap di kegelapan. Dari kejauhan terlihat siluet merah mengamati gubuk itu. Widuri keluar dari kamarnya dan menghampiri suaminya.
"Ono opo pak?"
"Koe mlebu. Baturi Adit, aku arep metu"
"Nggih, pak"
Cokroatmojo pergi ke dalam hutan di tengah malam.
***
Ratih sedang bersiap dengan barang-barang pindahannya sambil menunggu travelnya datang.
"Aku nggak mau pindah sebenarnya, Wid. Tapi melihat kondisi ibu, mau bagaimana lagi"
Kini ia terlihat begitu lesuh.
"Pasti keputusan ini baik untukmu dan ibumu, Rat"
"Tapi aku nggak bisa jauh dari sini, Wid. Dari kecil aku tinggal disini sama ibu, tanpa seorang bapak. Ibu bahkan mampu membesarkanku"
Tiba-tiba dari luar gerbang ada seorang pria berdiri disana.
"Permisi"
Widuri membuka gerbang. Pria itu tersenyum dengannya.
"Iya. Masnya cari siapa ya?"
Ratih datang menghampiri mereka. Pria itu adalah Cakraminata. Teman sekampus Ratih.
"Walah Cakra, kamu kok bisa tau rumahku disini?"
"Sebetulnya kemarin aku mau balikin buku ini ke kamu. Jadi pas kamu pulang aku ngikutin kamu sampai di gang depan. Jadinya pagi ini mau aku balikin langsung"
"Kalau gitu ayo mampir dulu"
"Maaf aku buru-buru, lain kali aja ya"
Saat Cakraminata hendak pergi, Ratih menghentikannya.
"Eh tunggu dulu, kenalan dulu sama temanku, namanya Widuri"
"Hai, aku Cakraminata" ulur tangan Cakraminata pada Widuri tapi tak diresponnya
"Sampai jumpa, Rat"
"Dahhh hati-hati"
Cakra melangkah pergi. Widuri kembali menutup gerbang dan duduk di bangku. Ratih menghampirinya.
"Gimana tadi? Gantengkan?"
Widuri tertawa kecil "Gantengan juga Pak Mulyo"
Ratih cemberut. Pak Mulyo adalah petugas penjaga di kampusnya yang amat jahil apalagi pada Ratih. Walaupun dia tau kalau Pak Mulyo adalah teman akrab ibunya.
Prangg!!!!
Sebuah gelas jatuh terdengar dari arah dapur. Widuri dan Ratih bergegas melihatnya. Iswari tengah memungut pecahan gelas yang jatuh tadi.
"Ibu, sudah, biar Ratih saja yang bersihkan" sambil menuntun ibunya untuk duduk di kursi.
Saat mereka membersihkannya, air tehnya berwarna hitam pekat dengan aroma yang begitu busuk dan amis. Aneh. Pikir Widuri.
Suara klakson mobil membuyarkan pikiran Widuri tentang teh dan kejadian semalam. Mobil travel pesanan Ratih sudah datang. Mereka segera berkemas.
Ratih memberikan secarik kertas kepada Widuri.
"Ini alamat rumah baruku, Wid"
"Hati-hati ya Ratih dan tante Iswari. Semoga di rumah baru kalian bisa merasa nyaman dari sebelumnya"
"Kalau gitu tante dan Ratih pergi dulu ya"
Mobil travel itu pergi meninggalkan Widuri sendirian. Ia berjalan keluar dari setapak jalan yang menghubungkannya dengan rumah milik Ratih. Di ujung gang ia melihat seorang pria duduk dengan menghisap satu batang rokok. Pria itu Cakraminata. Untuk apa dia duduk di situ dan sedang menunggu siapa.
Widuri pergi begitu saja melewati Cakraminata. Cakraminata mengikuti langkah kaki Widuri yang semakin lama semakin cepat.
"Wid, tunggu"
Widuri tetap berjalan tanpa memperdulikan panggilan Cakraminata.
"Tunggu Wid. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan"
Widuri berhasil naik di angkutan umum. Cakraminata terlihat begitu kesal dan napasnya terengah-engah akibat jalan dengan cepat.
Sial. Bajingan. Gumam Cakraminata. Membuang puntung rokoknya dan menginjaknya dengan begitu keras.