Suasana cafe itu tampak riuh. Mereka mendapati tontonan yang menegangkan di sana. Beberapa lelaki yang melihat tindakan Ana tampak puas karena Ari telah mendapatkan ganjarannya.
" Jangan kau pikir, karena aku punya perasaan terhadapmu, aku gak bisa lakuin hal-hal gila kaya gini!! Kau tau, aku beneran muak sama tingkahmu yang kaya anak-anak itu.
Gak bertanggung jawab, gak ada usaha!! kau pikir selama ini aku nurut dan diam sama perbuatan kamu, itu karna aku takut kehilangan kamu? ngak ri!! aku gak takut kehilangan kamu!! sedikit pun gak Ri!! kamu mau kita putuskan? yes.. mulai hari ini kita gak ada ikatan apa-apapun lagi. Aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Paham!!" teriak Ana yang kemudian merampas tasnya yang sedari tadi ada di sandaran kursi dan pergi berlalu dari cafe yang telah ia buat heboh itu.
Tak berselang lama, lelaki itu juga berlalu, meninggalkan kami yang masih terpaku dengan sajian pemandangan dramaris yang begitu mengejutkan kami.
" Hen, kawan kau galak ya," cetus Rony saat keadaan mulai kondusif.
" Gak galak juga sih jujur baru ini aku liat dia marah. Dulu dia gak kaya gitu,"
" Massa?" ucap Fery yang ternyata juga tertarik dengan pembahasan kami.
" Sumpah. Setau aku Ana itu anaknya penurut banget. Baik, lembut dan gak neko-neko. Dan aku gak tau dari mana sikap dia tadi,"
" Gak tau tu, jadi cewek kok kasar banget," cetus Tio.
" Dia bukan kasar. dia itu membela diri. Siapa coba yang mau di perlakukan kaya gitu di depan orang banyak?"
" Kok kamu bela dia sih yank?" protes gadis itu sambil memunculkan wajah cemburu yang menyebalkan.
" Lah, terus Fery harus ngomong apa? kan emang benar, Ana kaya gitu karena ia mau membela diri," ucapku sewot.
" Gak usah ikut campur deh Hen," balasnya.
" Udah-udah, Apaan sih, gara-gara masalah orang lain kalian mau ribut," ucap Rony menengahi.
Aku sendiri kaget melihat Ana, dia yang selama aku kenal adalah gadis yang lembut dan sedikit pendiam, bisa memiliki keberanian seperti itu.
Tetapi paling tidak dia tidak seperti gadis lain yang buta karena perasaan mereka pada kekasihnya.
Aku memandang gambaran diriku yang muncul di depan kaca. Aku mendapati gadis cantik dengan pipi kirinya yang merah.
Aku berjanji, ini adalah tamparan terakhir yang aku terima dari lelaki, aku tidak perduli dengan kesalahan apapun yang aku perbuat, tetapi mereka tidak boleh menamparku lagi.
Aku tidak tau, apakah hal itu akan berubah menjadi trauma dalam diriku, hanya saja aku tidak iklas sama sekali dengan apa yang aku dapatkan dari prilakunya.
" Ana... aku pulang," ucap Henny yang baru saja pulang dari tempat nongkrong tadi.
" Hei... udah balik," ucapku yang sedikit tidak enakan.
" Iya... capek juga,"
" Mmm... Hen, aku minta maaf ya,"
" Kenapa?"
"Iya... soalnya tadi aku pergi gitu aja, dan gak pamitan pula,"
" Ouh... Aku pikir apa. Gak papa kok, kami semua maklum,"
Aku tersenyum getir.
" Eh... waktu pulang tadi dia gak ngikutin kau kan?"
" Gak kok,"
" Oiya... An, aku mau ada rencana nih, kantor kan ngasih kami kaya rumah gitu buat di huni, kebetulan yang mau itu cuma kita berempat. Aku, Rony, Fery sama Tio, dan rumah itu masih ada 2 kamar lagi, kau ikut ya..." pinta Henny sambil mentapku dengan penuh harapan.
" Mess gitu ya?"
" Iya, cuma rumah yang lumayan gede gitu. mau ya?"
" Em... aku pikir-pikir dulu deh Hen, lagian aku gak enak, aku bukan dari perusahaan yang sama dengan kalian, kok aku bisa ikutan masuk kesana. bisa abis kalau ketauan,"
" Gak akan. tapi ya udah deh kalau kau masih mau pertimbangkan. Oiya... sama satu lagi, weekend nanti itu ulang tahunnya Rony, kau harus ikut ya.."
" Nggak minum-minum kaya kemarin kan?" tanyaku sambil menatapnya dengan tatapan curiga.
" Ya enggaklah."
" Ya udah deh," ucap ku pasrah.
Aku memang tidak paham bagaimana caranya menolak keinginan anak ini.
Ari tampak kesal sambil terus menerus menatapi layar ponselnya.
Ia tampak berusaha untuk menghubungi gadis yang sedari tadi ingin ia ajak bicara.
Tubuhnya berbau alkohol, dan tidak ada satu orang pun yang tau, sudah berapa botol minuman keras yang ia teguk habis dalam hitungan kurang dari 1 menit.
" Ari, ngapain dari tadi disini?!! gabunlah sama yang laib," ajak Delon salah satu teman akrab Ari.
" Akh... sudah tinggalkan aku, aku ingin sendiri. aku tidak ingin di ganggu,"
" Kau kenapa sih? masalah cewekmu lagi?" tebak Delon.
Ari hanya diam.
" Hmm... tapi tumben sih dia gak nyariin kau, bisanya dia sibuk nelponin aku,"
"Kau punya nomor Ana?" tanya Ari tiba-tiba.
" Iya, aku punya. Tapi aku gak pernah kok ganggu cewek kau,"
" Bukan masalah itu, coba kau telpon nomor dia, tapi jangan bilang aku yang suruh,"
" Kenapa?"
" Kau telpon aja, kayanya dia blokir nomorku,"
" Ouh... ya udah, bentar ya," ucap Delon yang kemudian menelpon nomor Ana.
Nomor itu tersambung, hanya saja Ana tidak segera mengangkat ponselnya.
" Bangs*t, udah berani dia sekarang,"
"Kalian kenapa sih?"
" Tolong telpon lagi Lon, sampe dia angkat," pinta Ari dengan kesal.
Delon hanya menghela nafas. Ia tau bagaimana sikap seorang Ari jika ada sesuartu yang membuat ia kesal.
" Halo," terdengar suara lembut dari Ana.
" Halo Na, dimana?"
" Lagi di kos aja sih Del, ada apa ya?" tanya Ana.
" Gak, agak lain aja, biasanya kau rajin telpon aku buat tanya si Ari, agak kecarian aja,"
" Ouh... Sekarang gak lagi kok, aku gak akan telpon kau lagi, dan gak akan cariin Ari lagi.
Maaf ya... selama ini aku ganggu kau," ucap Ana yang tidak enakan.
" Jaga omonganmu Anj*ng!!"
Delon kaget ketika Ari membentak secara tiba-tiba.
" L*nt* kau, kau gak usah bacot, Aku mau ketemu sekarang," bentak Ari membabi buta.
" Heh... sekarang kau yang susahin Delon buat nelpon aku, udahlah Ari, aku gak bisa lagi buat nerusin hubungan ini. Toh... semua hal yang pernah kau janjiin, sama sekali gak pernah kau tepati. Aku gak butuh janji aja Ari. Aku butuh kepastian, aku butuh laki-laki yang bisa memperjuangkan secara bersama-sama. Bukan laki-laki yang bergantung,"
" Cewek sial*n, kau pikir aku apa ha!!"
Tut...tut...
Telpon itu terputus.
" Sial," Ucap Ari yang kemudian kembali menghubungi Ana dengan menggunakan ponsel Delon. Namun, semua itu sia-sia. Ana telah memblokir nomor itu.
" Akh... Sialan!! Cewek sial!!" teriak Ari dan hendak membanting ponsel itu.
Untung Delon langsung merebut ponsel itu dari tangan Ari.
" Gila kau ya Ri, mikir-mikir donk kalau mau banting barang," ucap Delon yang mencoba menstabilkan jantungnya.
Ari hanya diam sambil mencoba untuk mengendalikan emosinya.
" Tapi jujur Ri, aku gak tau kalau kau sekasar itu sama perempuan."
" Itu bukan urusanmu!" celetuk Ari yang tampak kesal dengan nada bicara Delon.
" Hmm.. jujur Ri, aku lebih mendukung Ana buat ninggalin kau. Dia cewek baik, semua kebutuhanmu di lengkapi sama dia. Dia bahkan mengesampingkan hal lain untuk mengutamakanmu. Kau bakalan nyesal banget ninggalin dia,"
" Sial!! jangan bilang kau naksir sama cewekku!!" teriak Ari sambil menggenggam erat kerah baju Delon.
" Kau mau apa? lepas!!!" Teriak Delon sambil mendorong Ari hingga ia terlepas.
" Aku gak perlu perasaan buat nyadarin kalau Ana itu anak baik. Semua orang bisa liat betapa baiknya cewek itu memperlakukan kau. Gak usah munafik ri, kenyataannya kau gak akan bisa sebebas sekarang kalau Ana gak nanggung kebutuhanmu! iya kan?!"
Ari terdiam.