Aku berjalan keluar dari rumah, aku cukup bosan dengan keramaian itu, di tambah lagi aku tidak terlalu mengenal mereka.
Tempat ini tidak jauh berbeda dengan kampung nenek, hanya saja pemandangan disini cukup indah. aku terpaku saat di jemput oleh Tari di stasiun tadi.
" Lah...mana bisa gitu bu, seharusnya yang hajatan yang menyediakan makanan sama rokok buat kami. masa ibu gak ada kordinasi sama bos kami!!"
Aku mendengar keributan dari bibik dan seorang pendekor yang tak jauh dari jendela tempat aku memandang.
" Yah.. mana tau aku. kalian lah tek-tek an, lagian aku udah dp sama bos mu. tanyak aja dia gimana sama makanan kalian."
" Jangan gitu bu, aku bawa anggota, kasian mereka kecapean dari tadi benerin dekorasi pesta ibu. udah hampir setengah itu tendanya selesai. minum pun gak ada ibu siapkan. "
ucap lelaki itu dengan nada sabar yang hampir terkuras.
" Yah... kalian kan udah aku bayar, masa aku juga yang kasih makan. gak lah, selesaikan kalian itu," ucap bibikku yang memang terkenal pelit itu.
" kalau gitu, gak usahlah bu, kami bongkar aja semua. kalau gini kami juga gak akan mau kerja bu, kami bukan budak!!" ucanya marah. bukannya meredah, bibikku malah marah dan tetap menuntut agar dekorasi itu di selesaikan.
Akhirnya terjadi keributan yang memancing orang sekitar untuk mendekat dan melihat apa yang terjadi.
" Eh... udah- udah, bi... jangan gitu malu!! lait semua orang liatian kalian loh," ucapku melerai bibikku yang ribut dengan lelaki yang ternyata masih sangat muda itu. sepertinya ia seumuran denganku.
" Emi, jangan ikut campur. kamu masih kecil dan kamu gak akan mengerti urusan kami," ucap bibik memarahiku.
"Iya, tapi malu di liatin orang, Tari...!!" panggilku berharap Tari dengar.
Dan ternyata sedari tadi Tari juga ikut menyaksikan pertengkaran itu.
" Iya?" ucapnya yang segera datang.
" Bawa bibik masuk. malu di liatin orang," ucapku. dan Tari pun menurut meski harus menarik bibik dengan sedikit paksaan.
Kini aku yang kebingungan harus berbuat apa.
" Em... maaf ya, aku tinggal bentar," ucapku pada lelaki yang sedari tadi diam mematung melihatku.
***
Apa aku tidak salah lihat? atau ia hanya orang yang mirip?
Aku terkesima ketika melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul. Tetapi gadis ini tampak lebih fenminim, bukan seperti dia yang sedikit tomboy.
" Feey, itu Ana bukan sih?" tanya Johan yang mengejutkanku.
" Gak tau Jo, aku juga mikir gitu. cuma ini cewek lebih feminim gitu kan?" ucapku meminta persetujuan.
" Eh... iya juga ya Feey,"
" Gimana Pak? bisa gak? soalnya kasian mereka gak makan, dari pagi loh,"
" Ya udah, bapak kirimkan. sekalian sama jajan kamu. bibikmu itu gak ada berubahnya,"
" Ckk... itu kan adek bapak. segera ya pak, Emi mau ke kota buat ambil." ucapku.
dan setelahnya, aku segera berangkat ke kota dan mengambil kiriman uang yang bapakku kirimkan.
" Gimana Feey? kita lanjutin atau gimana?" tanya Johan dengan wajah memelas karena lapar.
Aku merasa tidak enak pada teamku. aku yang meminta mereka ikut, tetapi mereka harus menanggung lapar karenanya.
tiba-tiba,
" Makan dulu ya Fer, nanti lanjut," teriak salah seorang dari anggotaku sambil membawa 2 bungkus nasi di tangannya.
" Lah... mereka dapat makanan dari mana?" Tanya Johan.
" Jo..Fer... ayo makan dulu, sini," panggil mereka yang berkumpul di bawah tenda yang kami bangun.
"Ok...pak," Teriak Johan yang segera berlari ke arah tenda tersebut. Sementara aku masih terdiam.
"Hai... nih, makan dulu. kalian pasti capek," ucap gadis itu yang tiba-tiba sudah ada di depanku sambil menyodorkan sebungkus nasi.
Aku menatapnya bengong, aku sangat yakin sekali kalau dia adalah Ana.
" Hei... ambil," ucapnya karena aku tak kunjung mengulurkan tanganku untuk mengambil nasi dari tangannya.
" Selamat makan,
" Tunggu," aku menahan tangannya sesaat ia hendak pergi setelah aku menerima nasi bungkus itu.
" Kau Ana? Nirwana?" ucapku kembali berharap aku salah.
Ia terdiam dengan kening yang berkerut. Tampaknya ia mencoba untuk menerawang wajahku.
" Fe..ey" ucapnya ragu.
dan aku tersenyum. Ternyata benar, ia adalah gadis itu.
" Kau tau, aku gak ngira kalau sorang Ana bisa kaya gini," ucap Johan dengan nasi yang masih memenuhi mulutnya.
" Hahaha... kok gitu?"
" ya iyalah... orang waktu satu sekolah dulu kamu itu tomboy, pake baju cowok, gak pernah dandan," tambahku tanpa memandang ke arahnya.
" Hmm... gimana sama teman-teman?" tanyanya yang sekalan tidak ingin membahas tentang masa lalu.
" Semua baik. semua orang kehilangan kamu," ucap Johan yang tampak terang-terangan ingin mencari lampu hijau.
"Gak semua juga," ucapku mengesalkan.
" Jadi kamu gak kangen sama aku?" tanyanya sambil memandangku dengan expresi wajah yang begitu menggemaskan.
Aku tidak bisa berkata apapun, rona kulit wajahnya tampak begitu cantik. dan aku baru sadar kalau gadis di depanku itu memiliki retina coklat yang sangat cantik.
" Kamu buat rugi aja, bibi udah bayar panjar mereka sma bosnya, masa iya kita harus bayar makan mereka lagi!! belum rokok sama kopinya nanti!!" ucap bibi yang marah besar padaku karena aku melakukan hal yang menurutnya salah dengan memberi para pendekor itu makan.
" Bi.. bibi kan yang punya hajatan, itu udah jadi kewajiban bibi." ucapku coba membuatnya mengerti.
" Akh... kamu tau apa tentang kewajiban!!"
Sebenarnya aku tidak terlalu perduli dengan semua ucapan bibi, aku hanya merasa malu karena saat itu posisiku dengan posisi Fery dan Johan tidak terlalu jauh, dan aku yakin mereka pasti dengar suara omelan dari bibiku.
" Is... udahlah mak, lagian Ana cuma mau bantu aja, makanya mamak jangan pelit kali. mau pesta tapi pelit, mending jangan buat pesta," ucap Tari yang mencoba membelaku.
" Akh... kalian anak muda gak akan ngerti urusan begini. paling gak kalau gak bisa bantu jangan buat susah," ucap bibi lalu pergi meninggalkan aku dan Tari.
" Gitulah bibi kau itu, heran aku pelit kali," ucap Tari melengos.
" Bi... kata Tari, akh.... sakit Tar..."
Aku tidak meneruskan teriakanku karena Tari tiba-tiba menutup mulutku sambil menjambak rambutku.
" Ngomong kau lagi!!" ancamnya.
" Gak..gak... lepas, sakit," ucapku sambil menahan tangannya dengan tanganku.
" Ngomonglah kaulagi," balasnya sambil melepaskanku.
" Biii... kata Tari bibi Pelit!!!!" Teriakku tiba-tiba sambil berlari dari kejaran mengerikan seorang Tari.
Sanak- saudara kami sudah biasa melihat tingkah kami yang seperti anak kecil itu, kami selalu bertengakar dan kemudian berbaikan setelahnya.
Namun, kembali pada peraturan alam, sesuat yang berlebihan itu tidak baik.
Bruk...akh...
" Ana!!!"
Aku tidak melihat tangga yang berdiri persis di hadapanku. Dan akhirnya aku menabrak tangga tersebut, kepalaku membentur salah satu penyanggahnya dan alhasil kepalaku terkuka dan aku terjatuh.