Tring….
Aku menerima massage dari Acca, dan aku tau, ia pasti ingin menuntut sesuatu.
" yah… bisa main gak?" tanyanya yang sepertinya ingin bertemu denganku.
Aku mendesah, bagaimana tidak, aku tidak memiliki uang untuk bisa membawanya jalan keluar. Aku ingin jujur padanya namun aku merasa malu.
" Ayah capek nih nda, kappa-kapan aja boleh gak?" tanyaku membalas massage darinya.
Ia tidak menjawab pesanku, ia hanya mengorom emot senyum.
Aku tau Acca kecewa karena aku menolak untuk membawanya keluar. Tetapi apa hendak di kata, keuanganku menipis dan aku tidak mempunyai uang lebih untuk bisa memanjakan kekasihku itu.
Ada lagi yang membuat perbedaan antara aku dengan Acca, yaitu status social kami.
Ia berasal dari keluarga yang mempunyai tingkat perekonomian yang lumayan baik.
Sementara aku hanya dari keluarga petani.
Acca adalah gadis yang baik, ia tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk biaya kami kencan. Hanya saja aku adalah laki-laki, dan rasanya harga diriku terluka oleh itu.
Di tambah lagi, keluargaku tidak seberuntung keluarga lainnya di luar sana. Aku berasal dari keluarga broken home, hal yang membuatku menciptakan komitmen kuat dalam diri untuk tidak mengikuti jejak kedua orang tuaku.
" ngumpul yok…"
Aku mendapatkan pesan lain dari Johan.
Anak lelaki itu memnag selalu akrab denganku.
" dimana? Aku gak punya uang soalnya. Minyak motor juga ress," ucapku jujur.
" Allah…Feey…Feey, kau buat aku kaya orang lain aja, siap-siap aja, aku jemput kau ya," ucapnya.
Ya… begitulah pertemananku. Aku tidak tau mereka menganggapku seberharga apa, tetapi aku tau, mereka tidak akan pernah membuatku sendirian.
" Mau rokok gak?" tanya Joni yang sedang asyik menyepong shabu miliknya.
" Gak Jon, aku gak suka," balasku tanpa membuatnya merasa tersinggung.
" coba sekali aja gak akan bikin kau fly atau ketergantungan kali Feey, Cuma sekedar aja. Perkenalan," ucapnya.
" gak lah, aku dah kurus, malah tambah kurus nanti," jawabku.
Aku selalu mempunyai cara untuk menolak semua hal buruk yang mereka suguhkan padaku. Aku tidak ingin rusak karena pengaruh buruk dari mereka.
" Eh… Feey, belum ada job ya?" tanya Johan yang biasanya selalu ikut denganku bekerja paruh waktu sebagai penghias pelaminan.
" Ada sih Jo, Cuma belum done, masih nego. Nanti aku kabarin kalau jadi," ucapku.
" Kalian kaya kekurangan uang aja, lagian kalian masih masa sekolah, udah kerja kaya gitu," ucap Joni yang tampaknya telah terpengaruh obat yang ia gunakan.
"Makanya kau kerja, biar kau tau gimana rasanya kerja. Jangan taunya Cuma nikmatin uang orang tua," ucap Johan.
Aku hanya tersenyum dengan ocehan mereka.
" Eh… liat deh, itu yang di warung."
Aku ikut menoleh kea rah yang ia ucapkan.
Disana tampak seorang gadis berwajah manis dengan menggunakan Jilbab.
" siapa dia?" tanyaku yang sedikti penasaran.
" Namanya Lia, dia anak pemilik warung situ. Cantik kan," ucap Joni yang kelihatannya menyukai gadis itu.
" Hahaha… mana mungkin gadis kaya dia mau sama kau Jon, kau sakit ya," ucapku.
" Jangan salah Feey, gini-gini aku player loh," ucapnya yang begitu bangga dengan dirinya.
" Mau taruhan?" tantangku yang selalu menjadikan bahan seperti itu untuk taruhan.
" Boleh, siapa takut!!" serunya yang tiba-tiba bersemangat.
Aku tau, responnya itu tidak seluruhnya dari dirinya. Semangat yang tiba-tiba itu pasti berasal dari obat yang saat ini dia pakai.
Aku pun menatapi gadis itu sepanjang kami berada di tempat itu, tak jarang aku melakukan suatu hal agar gadis itu memandang ke arahku. Dan membuat ia menyadari kalau aku sedang memandanginya.
Tringg….tring..
" Hallo bu?" ucapku saat bos pemilik wedding organizer menelponku.
" ouh… ya udah bu, nanti saya cari anggota sendiri ya bu," ucapku dan tak lama kemudian aku mengakhiri perbincangan itu.
" Kenapa Feey?" tanya Johan yang sedari tadi memperhatikan aku.
" ini, ada job, tapi 2 minggu lagi. Pernikahan," balasku.
" Mantap lah, ada uang lagi aku ini bawa Lisa jalan." Ucapnya.
" Masih bareng Lisa kau?"
" Masihlah,"
Aku hanya diam. Aku tidak ingin menyakiti perasaannya.
***
Suasana bus tampak sangat ramai, sementara aku masih diam sambil menemani supir focus pada jalanan.
" Badanmu ada yang sakit?" tanya Albert dengan lembut.
Bukannya menjawab, aku malah hanya menggelengkan kepala.
" terus?"
" Aku kesal bet, harusnya aku bisa bawa salah satu piala itu kesekolah, tapi aku malah gagal,"
" hmm…. Makanya jadi cewek jangan kepala batu. Gak mungkin aku kasih saran yang nggak-nggak sama kau. Lagian kau udah kecapean , udah belum makan pula itu. Mana ada atlet renang latihannya di hari yang sama pada saat lomba di selenggarakan. Ya Cuma kaulah,"
" Akh… bising akh.." ucapku yang semakin kesal.
" eee… dasar, perempuan keras kepala," hardiknya yang kemudian mendiami aku.
Sepanjang perjalanan tak satupun dari kami yang berbicara.
Kami saling diam dan larut dalam pikiran kami masing.
Hingga akhirnya hal lain menggangguku.
Secara tidak sengaja, aku melirik ke spion yang berada di atas kepala supir. Dan betapa terkejutnya aku, ketika pandanganku dan arianto bertemu di sana.
Aku tidak habis pikir kalau aku bisa melihat pantuan bayangannya dari sana. Begitu pun sebaliknya.
Ada getaran yang memenuhi relung hatiku, yang sama sekali tidak dapat aku tahan. Ini bodoh, tetapi aku benar-benar tidak mampu untuk menahan perasaanku sendiri.
Gila!!!
Sadar Ana, kau punya Dani.
" eh… hari ini ada latihan paskibra ya?" ucap Albert yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya.
" Apaan latihan, hampir 50 % yang ikut anak paskibra semua. Terus siapa coba yang mau dilatih?" ucapku cuek.
" terus, si dani ngapain keluar bareng Devi kalau gak latihan?" ucapnya yang kemudian menunjukkan status social media dari wanita yang ia sebutkan tadi.
Deg….
Ok… aku mencium bau pengkhianatan.
Aku tidak perduli lagi dengan perasaan gagal yang sedari tadi memenuhi kepalaku. Aku tidak lagi perduli dengan segala hal yang sempat mengganggu pikiranku. Aku bangkit dari tempat duduk ku, lalu berjalan perlahan dan ikut terhanyut dengan nyanyian dan musik gitar yang di mainkan oleh Arianto disana.
Aku yakin, Albert paham betul dengan apa yang sebenanya terjadi padaku saat ini.
Aku tidak perduli dengan tatapan seorang Arianto yang begitu menekanku. Aku tidak ingin larut pada rasa kecewa, sedih, dan amarah yang perlahan mulai menyelimuti hatiku. Aku tidak ingin lelaki itu berhasil merebut jati diriku.
Walau sebenarnya aku juga tidak dapat menutupi kenyataan bahwa aku kecewa dengan hubunganku. tidakkah ia ingat dengan hubungan yang sedang kami jalani. aku tau aku hanya sedang overthingking, tetapi sempatkah ia berpikir, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan hal itu, sempatkah ia memikirkan perasaanku? bukankah tadi aku sudah katakan kalau aku tenggelam?