Laura terpaku dan larut dalam lamunan. Semua orang menatapnya yang diam dan tidak menjawab sapaan William. Mirna terpaksa menyikut pelan lengan gadis itu.
"Hah? Ada apa, Ma?" Gadis itu terperanjat.
"Kamu kenapa diam saja? William menyapamu dan kamu malah bengong."
"Oh, ma … maaf. Lama tidak bertemu, Mas."
''Silakan duduk, Nak Will," ucap Mirna memecah kesunyian. Pandangannya terarah kepada gadis kecil yang duduk di pangkuan Mentari. Wajahnya sangat mirip dengan William yang memiliki darah campuran. "Siapa gadis cantik ini?"
"Dia anaknya Mas William, Ma." Laura menjawab dengan semangat.
"A-anak? Kamu sudah punya anak?" tanya Mirna kepada William.
"Iya, Tante. Dia anak saya," jawab laki-laki itu dengan jujur.
Tari sudah ketakutan memikirkan reaksi ibu angkatnya. Namun, sungguh di luar dugaan. Ternyata Mirna sama sekali tidak keberatan. Apalagi, Monica terlihat sangat menyukai Tari. Suasana pun mencair setelah mereka mulai berbicara santai.
Laura duduk dengan kedua tangan meremas ujung sofa. Sejak dulu, ia selalu berharap William menoleh padanya dan meninggalkan tunangannya, Sarah. Siapa sangka, hari ini akan datang.
William berkunjung ke rumahnya, tapi bukan datang untuknya melainkan untuk adik angkatnya, Mentari. Mendengar laki-laki itu meminta restu kepada Mirna untuk menikahi gadis yang sangat dibenci olehnya. Ia tidak tahan dan berpamitan.
"Ma, Mas Will. Laura sedikit lelah. Laura pamit ke kamar," pamit Laura sambil menenteng tasnya.
Di dalam kamarnya, ia terus bergumam, memaki Mentari dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Bagian mana dari gadis sialan itu yang membuat mas Will tertarik padanya? Ini tidak adil. Kenapa dia bisa mendapatkan keberuntungan untuk menjadi istrinya? Sudah pendek, jelek, tapi masih berani menggoda orang yang kusukai," gumamnya menggerutu sambil melempar tas ke atas tempat tidur.
Laura mengambil ponsel, hendak memberitahukan hal itu kepada Sarah. Namun, ia segera mengurungkan niat itu. Bagaimanapun, ia merasa akan lebih baik jika Will tidak bersama Sarah. Ia merasa lebih mudah merebut William dari Mentari.
"Lihat saja! Aku selalu berhasil merebut semua yang kau inginkan. Kali ini, aku juga pasti bisa merebut calon suamimu. Mas William hanya boleh menjadi milikku," ceracaunya.
***
Pramuda mengemudikan mobil menuju dinas catatan sipil. Semua keperluan sudah disiapkan. Mereka hanya perlu menandatanganinya dan mereka pun resmi menjadi suami istri setelah mengucapkan sumpah di depan pendeta di gereja.
Sore itu, hanya Laura yang tidak ikut bersama Will dan Tari. Sehingga, ia tidak tahu jika mereka sudah menikah. Mirna sedikit kecewa karena Tari menikah sederhana. Bahkan, pihak keluarga William pun tidak menyaksikan.
Andai Mirna tahu kalau kedua orang itu hanya menikah kontrak, mungkin darah tingginya bisa naik seketika. Hal itu tidak akan Tari biarkan terjadi. Ia berusaha semampunya untuk terlihat normal dan tidak membuat wanita paruh baya itu curiga.
Setelah pulang dari gereja dan dinas catatan sipil, mereka kembali ke rumah Mirna untuk mengambil barang-barang milik Tari. Mulai hari ini, ia sudah sah menjadi nyonya William. Ia akan tinggal di rumah suaminya selama masa perjanjian pernikahan kontrak itu berlangsung.
"Tari pamit pergi, Ma," ucap Tari sambil terisak dan memeluk erat Mirna. Isak tangis warnai perpisahan itu.
Sayangnya, Laura tidak ada di rumah. Dia pergi setelah William dan yang lainnya pergi ke gereja. Gadis itu pikir, mereka pergi ke resto atau semacamnya untuk merayakan lamaran.
Nini ikut menangis melepas kepergian Mentari. gadis yang sudah seperti cahaya surya penerang di hidupnya, sekarang sudah menikah. Tari bergantian memeluk kedua wanita spesial itu, sampai akhirnya Will memanggilnya.
"Sayang! Ayo kita pulang," ucap Will dengan senyuman lebar. Entah kenapa, ia merasa sangat bahagia memandang surat nikah di tangannya.
William merasakan kebahagiaan yang lama hilang dari hidupnya. Pertama kali ia merasa sebahagia itu adalah saat menikah dengan ibu dari Monica. Saat itu, ia menikah karena cinta, jadi wajar saja jika ia merasa bahagia. Namun, pernikahan kali ini bukan didasari perasaan, tetapi kebutuhan. Bagaimana bisa, perasaan bahagianya begitu nyata? Seolah-olah, mereka menikah karena saling mencintai.
Pramuda sudah lama tidak melihat sang majikan tersenyum bahagia seperti sekarang. Bahkan, ia berkali-kali melirik ke arah spion untuk mengintip laki-laki itu. Sementara Tari duduk dengan pandangan menatap keluar jendela. Wajahnya terlihat murung, berbanding terbalik dengan laki-laki di sampingnya.
Monica duduk di depan bersama Pramuda karena gadis itu yang menginginkannya sendiri. Ia memang sangat pintar menilai keadaan, meski usianya belum genap lima tahun. Ia harap, mereka bisa duduk berdekatan dengan tidak adanya dia di tengah-tengah mereka. Namun, gadis kecil itu tertunduk lesu saat melihat Tari seperti menjauhi ayahnya.
Tari melamun sepanjang perjalanan menuju rumah William. Ia memikirkan hidupnya sebagai istri kontrak. Dalam sebuah pernikahan kontrak, wanita selalu yang dirugikan lebih banyak. Apalagi, William menambahkan poin terakhir tanpa sepengetahuan gadis itu.
'Aku harus menyerahkan kesucianku kepada suami kontrak di sampingku. Ini sangat berat untukku, Tuhan. Aku membayangkan malam pertama yang indah bersama pria yang kucintai, tapi ….'
"Hah!'' Tari mendesah berat. Ia harus bisa menerima semua konsekuensi dari pilihannya sendiri. Lagi pula, dengan tinggal di rumah William, Tari bisa bebas pergi ke resto dan caffenya. Tidak perlu pergi diam-diam karena khawatir diikuti oleh Laura.
"Desahanmu harus dikeluarkan saat kita bercinta nanti malam," bisik William.
''Dasar mesum," balas Tari pelan sambil melirik ke arah Monica. Ia khawatir gadis kecil itu melihat atau mendengar ucapan mereka.
Jalan yang seharusnya dilewati oleh mereka itu berbeda dengan arah rumah William. Gadis itu ingin bertanya, tapi takut membuat marah laki-laki yang sudah berbagi surat nikah dengannya.
Entah kemana mereka pergi, karena jaraknya sangat jauh dari rumah Mentari. Ia merasa lelah dengan perjalanan yang semakin jauh dan panjang. Tanpa sadar, ia pun tertidur.
*BERSAMBUNG*