Bagaskoro, putra sulung tuan Bayuaji. Ia tengah belajar menanam tumbuhan bersama ibunya di halaman belakang rumahnya. Bagaskoro anak yang penurut, begitulah Bayuaji mengatakannya.
Di kamarnya, Bagaskoro sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan dia bawa untuk pergi ke sekolah besok pagi. Malam ini, dia mengambil salah satu buku dan mulai membacanya. Tapi suara bising dari luar kamar mengganggu konsentrasinya. Padahal hari sudah semakin gelap. Bagaskoro keluar dan mencari sumber suara tersebut berasal dari kamar adik perempuannya Utari.
Dia berfikir bahwa kedua adik laki-lakinya sudah tertidur. Tapi kenapa Utari malah membuat keributan di tengah malam. Untung saja, Bayuaji saat ini tidak ada di rumah. Ia tidak tahu apa yang ayahnya kerjakan di luar sana. Beliau selalu pergi dan jarang ada di rumah.
Pintu kamar Utari terbuka sedikit. Dari celah pintu, Bagaskoro dapat melihat Utari tengah menangis dan ada seorang pria bersamanya, seperti Adiluwih, adiknya. Pria itu berjalan keluar, dengan tergesa-gesa Bagaskoro kembali ke kamarnya. Menutup rapat pintu dan duduk dikasurnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi apa benar itu adiknya? Adiluwih dan juga Utari? Apa yang mereka lakukan?" pikir Bagaskoro.
Keesokannya, Bagaskoro dan adik-adiknya pergi ke sekolah masing-masing. Seperti biasanya Adiluwih selalu mengantar Utari ke sekolahnya terlebih dahulu. Sementara Bagaskoro dan Cakraminata, mereka berangkat dengan sepeda mereka masing-masing. Namun kali ini, Bagaskoro mengikuti Adiluwih dan juga Utari. Anehnya, Adiluwih memilih jalan ke arah kebun milik Cakraminata.
Di sebuah gubuk tertutup, mereka masuk ke dalamnya. Terdengar suara rintihan Utari. Bagaskoro yang mendengarnya merasa jijik. Lalu ia segera pergi dari sana. Sejak saat itu kejadian di gubuk itu selalu mengganggu pikirannya.
Bagaskoro pulang dari mengaji. Dia melihat Adiluwih sedang mengajarkan sesuatu kepada Cakraminata. Bagaskoro tidak memperdulikan hal itu dan ia segera masuk ke dalam kamarnya.
Sejak saat itu, Bagaskoro menjadi seorang yang diam dan juga dingin.