"Kau tega selingkuh di kamarku!!"
" Aku minta maaf dek, aku khilaf,"
" Khilaf yang keberapa kali bang? kau gak malau jadi gunjingan tetangga!!"
Teriakan- teriakan itu sudah menjadi makanan sehari-hariku.
Aku sangat benci kepada ayahku yang selalu saja tidak bisa menjaga kesetiannya kepada ibuku. Untuk kesekian kalinya ia bermain gila di rumah dan selalu ketauan oleh ibu.
" Aku mau cerai!!"
Plak!!!
" Yah!!! kenapa ibu di tampar!!" teriakku yang tidak bisa terima kalau ibu di perlakukan kasar seperti itu.
" Kau diam!! gak usah ikut campur urusan orang tua!!" teriak lelaki itu padaku.
" Aku gak akan anggap kau orang tua, kalau kau perlakukan ibuku kaya gini. laki-laki macam apa kau!!" teriakku yang tak tahan dengan tingkah kasarnya.
" Akh... ibu sama anak sama aja, nyusahin. kau gak akan jadi apapun setelah besar nanti. ingat itu. kau gak akan jadi apapun!!!!" teriaknya dan setelah itu meninggalkan aku dan ibu yang sedang menangis.
Sejak itu, aku memutuskan untuk menghapuskan lelaki itu dari hidupku. aku berusaha menguatkan ibuku, dan aku berjanji, suatu saat, aku tidak akan memperlakukan anak dan istriku sedemikian rupa.
Aku berbeda dengan anak-anak lain yang memiliki keluarga harmonis. keluargaku sangat berbeda. hal yang membuat ku belajar banyak tentang hidup dan bagaimana cara untuk melawannya. Aku juga bukan seorang lelaki yang jujur, aku pernah merasakan banyak hal yang bisa menghancurkan masa depanku.
mencuri, merampok, berteman dengan anak-anak nakal, dan yang menurutku paling jahat adalah, aku menyelingkuhi Acca demi bisa memenuhi kehidupan sehari-hariku.
" Fer, ibu mana?" tanya kakak laki-lakiku.
Aku sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Dimana dia saat aku dan ibu membutuhkannya?
" Fer.. kau dengar aku tidak?"
" Buat apa abang datang kalau semua udah selesai? abang tau gak kalau ibu itu di pukulin sama ayah!!" teriakku yang hampir meneteskan air mata.
kakak laki-laki yang sering kami panggil dengan nama Lian itu terdiam.
Semenjak ia bekerja, ia selalu sibuk dengan dirinya sendiri. ia tidak ingat dengan rumah, bahkan tidak ingat dengan keberadaan aku dan ibu.
Ia bukanlah satu-satunya saudaraku, aku masih memiliki dua orang kakak perempuan yang telah menikah. tetapi aku tidak ingin mereka tau tentang semua ini.
Bang Lian masuk kedalam rumah, meninggalkan aku yang masih kesal dengan semua perlakuan ayah pada ibu ku. saat itu juga aku bersumpah, aku tidak akan pernah menganggap ia sebagai ayahku.
****
" Dani, aku mau ngomong," ucapku saat menemukan Dani yang berdiri di koridor sekolah.
" Aku mau cepat pulang. tau kan kalau hari ini kita ada latihan paskibra. Aku harus terlebih dahulu tiba di sana sebelum pelatih," ucapnya yang seakan- akan sibuk.
" Aku cuma butuh kamu bentar aja, ada yang ingin aku pertanyakan,"
" Apa?" ucapnya cuek.
Dan kali ini aku sadar, kalau belakangan ini dia memang sangat dingin kepadaku.
"Tadi ada sms kamu yang nyasar sama aku, kamu sms an sama Devi?" tanyaku to the point.
" Kami cuma sekedar smsan, gak lebih. gak usah mikir yang aneh-aneh deh,"
" mikir yang aneh-aneh? kamu suruh aku biar aku gak sms kamu, dan tiba-tiba sms kamu nyasar ke hp aku. dan itu bukan sms yang kamu tujukan ke aku. menurut kamu itu wajar?" tanyaku kesal.
" Udah akh... aku mau pulang," ucapnya lalu berjalan cepat meninggalkan aku.
Aku tidak terima di perlakukan seperti itu. aku sangat geram hingga aku menyusulnya berjalan.
" Dani aku belum selesai ngomong," ucapku mencoba mencegah lelaki itu untuk lari dari masalah.
" Apaan sih na? kamu jangan kaya anak kecil deh,"
Dasar laki-laki playing viktim.
" Kamu dengar aku dulu," ucapku sambil menahan lengannya agar ia tidak terus berjalan menghindari aku.
" Apaan sih, ada teman-temanku Ana!!" teriaknya yang membuatku sedikit terkejut.
huft...
" Okey... kalau gitu, gini aja, aku rasa gak ada yang bisa kita lanjutin lagi. akan lebih baik jika kita masing-masing. kita akan lebih baik jika jadi teman," ucapku dengan leluasa.
Aku tidak melihat expresi yang berarti darinya. yang aku temukam hanya tatapan kosong yang mengarah kepadaku.
"hallo...!! kau dengar aku gak sih?" tanyaku yang saat itu mengira ia tuli.
" em..oke.. terserah kamu," ucapnya sambil mengelus-elus hidungnya yang memerah.
" Kamu nangis?" tanyaku tanpa ada perasaan bersalah.
" Gak lah, ngapain aku nangis," ucapnya yang terus mengelak dari pandanganku.
" Hei... liat aku dulu," bentakku sambil menghentikan gerakan tubuhnya yang kesana kemari.
dan benar saja, ia menangis.
" Kenapa kau menangis?" tanyaku yang bingung.
" Udah, kau udah selesai ngomong. aku pergi. dan jangan harap kita bisa jadi teman," ucapnya lalu meninggalkan aku yang masih terpelongok sambil di pandangi teman-temannya.
" Kalian liat apa?" tanyaku.
" Gila!! kau nangis kek na," ucap Doni teman sekelasku.
" Biar?"
" Ya.. kau kan cewek, harusnya nangis," Ucapnya.
" Lah...dia nangis? sakit kau Don, ini bukan perempuan, jantan ini," ucap Albert yang kesenangan sambil merangkulku tanpa memikirkan bagaimana bahuku rasa ingin patah olehnya.
" Sakit gila, kau pikir timbangan kau berapa!!" teriakku kesakitan.
" Akh... cuma 60 ajanya,"
" Aja pula katamu," teriakku.
Albert kelihatannya senang karena kau telah lepas dari lelaki itu. Dan aku sempat berpikir kalau semuanya telah berakhir sampai disini, ternyata tidak, masih ada drama menjijikan yang harus aku selesaikan dengan lelaki itu.
" Gimana, nenek sudah tua, gimana kalau Emi aja yang kesana?"
" Iya, kakak aja ya, lagian ongah (adik laki-laki dari ayah dalam suku simalungun) ada kerjaan, kan gak enak nanti," ucap Ongah yang membujukku untuk kembali ke padang menghadiri pesta dari sanak saudara kami yang ada di sana.
" iya kak, lagian sekolah juga lagi libur kan," ucap nenek membujukku.
dan akhinya setelah berunding, aku menyetujui apa yang mereka inginkan.
gak papa juga sih, itung-itung aku bisa buang-buang suntuk.
***
" Jo... jobnya ada nih, mau ikut gak?" tanyaku pada Johan saat job pelaminan telah aku dapatkan.
" Ok Feey, butuh berapa orang, biar aku cari?" balasnya.
"Aku udah dapat kok, tinggal ngajak kau aja,"
" Ok deh, kapan?"
" Besok aku mau kesana , mau cek semua perlengkapan,"
" Ouh..ya udah, aku ikut deh, aku bawa motor. aku jemput kaunya,"
" Oke... Makasih yo..." ucapku.
"gak... makasih Feey, karna kau aku ada uang pemasukan," ucapnya.
Aku tersenyum mendengar perkataan Johan.
Dia adalah teman yang paling dekat denganku. Aku dan Johan selalu mencoba untuk saling membantu dan saling melengkapi satu sama lain. Mungki ini kelihatan menjijikan, tetapi nyatanya kami adalah karib yang saling menolong.
" Loh.... biasanya makannya dari cici kan," ucapku saat bertemu dengan pemilik wedding organizer yang menjadi atasanku.