" Tapi Rony?"
" Kau milih dengarin aku atau mau tinggal di sini?"
Aku benar-benar marah pada Henny, aku tidak tau seberapa besar perasaan yang ia punya hingga ia dengan pasrahnya di perlakukan seperti itu.
" Pilih aku apa dia?"
" Kau berisik sekali!!" Ucap Fery yang menatapku dengan pandangan bengisnya.
" Eh... dari tadi disini itu berisik!!! suaraku gak ada apa-apanya!!" tekanku yang tidak suka dengan respon lelaki itu.
" Udah..udah na, aku mau ikut kamu pulang aja," ucap Henny yang akhirnya memutuskaN.
Tanpa melepas pandangan dinginku dari lelaki itu, aku menarik Henny keluar dari tempat itu.
" Kamu ngapain sih Na kaya tadi?" ucapnya sambil berjalan di sampingku yang merasa kedinginan dengan pakaian lembapku
" Kamu gak banyak tanya deh, aku gak tau kalau kamu hobby main ketempat kaya gini! aku jadi ngerasa aneh, setau aku kamu gak kaya gitu! atau aku yang gak terlalu kenal pribadi kamu,"
" Ini pertama kalinya aku ketempat ini Na, serius!! sumpah, dan aku gak pernah nginjak tempat kaya gini selama ini,"
" Seharusnya kamu pulang waktu tau kamu di bawa ke tempat kaya gini. Aku tau kamu suka expost kesenangan kamu, tapi kamu juga harus perhitungkan apa yang sebenarnya layakbuat kamu jalanin dan kamu lakuin. Saat ini mungkin kamu aman, tetapi gak tau lain waktu."
Ingin rasanya aku marah pada wanita yang sedang berdiri di sampingku, Tetapi rasanya semuanyaakan sia-sia, aku nungkin hanya sebatas teman yang perduli dengannya. Dan hal itu tidak akan memiliki nilai yang lebih.
Hujan masih dengan derasnya jatuh ke bumi, mereka seakan tidak memberi kami cela untuk bisa meninggalkan gedung itu.
Tubuhku mulai terasa hangat. Bagaimana tidak, selama ini aku memang tidak tahan dengan hawa dingin. Tubuhku kuat, hanya saja ia lemah pada suhu rendah. Aku tidak gampang sakit, hanya ada beberapa hal yang menjadi pelemah stamina tubuhku.
Seketika tempat yang tadinya aku rasa berisik dan sangat ramai, berubah menjadi sunyi. Padahal, musik di clubing itu, semakin malam akan semakin meriah.
Ntah perasaan apa yang muncul di dalam diriku. Aku tau, tubuhku telah di pengaruhi oleh alkohol. Meskipun tidak semua kesadaranku mampu larut dalam efek alkohol itu.
" Mau kemana?" tanya Tio yang menahan tanganku saat aku bangkit dari sofa itu.
" Aku muak, aku mau keluar," ucapku yang kemudian menarik tanganku dan keluar dari club itu.
Aku berjalan keluar melewati lorong yang cukup panjang. Dan ya... setelah keluar dari lorong itu, aku bisa mendengar derasnya hujan di luar sana.
Sesampainya di lobby, aku baru bisa menghirup segarnya udara luar yang dingin karena air hujun.
" Ngapain coba tadi kamu datang, nyusahin deh,"
Aku mendengar suara yang tak asing di telingaku.
" Hen!!" ucapku yang menemukan Henny jongkok di pojokan dengan temannya yang kini duduk menyenderkan diri pada salah satu tiang gedung itu.
" Fer? kok keluar? kalian udah selesai?"
" Enggak, aku bosan di dalam. Kenapa temanmu?"
" Dia gak bilang kalau dia gak tahan dingin, terus sedari tadi baju dia itu basah kena hujan. sekarang dia menggigil. badannya juga lumayan panas. Dari tadi gaka da taksi lewat,"
" Ya.. gak mungkin ada taksi lah hen, ini udah dini hari, udah 01:30. "
"Terus gimana? aku khawatir banget dia kenapa-kenapa," ucapnya dengan mata berair.
" Kamu berisik deh, aku gak papa. besok kena matahari aku bakalan enakan kok!" sambutnya tanpa menampakkan wajahnya dari kedua tangannya.
" Hei... liat aku," ucapku yang dengan sengaja menarik lembut kedua tangannya yang sedari tadi menutupi wajahnya.
Wajah itu benar-benar pucat, nafasnya juga panas saat dengan tidak sengaja menerpa tanganku.
Dan hal yang membuatku terpana, wajah itu benar-benar mirip Nirwana.
" Aku akan antar kau dan Henny pulang," ucapku sesaat setelah beberapa detik mata kami berlawanan.
" Em... Fer, boleh gak aku minta tolong kau antar Ana? Aku mau nungguin Rony,"
" Kau gila Hen? Rony sama cewek lain kau masih mau nungguin?"
" Iya... soalnya masih ada yang aku harus selesaikan Fer, Please pinta wanita bodoh itu.
Aku benar-benar terjepit di situasi ini, Ana sakit dan Henny yang masih berulah.
" Ya... udah, aku ambil mobil dulu," ucapku yang kemudian bergegas ke parkiran mobil.
" Fer aku udah kasih Ana obat demam. mungkin dia nanti akan tertidur, tolong jaga dia ya, aku percaya samamu,"
" Emang menurutmu aku mau ngapa-ngapain cewek? Aneh kau," ucapku setelah menggendong Ana dan menempatkannya di kursi depan.
" Kau gak mau ikut pulang? besok kerja loh,"
" Gak Fer, besok aku kerja kok, janji," ucapnya yang tentu saja aku tidak percaya.
Aku mengenal karakter-karakter orang yang berteman denganku. Dan Henny adalah salah satunya.
" Ya udah, aku jalan."
" Hati-hati ya Fer, awas kau ya kalau kau berani apa-apain Ana."
Aku melengos ketika mendengar ucapan Henny, laki-laki memnag brengsek, tetapi kau masih punya akal sehat untuk tidak mengganggu gadis yang saat ini menjadi salah satu pusat kebingunganku.
Sepanjang jalan, aku menyetir dengan sangat hati-hati. Ditambah dengan kesadaranku yang di pengaruhi oleh alkohol dan jalan yang licin oleh air hujan.
Ehh...
Ana menggeliat, aku menatap pada wajah pucat dengan mata yang msih tertutup itu.
" Oiya... bukannya Henny bilang kalau baju Ana lembap?
Aku menyentuh ujung dari lengan baju yang di kenakan gadis itu. Dan ya, tentu saja, baju itu lembap.
Aku tidak ingin mengambil resiko, aku meminggirkan mobilku, kemudian membuka jaket milikku. Hnaya dengan cara itu aku bisa membantu Ana.
Bagaimana ini, sangat tidak sopan menggantikan baju seperti ini, tetapi jika aku tidak melakukannya, dia bisa sakit.
Akhirnya setelah berdebat panjang dengan pikiranku, aku melepas jaket Ana, dan memakaikan jaketku padanya.
" Kamu mau apa?" ucapnya dengan lemah.
Ternyata gadis itu masih tersadar, hanya tubuhnya yang lemah.
" Kamu udah bangun?"
" Aku gak tidur. aku sama sekali gak kehilangan kesadaranku. jangan karena aku lagi lemah, kamu mau lakukan hal yang seenaknya ya.." ucapnya dengan nada menyebalkan.
" Aku cuma mau membantumu!! dasar menyebalkan," ucapku yang merasa tersinggung padanya.
Aku duduk di sampingnya, tepat di depan kemudi. Hujan masih dengan derasnya berbondong-bondong datang dan membasahi setiap apapun yang yang ada di bawah kolong langit malam.
" Maaf..."
Aku terkesima. aku mendengar suaranya yang begitu halus, mungkin sebuah bisikan. Aku ragu, tetapi suara itu berasal dari Ana.
" Maafin aku, aku salah," ucapnya dengan cukup jelas.
Aku memandang ke arah gadis dengan wajah pucat itu.
Benarkah dia Nirwana? tetapi apa mungkin? Nirwana yang aku kenal dulu adalah gadis yang ceria dan juga supel. Gadis ini terlalu simple dan sederhana. Ia tampak begitu polos.
Akhirnya aku kembali mengemudikan mobil itu, walaupun sebenarnya kepalaku sudah sangat pusing dan aku mulai kehilangan fokus ku pada jalanan.
30 menit kemudian, Aku tiba di kos tempat Henny dan Ana tinggal di kota itu.
Hujan muai reda, meskipun rintik-rintiknya masih sangat rapat.
" Ana... Ana bangun, kita udah nyampe."
" Emm...udah sampe ya... maaf aku ketiduran," ucapnya sambil mencoba mengucek matanya.
" Ya udah... aku mau langsung pulang uak..."
" Kamu kenapa?"
Ana tampak kaget ketika aku tiba-tiba mual.
" Gak papa, mungkin karna aku minum alkohol berlebihan,"
" Kamu yakin mau pulang? masih hujan loh,"
" gak papa, aku masih bisa," ucapku.
Aku gak tau apa pilihan ini benar, dengan ragu aku keluar dari mobil Fery, dan memandangi mobil itu yang terlahan bergerak menjauh dari halaman kos ku.
Ya... aku kini mendapati alasan, kenapa setiap orang yang mengenalku, menyebutku dengan sebutan gadis gila.
Tetttttt....
Aku memejamkan mataku,takut kalau-kalau aku harus tertabrak mobil yang di bawa Fery.
" Kau gila!! ngapain coba tiba-tiba lari kedepan mobilku!!" bentak Fery di tengah derasnya rintik hujan itu.
" Yang gila aku atau kau!! liat donk...seharunya kau belok kanan, bukannya lurus. di depan itu ada lobang pembuangan sampah komplek ini, kau mau mati!!" bentaku dengan suara parau kerna demam," dan lelaki itu diam.
Aku keluar dengan membawa sup panas dan beberapa selimut. Aku cukup lama di dalam, karena aku harus minum obat dan membersihkan tubuhku dari air hujan yang berhasil membuatku basah kuyup.
" Ini, itu baju hodie aku, kau pakai aja, aku keluar dulu, kau ganti baju," ucapku yang hendak keluar dari mobil itu.
" Gak usah, aku kan cowok, bisa kok ganti baju disini,"
" Masalahnya, aku yang gak mau liat kau ganti baju di depanku. paham?" ucapku dengan jutek.
" Em... ya udah, aku ke belakang. kau masuk. hujan," ucap Fery yang kemudian bergerak menuju kursi belakang.
Aku hanya menurut. Rasanya cukup lelah hari ini. Suhu tubuhku juga rasanya sudah mulai kembali membaik.
" Udah," ucapnya beberapa menit kemudian.
" Nih, makan sup dulu," tambahku.
" Setelah itu makan obat ini, biar efek alkoholnya berkurang. Ini selimut, sama bantal buat tidur,"
"Gak papa, habis ini aku pulang,"
" Aku yang gak ijinin, aku gak mau jadi orang terakhir yang ketemu kau," ucapku dengan wajah datar. dan lucunya lelaki itu hanya menurut.
15 Menit telah berlalu. Mangkuk sup panas itu telah kosong, dan suara dengakuran halus telah terdengar dari lelaki di sampingku. paling tidak dia sudah tertidur lelap.
Aku kembali membuka ponselku, memasukkan kembali nomor pribadiku pada aplikasi chat yang selama ini sengaja aku bekkukan demi menghindari beberapa orang yang menekan batinku. ya... salah satunya adalah kekasihku Ari.
Aku nyariin kamu dari kemarin...
kamu kemana aja?...
Aku butuh uang, kamu ada?...
Aku capek gini terus!! putus aja...!!
Tadi aku ke kos, kamu gak ada, kemana aja kamu?...
Sayang, aku kangen...
Nirwana!! KAMU KENAPA?...
Aku nungguin kamu dari tadi di depan kampus...
lama banget sih ...
Aku muak membaca pesan masuk dari lelaki itu, dan sebelum aku selesai membaca semuanya, aku mendelet kontaknya.
tring....tring...
Beberapa menit kemudian, panggilan masuk dari lelaki yang aku sendiri tidak ingin menemuinya.
" Iya..."
"Kamu dari mana aja *njing!! capek aku nyariin kau. Cewek b*ngsat!!" teriaknya yang aku pikir Fery bisa mendengarnya jika ia bangun.
" Ada urusan apa? aku pikir kita udah gak ada lagi."
" Emang kapan aku mutusin kau bego!!! Jangan tengil jadi perempuan. aku capek nyariin kau dari kemarin,"
" Nyariin buat apa? uang? aku gak punya uang lagi,"
" Kau pikir aku cuma bisa minta uang sama kau?"
" Yah... emang!! kenapa? kamu gak sadar? atau malu ngakuinnya?"
" Cewek gila!! besok aku mau kita ketemu."
" Gak!! maaf Ari, aku gak mau ketemu sama kamu lagi. dan aku pikir ini satu-satunya jalan terbaik buat kita,"
" Maksudmu apa? udahlah Nirwana, aku malas main drama sama kau,"
"Baguslah, mungkin kau gak akan pernah liat lagi aku yang drama,"
" Maksudmu apa anj*ng!!!"
Aku muak mendengar ia melecehkan aku secara verbal.
" Eh... cowok bangsat, dengar, sekarang kau harus belajar mendengarkan aku, karena ini terakhir kau dengar suara aku. Ingat! janjimu tentang kita yang akan sama-sama hadapin masalah. apa kau tau? kau malah kasih masalah ke aku. yang kau tau cuma tentang duniamu. dan kau anggap aku itu kaya atm mu. satu lagi, mungkin aku bodoh mau habisin waktuku sama laki-laki kaya kau, udah untung kemarin aku gak bawa visum muka aku yang kau tampar, kalau gak, dah di balik jeruji kau. mulai hari ini mungkin dosamu akan berkurang, karena gak akan ada lagi perempuan yang bakalan mau dengar makianmu. Satu lagi, sebelum kau cari penggantiku, belajarlah jadi laki-laki dewasa! paham kau!!" bentakku yang kemudian mematikan ponselku.
Aku tidak tau persis, apa hari itu aku sedang menangis atau semacamnya, aku tidak merasa sedih ataupun senang. Hanya saja nafasku sedikit sesak, dan kekesalanku memuncak. Aku menatap pada lelaki yang masih tertidur nyenyak itu. Aku khawatir mengganggunya tidur.
Tentu saja aku bohong jika aku bilang aku baik-baik saja. Aku masih terluka. tetapi untuk saat ini, melepaskan Ari adalah jalan terbaik.