Mentari duduk melamun di dekat jendela. Pandangannya kosong, menerawang entah kemana. Sudah lewat satu hari dari waktu yang diberikan oleh William dan dia masih belum bisa memutuskan.
Tok! Tok! Tok!
"Tari! Apa kamu di dalam, Sayang?"
Tari terperanjat dari lamunannya. Ia menarik kedua sudut bibirnya, berlatih tersenyum sebelum membuka pintu. Helaan napasnya terdengar berat dan dalam.
Ceklek!
"Mama! Ada apa, Ma? Kenapa Mama belum tidur?" tanya Tari dengan bibir tersenyum.
"Mama tidak bisa tidur. Boleh mama masuk?"
"Hah? Oh, Iya, Ma. Masuk saja," jawab Tari dengan gugup. Mirna tidak akan datang ke kamarnya jika tidak ada hal yang ingin dibicarakan. Sejak kemarin, Tari mengurung diri, dan Mirna tahu kebiasaan gadis itu.
Setelah menutup pintu, ia duduk di tepi ranjang bersama ibu angkatnya. Wanita itu sangat pengertian, perhatian, dan lembut. Mentari tidak tega memberikan beban kepadanya.
"Ada apa?" tanya Mirna dengan suara lembut. Nada bicaranya penuh keingintahuan. Ia merasa, gadis itu sangat aneh sejak kemarin.
"Ada apa? Kenapa Mama tiba-tiba bertanya seperti itu?" Tari masih tetap berpura-pura di depan wanita itu. Namun, Mirna tidak bodoh. Dia tahu dengan jelas, Tari sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Di depan pintu, Laura yang tidak pernah menyukai Mentari, berdiri, dan menguping pembicaraan mereka. Hal itu selalu dilakukan setiap kali ibunya bicara secara pribadi di kamar Mentari. Gadis itu curiga, Tari menghasut ibunya.
Mentari tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Toh, ia hanya anak angkat. Ia merasa tidak memiliki hak untuk marah kepada pemilik rumah.
"Laura membuat masalah lagi denganmu?"
"Tidak, Ma. Kenapa Mama berpikir begitu? Kakak tidak membuat masalah apa-apa. Tari hanya sedang lelah," jawab Mentari tanpa menatap wanita itu.
"Kamu tidak berani menatap mama setiap kali kamu berbohong. Ada apa? Apa kamu sudah tidak menganggap mama lagi," ucap Mirna dengan kecewa.
Mentari merasa bersalah. Bukan maksud hatinya, membuat wanita baik itu kecewa. Hanya saja, ia merasa ragu untuk bercerita kepadanya.
"Tari … memang sedang ada masalah, Ma. Tari bingung, bagaimana caranya bicara dengan, Mama."
Laura semakin merapatkan telinganya ke daun pintu. Mentari bicara dengan suara pelan, membuat ia sedikit kesulitan mendengar pembicaraan mereka. Ia tidak akan membiarkan gadis itu memiliki rahasia.
"Katakan, Tari."
"Ada seorang duda yang melamar Mentari. Besok, dia meminta jawaban dari Tari."
"Bagaimana dengan perasaanmu? Apa kau mencintainya?"
"Hah? Itu …."
"Apa kamu memiliki perasaan padanya?"
Mentari bimbang. Apa yang harus ia katakan kepada Mirna? Tidak mungkin dia mengatakan kebenarannya.
"Tari menyayanginya (Monica)." Tari mengucap nama gadis kecil itu dalam hati. Setidaknya, ia tidak membohongi wanita itu. Ia memang menyayangi anak kecil yang diasuhnya.
"Lalu, apa yang membuatmu ragu?"
"Tari, takut kalau Mama tidak setuju karena dia berstatus duda," jawab Tari sekadarnya. Ia tidak mau mengatakan alasan sebenarnya. Gadis itu ragu karena dia tidak memiliki perasaan dan lamaran itu adalah pemaksaan. Ditambah lagi, itu hanya pernikahan kontrak.
"Kalau kalian saling menyayangi, kenapa mama harus tidak setuju," ucap Mirna sambil menggenggam tangan Mentari.
'Tari dilamar oleh duda? Yes! Dia memang cocok dengan barang bekas, hahaha.' Laura segera pergi ke kamarnya. Ia tertawa di dalam kamar. Kesialan Mentari adalah kesenangan baginya.
Mirna kembali ke kamarnya setelah bicara dengan gadis itu. Ia bahagia, Mentari akan segera berumah tangga. Itu artinya, ia tidak akan diganggu oleh Laura lagi.
Ya, Mentari akan terbebas dari rumah itu begitu dia menikah dengan William. Namun, ia tidak begitu saja terbebas dari kemalangan. Gadis itu seperti hewan yang keluar dari kandang satu ke kandang lainnya. Ia akan tetap terbelenggu.
Tari ingin menghirup udara bebas. Keluar dari rumah dan menjalani kehidupannya dengan bahagia, ia tidak perlu memikirkan perasaan Laura dan Mirna. Namun, impiannya dirusak oleh lamaran pernikahan kontrak dari ayah Monica.
***
"Selamat ya, sudah dilamar oleh 'duda'," ucap Laura dengan menekankan kata duda.
Hari ini adalah hari terakhir bagi Mentari untuk memberikan jawaban. Setelah dipikirkan semalaman, ia akhirnya sudah memutuskan. Mentari akan menerima lamaran William.
Hanya pernikahan kontrak sebagai ibu pengganti. Ia dan William bisa menjalani kehidupan masing-masing setelah mereka menikah. Dibandingkan dengan tinggal bersama Laura di rumah itu, ia merasa lebih baik tinggal di rumah William.
"Terima kasih, Kak," balas Mentari. Ia tetap tersenyum, meski kakak angkatnya itu sedang mengejeknya.
"Tari! Laura! Ayo sarapan," panggil Mirna dari meja makan.
Keduanya menghampiri wanita itu dan duduk di sisi kanan dan kirinya. Sambil menyantap sarapan, Mirna mulai bertanya tentang calon suami Mentari. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah tanggung jawabnya. Ia harus memastikan, laki-laki itu baik atau tidak untuk Tari.
"Apa kamu sudah yakin dengan laki-laki itu? Oh, iya, mama lupa bertanya siapa namanya. Jadi, siapa namanya?"
"William Prasetyo, Ma."
"Apa?!" Laura terkejut bukan main. Nama itu adalah nama laki-laki yang disukainya sejak lama. Ia berteman dengan Sarah, tunangan William.
"Kamu kenapa, sih, Laura? Mama sampai kaget," omel Mirna saat Laura tiba-tiba berdiri dan memekik kencang.
"Hah? Ti-tidak apa-apa, Ma." Laura kembali duduk dan menenangkan diri. Mungkin hanya nama saja yang sama, bantah Laura dalam hati.
'Benar. Mana mungkin dia William Prasetyo yang itu. William yang melamar Tari, pasti bukan dia.'
"Terus, kapan William akan datang ke rumah?"
"Tari belum meneleponnya, Ma. Setelah sarapan, Tari akan menanyakan itu pada Mas Will."
"Hem. Lebih cepat lebih baik," ucap Mirna.
Semuanya kembali terdiam. Dalam benak ketiganya, mereka memikirkan banyak hal yang berseberangan. Namun, mereka memilih diam dan memendam pikirannya.
***
"Halo," ucap Tari saat panggilan suara itu tersambung.
"Aku sangat sibuk. Katakan! Apa jawabanmu?"
Mentari merasa terintimidasi bahkan hanya melalui suara. Bagaimana bisa, laki-laki itu begitu dominan. Gadis itu merasa seperti seekor burung yang sudah tertangkap di dalam sangkar William.
"Mama bertanya, kapan kamu akan datang melamar?"
"Melamar? Aku bahkan belum mendengar jawabanmu. Lalu, bagaimana kau sudah memintaku melamarmu secara resmi?"
"Aku … menerimanya. Pernikahan kontrak itu … menerimanya," jawab Tari dengan suara terputus-putus. Pernikahan itu bukanlah keinginannya. Rasa sesak menekan perasaan terpaksa, ia tidak sanggup untuk bersikap biasa-biasa saja.
"Baiklah. Aku akan datang sore ini. Jadi … bersiap-siaplah, pengantinku."
Panggilan terputus. Mentari menarik napas berat. Momen lamaran seharusnya menjadi acara sakral yang selalu dinanti-nantikan oleh setiap wanita, tapi Tari berharap hari ini tidak pernah ada.
Setelah menutup telepon, gadis itu segera memberitahu Mirna.
"Mas William bilang, dia akan datang sore ini," kata Tari melapor.
"Baiklah. Mama akan usahakan pulang sebelum Mas Will-mu itu datang," goda Mirna.
"Ch! Cuma dilamar duda saja, apa hebatnya," ejek Laura sambil berjalan melewati mereka. Dia akan pergi ke sekolah, karena sekolah itu sudah diserahkan kepadanya. Semua urusan yang berhubungan dengan sekolah akan diurus oleh Laura.
Hari ini, Mirna akan menandatangani surat pengalihan kekuasaan pimpinan TK Glory. Selain wanita itu, masih ada beberapa pemegang saham, serta investor yang akan mengikuti rapat. Setelah hari ini, Mirna tidak akan lagi mencampuri kepengurusan sekolah.
*BERSAMBUNG*