Di rumah Bayuaji, Harini dan ketiga putranya cemas menunggu kedatangan Bayuaji. Sejak 5 tahun yang lalu, Bayuaji menghilang dan meninggalkan mereka berempat. Harini juga kehilangan anak perempuannya yang masih bayi tatkala itu.
Beberapa hari yang lalu, ada pesan singkat dari Bayuaji bahwa dia akan datang setelah sekian lama. Suara klakson mobil memecahkan keheningan di antara mereka berempat. Harini dan ketiga putranya segera keluar rumah. Dilihatnya ada sebuah mobil baru terparkir di halaman rumahnya.
Turunlah Bayuaji dan seorang gadis kecil berusia lima tahun. Bayuaji menghampiri keluarganya. Ketiga putranya segera memeluk Bayuaji.
"Bapak pergi kemana? Kok nggak pernah pulang"
"Bapak nggak sayang kita ya?"
Harini menitikkan air matanya. Ia tak percaya Bayuaji akan kembali.
"Mas, kemana kamu selama ini? Kami cemas memikirkan keadaanmu"
Bayuaji memeluk dan mengecup kening istrinya.
"Ra usah khawatir. Aku juga pergi nggak sendirian. Anak kita bersamaku"
"Anak?"
"Iya Har, dia putrimu. Aku membawanya pergi bersamaku, agar si Cokroatmojo itu tidak berani menyentuhnya"
"Memangnya kenapa mas dengan kang Cokro?"
"Dah nanti aku cerita. Sekarang kita masuk ya"
Mereka masuk ke dalam rumah. Bayuaji memperkenalkan Utari kepada ketiga kakaknya. Bagaskoro dan Cakraminata terlihat cuek pada Utari. Tapi tidak dengan Adiluwih, dia bahkan mengajak adik perempuannya itu untuk berkeliling rumah.
Cakraminata menghampiri ibunya di dapur yang sedang menyiapkan makanan.
Sementara Bagaskoro dipanggil oleh Bayuaji untuk menemuinya di kamar.
"Bagas putraku"
"Iya pak"
"Kamu sebagai yang tertua di sini, harus menjaga adik-adikmu ya"
"Iya pak. Tapi pak, Utari itu benar adikku?" tanya Bagaskoro yang masih tidak percaya.
Bayuaji tersenyum kecut.
"Kenapa kamu bisa menanyakan hal itu?"
"Utari bukan adikku. Adikku memiliki tanda dibawah dagunya, Utari tidak memilikinya. Dia anak orang lain kan pak?, aku bisa melihat tubuhnya memang Utari tapi jiwanya telah tergadaikan"
Mendengar jawaban dari putranya itu, Bayuaji segera menutup pintu kamarnya. Bagaskoro diperintah untuk duduk di sampingnya.
"Dengar ya nak, mau dia adikmu atau bukan. Sekarang dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita"
"Bapak menggadaikan jiwanya untuk kekayaan?"
"Bagas, kenapa kamu lancang seperti ini"
Bagaskoro segera bangkit dan pergi dari sana. Dia mengunci dirinya di kamar.
Adiluwih sibuk menceritakan beberapa tempat di rumah itu. Utari begitu antusias mendengarkannya. Harini memanggil semuanya untuk makan siang. Tapi Bagaskoro tidak hadir.
***
Beberapa tahun kemudian, keempat anak Harini dan Bayuaji beranjak remaja dan dewasa. Utari tumbuh menjadi gadis cantik dan sederhana. Dia gadis yang rajin dan penurut.
Hari itu, Adiluwih sedang merebahkan dirinya di kamar. Bayuaji sibuk dengan pekerjaannya di kota. Cakraminata sibuk belajar untuk melanjutkan pendidikannya di kota. Sementara Bagaskoro dan Harini pergi ke pasar.
Utari baru saja kembali dari sungai setelah mandi bersama teman-temannya. Masih dengan menggunakan kain. Dia berjalan ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Utari melintas di kamar Adiluwih.
Adiluwih menyadari bahwa adiknya telah kembali. Segera dia menghampiri Utari di kamarnya. Memaksa masuk. Tapi Utari menolak.
"Buka Tari, biarkan kang mas masuk"
"Jangan kang mas, Tari lagi ganti baju"
"Ah,, pelit sekali adikku ini"
"Ia sebentar lagi kang mas"
Adiluwih memainkan tipu dayanya.
"Tari, tadi pagi kang mas lihat di kamarmu ada tikus"
Sontak saja Utari membuka pintu kamarnya. Adiluwih menerobos masuk dan menutup pintu kamarnya.
Adiluwih memaksa Utari untuk melayaninya.
"Kang mas mau ngapain? Jangan kang mas"
"Sebentar aja"
Adiluwih mendorong dengan sekuat tenaga tubuh Utari ke atas kasur. Utari berusaha untuk melawan, tetapi tenaga Adiluwih lebih kuat dibandingkan dirinya.
Sejak saat itu, Adiluwih selalu melecehkan adiknya itu. Hingga Utari mengalami keguguran beberapa kali.
Adiluwih dan Utari mereka melakukan hubungan terlarang. Jiwa yang ada di dalam tubuh Utari ternodai. Jiwa itu murka pada Adiluwih.
***
Widuri dipersilahkan untuk tidur di kamar Utari.
"Sementara waktu, kamu tidur bersama Utari dulu ya"
"Iya bu, terima kasih atas bantuannya"
Malam itu Widuri tidak bisa tidur. Ia begitu gelisah dan merasa tidak nyaman. Ia mencoba untuk memejamkan mata, tapi terganggu dengan suara kedukan tanah di luar rumah. Widuri bangun dari ranjang dan berusaha untuk melihat apa yang terjadi di luar.
Disingkapnya sedikit penutup jendela, gelap. Tidak ada siapa-siapa. Widuri kembali ke ranjang dan lagi-lagi suara kedukan itu kembali terdengar.
Widuri merasa ingin ke kamar mandi. Segera dia bergegas. Rumah Bayuaji cukup besar. Tapi sayangnya penerangan di sini cukup minim. Beberapa sudut rumah terlihat gelap. Bulu kuduk Widuri menegang.
Setelah dari kamar mandi, Widuri kembali mendengar suara kedukan tanah. Arah suara itu dari halaman belakang rumah. Ia kembali mengintip dari jendela.
Sunyi dan sepi. Sampai matanya tertuju di samping gubuk tua. Widuri melihat seorang pria sedang menggali sesuatu. Dari galian itu, pria itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tanah. Bau busuk segera menyerbu hidung Widuri. Pria itu tampak lahap menikmati segumpal daging dari tanah.
Pria tersebut menyadari bahwa ada seseorang yang mengintipnya. Pria itu membalikkan tubuhnya dan melirik ke arah Widuri. Menyeringai dengan gigi penuh dengan darah. Sontak Widuri berjalan mundur, sampai tertabrak seseorang. Dia adalah Bagaskoro.
Bagaskoro memandangnya dengan tatapan dingin. Widuri masih syok dengan apa yang dia lihat.
"Sedang apa kamu malam-malam di sini?"
"Aa...aku, hanya pergi ke kamar mandi"
"Cepat kembali ke kamar"
Widuri segera meninggalkan Bagaskoro.
Widuri kembali ke kamar. Utari ternyata sudah bangun.
"Mba Wid dari mana?"
"Aku dari kamar mandi"
"Ketemu Kang Bagas?"
"Ii...iya"
Widuri merasa heran kenapa Utari bisa tau bahwa dia tadi bertemu dengan Bagaskoro.
"Kang Bagas memang suka bangun di jam-jam seperti ini mba. Dia rajin ibadah. Sayangnya dia harus terkunci hidupnya di sini"
"Maksudnya?"
"Maksudnya, dia terus mengabdi untuk menjaga adik-adiknya. Padahal sudah banyak lamaran untuk kang Bagas. Tapi kang Bagas selalu menolak"
"Oh, begitu"
"Yaudah mba, aku mau tidur lagi"
Mereka pun melanjutkan tidurnya.
***
Matahari terbit dengan menyinari desa Sarijati. Begitu terlihat damai dan tentram. Cahaya matahari menembus kamar Utari. Widuri masih terlihat terlelap dalam tidurnya. Di dalam tidurnya dia bermimpi suara tangisan bayi memenuhi ruang kamar Utari. Berisik, berisik sekali.
Widuri dapat melihat seorang pria berperawakan tinggi tengah membungkus sesuatu dengan kain putih. Terlihat bercak-bercak darah dipembungkusnya. Rintihan tangis seorang wanita yang berselimut. Darah segar menetes.
Wanita itu berkata dari balik selimut
"Sudah kang mas, jangan lakukan ini"
"Aku sudah bilang jangan sampai ini terjadi. Tapi selalu saja ini terjadi"
"Bagaimana kalau bapak dan ibu tau?"
"Jangan sampai mereka tau. Kalau sampai itu terjadi, bukan hanya jabang bayi ini yang ku bunuh. Tapi juga kamu Tar"
Saat pria itu hendak pergi keluar, wanita itu tertawa. Tertawa dengan lirih.
"Dasar pria bajingan"
Pria itu menghentikan langkahnya lalu mendekati wanita itu dan mencengkram lehernya.
"Apa yang barusan kamu katakan Tar? Berani kamu sama kang mas?"
Wanita itu meronta-ronta minta untuk dilepaskan. Cengkraman pria itu semakin kuat. Tiba-tiba saja, wanita itu menarik dada pria itu lalu menyobek daging yang menutupi bagian dada. Pria itu kesakitan.
Wanita itu tertawa. Terlihat beberapa organ tubuhnya. Lalu didorongnya pria itu menghantam ke tembok. Tubuhnya remuk. Mengeluarkan darah segar. Wanita itu tertawa terbahak-bahak.
Widuri terbangun dengan nafas tersenggal-senggal. Ternyata itu hanya mimpi. Kenapa dia memimpikan Utari dan siapa pria itu? Widuri makin memiliki banyak pertanyaan. Dilihatnya jam dinding menunjukkan jam delapan pagi.
"Aku kesiangan ternyata"
Widuri segera bangkit dari ranjang dan mulai membersihkan diri. Setelah itu dia datang menemui Utari di dapur. Ternyata dia sedang menyiapkan makan siang.
"Mba udah bangun? Lelah sekali ya mba?"
"Sepertinya begitu Utari"
"Semalam mba nggak mimpi burukkan?"
Widuri terdiam sejenak.
"Nggak kok, dimana bu Harini?"
"Ibu pergi ke pasar sama kang Bagas"
"Boleh aku ikut membantumu?"
"Nggak perlu mba, mba sarapan saja dulu"
"Nanti aja deh aku sarapannya, nggak apa-apa kok"
"Yaudah kalau mba memaksa"
***
Cakraminata sedang duduk membaca sebuah buku di perpustakaan. Ratih datang sambil membawa tasnya.
"Hay, tumben banget kamu mau dateng ke perpustakaan?"
"Karena ada kamu"
"Sekarang kamu yang ngegombal ya"
Mereka tertawa.
"Cakra, aku kayanya nggak bisa ikut deh"
"Kenapa? Widuri nggak mau diajak?"
"Bukan. Malahan aku belum bilang sama dia. Widuri lagi pulang kampung. Semalam dia barusan kasih tau aku"
"Pulang kampung?"
"Iya"
Cakraminata merasa khawatir jika Widuri sampai datang ke desa Sarijati. Semuanya bisa kacau. Sebelum semuanya terjadi, Cakraminata harus memastikan apakah Ratih adalah anaknya bi Iswari.
"Yaudah kalau kita batalkan saja ya"
"Jangan dong. Aku mau ikut pesta itu. Kalau kamu mau jemput aku di rumah, pasti ibu ngebolehin"
Cakraminata mengangguk.