"Hei... kau marah padaku?" tanyaku pada Johan yang sedari semalam tampak mendiami aku.
" Marah ? untuk apa? kau juga berhak punya perasaan terhadap Ana, tetapi aku hanya ingin mengingatkan Feey, kau udah punya Acca, apa sih kurangnya Acca? dia baik kok, cantik lagi. apa kau gak bisa biarin Ana buatku?"
Aku mengerutkan keningku,
" Kau mau tau dari mana aku bisa tau Ana terluka?" ucapku sambil memandangnya.
Johan hanya memandangku tanpa menjawab pertanyaanku.
" Semalam, sewaktu kau pergi, ia terkena insiden yang membuat kakinya terluka, karena tidak ingin menarik perhatian, aku dan sepupunya pergi membawa Ana ke tempat tantenya, dan kebetulan disana tidak ada orang. ya sudah, setelah itu aku pamit balik ke sini,"
"Kenapa semalam kau tidak cerita?"
Brugh...
" Sakit bodoh," ucap Johan yang merasa kesakitan saat aku menoyor kepalanya.
" Kau bukan perempuan bodoh," ucapku.
Dan kami pun tertawa.
Jauh dalam hatiku, aku tidak paham apa sebenarnya yang tertanam dalam hatiku, aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan saat ada di sekitar gadis itu.
Aku punya Acca, dan aku hanya akan fokus pada satu wanita itu.
Siang datang dengan teriknya, orang-orang di pestaitu tampak kegerahan, meskipun lokasi pesta telah di pasang pendingin udara.
" Panas banget ya... beruntung nih yang punya pesta gak hujan," ucap Johan sambil menikmati es campur yang sedari tadi di genggamannya.
" Adat bataknya panjang juga ya," ucap Fery yang sedari tadi tertarik oleh adat yang dilaksanakan di pesta itu.
" Ana... tunggu!!" seketika nama itu menarik perhatiannya, ia mengalihkan pandangan, mencari tau sumber suara itu.
2 orang gadis dengan kebaya modren yang tampak cantik di tubuh mereka. serta dandanan natural yang menambah kesan elegan dan manis.
" Kan aku udah bilang jangan lasak. liat deh, berdarah lagi tuh, perbannya lepas lagi," ucap gadis dengan kebaya biru itu yang tak lain adalah Tari.
Ia tampak menunduk sambil mencoba untuk mencegah darah keluar dari lukan yang terdapat di lutut gadis berkebaya silver yang tak lain adalah Ana.
" Aku gak tahan ada di sana, nafasku sesak banget, di tambah kepalaku makin pusing," keluhnya.
" Gila, cantik banget tuh cewek-cewek, liat deh si Ana manis banget," celoteh Johan yang memecah pandangan dari Fery.
" Kita kesana yok, kayaknya mereka butuh bantuan kita," Ucapku pada Johan.
" Kau bena-benar ingin membantu saja bukan?" tanya Johan sambil memandangku dengan tatapan curiga.
Huft....
Hal yang paling membuatku kesal adalah saat orang-orang yang dekat denganku tidak menanamkan kepercayaannya padaku.
" Ini, kau bawa perban dan anti septik ini, cobalah untuk mengobati lukanya, aku akan menunggu disini," ucapku dengan tatapan tidak suka.
" Kau marah Feey?"
" Aku kesal padamu. jika kau tidak percaya, aku akan menunggu disini," ucapku.
Dan seketika, wajah sahabatku itu langsung cerah.
Dari jauh aku melihat Johan mencoba menawarkan bantuan pada mereka, dan lagi-lagi aku merasakan perasaan aneh di dalam hatiku.
" Kakimu luka lagi ya? sini aku obatin," ucap Johan yang berusaha menyentuh kaki itu.
" Jangan sentuh aku!!" ucap Ana spontan.
" Ana!!".
Aku selalu merasa risih jika ada lelaki yang menyentuhku. aku tidak suka disentuh sembarangan oleh mereka.
" Maaf, dia emang sedikit gila," ucap Tari yang merasa tidak enak pada Johan.
"Aku cuma mau nawarin obat ini, kalau au mau, aku bisa bantu pakein ke kamu," ucap Johan lembut.
" Makasih, tapi boleh gak, kalau yang makein itu Tari aja? aku aga risih Jo.."pintaku.
Aku tidak tau apa yang ada di pikiran Johan, hanya aku paham kalau anak lelaki itu sedikit tersinggung dnegan permintaanku.
" Makanya, lain kali jangan pecicilan," ucap Tari sambil mengolesi obat ke luka itu.
" Hei... Jo, udah selesai?" tanya Fery yang menyusul kami bertiga.
" Belum Feey, darahnya ngalir terus, jadi perekatnya gak mau nempel," ucap Johan menjelaskan pada Fery.
" Udah coba cuci lukanya pakai anti septik?"
" Udah bang, cuma gak mau juga,"
Aku hanya diam sambil memandang datar pada lelaki yang tampak sedang memikirkan sesuatu itu.
" Coba sini aku yang buat," ucapnya sambil meminta Tari untuk bertukar posisi dengannya.
" Kau mau ngapain?" ucapku yang panik saat ia berlutut di hadapanku."
" Kau mau darahmu berhenti atau tidak?" tanyanya yang tampak kesal.
" Udahlah Mi.. biar selesai loh,"
" Tapi aku risih Tar,"
" Kau mau aku obati apa gak!!" bentaknya yang membuatku kaget.
" Feey... anak orang itu," ucap Johan yang kaget melihat sifat kasar Fery.
Air mataku mengalir begitu saja lolos dari kelopakku. tidak ada satu orangpun yang pernah membentakku seperti itu.
" Maaf, aku cuma mau obatin lukamu. kalau di biarkan terus kau bisa kekurangan darah," ucapku yang merasa bersalah.
" Udah Mii.. buat kamu juga kok. kita udah repotin abang ini dari semalam loh," ucap Tari membujukku.
dan Akhirnya aku rela kakiku di sentuh oleh lelaki itu.
" Kau ada hemofilia ya?" tanya Fery yang masih sibuk dengan lukaku,"
" Apa itu?"
" Hemofilia itu kesukaran pembekuan darah. Banyak faktor penyebapnya sih, salah satunya karna terlalu memaksakan diri buat olahraga dan banyak lagi," ucapnya sambil mencoba mengobati lukaku.
Aku hanya terdiam.
" Kalau Emi, biasanya suka diet ketat sih bang, terus suka konsumsi obat yang berlebihan gitu buat dietnya,"
" Ya pantas aja, kurangin, kalau kau gak mau kehabisan darah,"
Gadis itu hanya diam sambil mengamati wajah serius lelaki yang kini mencoba untuk mengobatinya.
" Dah... untuk sementara jangan gerak banyak, biarin normal dulu darahmu. jangan aneh-aneh," ucap Fery.
lelaki itupun bangkit dan dalam hitungan detik mereka saling memandang dalam diam.
" Makasih ya," ucap Ana pada lelaki itu.
" Aku suka liat cewek yang pintar jaga diri,"
Deg...
Jantungku banyak gaya.
" Tapi, kau harus tau memmetakan sikap seseorang. Tadi itu, Johan mau coba ngobatin lukamu, bukan mau bertindak kurang ajar. Aku juga cuma mau kasih saran, jangan percaya sama laki-laki manapun yang mau mencoba mengubah kebiasaan baik yang keluargamu ingin ajarkan padamu. Selama kau merasa itu baik, maka kau harus memegangnya. kau paham?"
Ana hanya mengangguk.
Gadis itu tampak kagum dengan sosok Fery yang begitu bijak. Baru ini ia menemukan lelaki yang tampak bertanggung jawab meskipun mereka tidak dekat.
" maaf, aku mendengar pembicaraanmu di telpon tadi malam. aku cuma mau kasih saran, kalau dia memang mencintaimu, maka ia tidak akan melecehkan pengajaran yang di ajarkan padamu sedari dahulu," ucap Fery sambil memandang lurus pada gadis beretina coklat itu.
tidak ada yang sadar dengan takdir yang mereka jalani, apakah takdir itu benar untuk mereka, atau merekalah yang terlahir untuk menggenapi cerita mereka.