"Sopir pribadi Anda sudah siap, Nyonya," ucap Kepala asisten Ran.
"Terima kasih, Pak Ran."
Tari mengambil tas dan bersiap pergi menjemput Monica. Di samping mobil, sang sopir sudah membukakan pintu untuknya. Kehidupan Tari di rumah itu bak cinderella.
Semua kebutuhannya disiapkan oleh para asisten rumah tangga. Tidak hanya untuk urusan makan saja, bahkan air untuk mandi juga disediakan oleh mereka. Gadis itu hanya melakukan kegiatan pribadi seperti memakai baju dan berdandan.
Mereka hendak membantu gadis itu membuka baju dan memakai baju, tapi Tari menolak dengan keras. Bagaimana ia bisa membiarkan orang lain melihat tubuhnya, meski sama-sama perempuan. Ia merasa hampir gila karena sikap para asisten yang sangat memanjakannya. Ia tidak terbiasa dengan hal itu.
Dalam semalam, ia berubah. Dari yang sebelumnya selalu mengerjakan semua dengan tangannya sendiri, kini semua dilayani. Bahkan, di rumah William saja tidak ada asisten sebanyak itu. Hanya ada Imah dan dua orang asisten rumah tangga. Mengapa di rumah baru Tari harus menyediakan asisten rumah tangga sampai empat belas orang?
'Apa yang dia pikirkan dengan menempatkan banyak pembantu di rumah baru? Oh, aku rasa dia sengaja menempatkan mereka untuk mengawasiku. Dasar laki-laki brengsek! Awas saja kau!'
Bibir Tari berkomat-kamit, membuat sang sopir kebingungan. Apa yang sedang diucapkan oleh majikan barunya itu. Perlukah ia bertanya? Sopir merasa ragu, tapi ia tidak mau membuat nyonya itu tidak nyaman.
"Apa ada yang membuat Anda kesal, Nyonya?"
"Tidak ada. Kemudikan saja mobilnya dengan baik," jawab Tari pelan sambil menatap keluar jendela.
Jalanan itu terasa asing baginya. Maklum, semalam ia ketiduran saat perjalanan menuju rumah baru yang disediakan William untuknya. Sementara waktu, ia bisa merasa tenang, karena mereka tidak tinggal serumah. Malam pertamanya masih terselamatkan.
***
Laura berdiri di depan kaca kelas nol kecil. Monica sedang asyik mewarnai buku bergambar. Ia melirik gadis itu dengan pandangan tak suka.
'Tante itu yang ada di rumah tante Tari. Monic sebel lihat tante itu.'
Gadis kecil itu menggumam dalam hati. Ide jahilnya kembali datang. Sebuah rencana licik pun tersusun di benak gadis berusia empat tahun lebih itu.
"Bu Guru!" panggil Monica sambil mengangkat tangan kanannya.
"Ya. Ada apa, Monic?"
"Monic mau izin ke kamar kecil," jawabnya berpura-pura.
"Ya sudah. Jangan lama-lama, ya. Setelah menggambar, kita akan pulang," ucap Guru dengan lembut.
"Ya, Bu." Monic mengangguk. Lalu, ia sengaja berlari kencang saat keluar dari kelas. Gadis itu menabrak Laura yang sedang berdiri di samping kaca jendela.
Bruk!
"Akh!" Laura menjerit kencang. Bokongnya lebih dulu mencium lantai dan ia kesakitan untuk bangun. "Sialan!" makinya dengan kasar. Namun, saat tahu pelakunya adalah Monica, wajahnya pun berubah. Ia tersenyum kepada gadis kecil itu, meski rasa sakitnya itu begitu terasa.
'Aku harus bisa mengambil hati anak sialan ini terlebih dulu jika aku mau merebut hati mas Will.'
"Maaf, Bu. Monic kebelet pipis, jadi tidak sengaja menabrak." Monica berakting seperti ia telah menyesali perbuatannya. Di balik telapak tangan yang menutupi wajahnya itu, ia tersenyum puas.
"Tidak apa-apa, Sayang. Lain kali kamu hati-hati, ya," ucapnya sambil berusaha bangun.
''Ya ampun, Bu Direktur! Mari saya bantu Anda bangun," ucap Guru yang sedang melihat keluar kelas. Ia menoleh ke arah Monica karena gadis itu terus menunduk. "Monic cepat pergi ke kamar mandi."
"Baik, Bu."
Guru itu membantu Laura ke dalam mobil. Karena benturan itu, tulang ekornya terasa sakit dan mengakibatkan gadis itu berjalan dengan membungkuk seperti nenek-nenek. Anak-anak di kelas nol kecil itu menertawakan Laura.
Mobil Tari dan Laura berpapasan di parkiran, tapi mereka tidak tahu. Setelah mobil kakaknya keluar, Tari baru keluar dari mobil. Guru yang mengajar di kelas Monica itu mengenal Tari dan segera menyapanya.
"Bu Tari. Tumben, Ibu, datang ke sekolah?" tanya Guru itu.
Sudah menjadi rahasia umum, mereka semua tahu kalau gadis itu hanya anak angkat yang dibenci oleh Laura. Kakaknya melarang Tari untuk ikut campur tentang kepengurusan sekolah karena dirasa tidak berhak. Namun, kedatangannya hanya ingin menjemput Monica dan guru itu mengernyitkan dahi.
"Kenapa Anda menjemput Monica, Bu?''
"Ah, itu … dia anak sahabat saya. Karena saya juga pengangguran, jadi saya menjadi pengasuh Monica," jawab Tari dengan senyum canggung.
"Saya ikut prihatin dengan nasib, Ibu. Saya harap, ibu Laura bisa menerima Anda dan tidak memperlakukan Anda seperti ini. Sampai-sampai, Anda harus menjadi seorang pengasuh, padahal Anda lulusan universitas seni terbaik di sini."
Semenyedihkan itu hidup Mentari di mata semua orang. Andai mereka tahu, berapa banyak penghasilannya perbulan dari pemasukan resto dan cafe, mungkin mereka akan menarik kata-kata simpati itu. Namun, Tari tidak ingin restonya kembali bermasalah akibat ulah Laura.
Biarkan saja mereka memandangnya sebagai gadis yang menyedihkan. Toh, saat ini ia memang sedang berada di situasi yang menyedihkan. Namun, bukan menyedihkan karena Laura, tapi karena dipaksa menikah oleh William.
"Kapan Monica pulang, Bu?"
"Sebentar lagi, Bu. Saat ini, masih belum jam pulang. Sekitar dua puluh menit lagi, baru anak-anak pulang."
"Saya akan menunggu Monica di taman kalau begitu. Terima kasih, Bu."
Tari pergi ke taman bermain di samping TK Glory. Sambil menunggu gadis kecil itu keluar, ia mencoba menghubungi temannya. Namun, sepertinya Siti sedang sangat sibuk di resto. Biasanya, resto milik Tari itu dipenuhi pelanggan di jam ini.
Baru ditaruh ponsel itu ke dalam tas, terdengar bunyi telepon masuk. Tari melihat nama di layar ponsel. 'Laki-laki brengsek'. Gadis itu menamai kontak suami kontraknya dengan nama yang membuat kesal jika Will melihatnya.
"Halo!''
"Bagaimana tidurmu semalam?"
"Tidak usah basa-basi. Ada apa menelepon?" tanya Tari dengan nada ketus. Ia masih merasa kesal kepada Will yang telh melemparnya ke tengah ranjang tadi malam. Gara-gara hal itu, sampai sekarang Tari masih merasa sakit, meski tidak separah saat bangun tidur.
"Mau menagih jatah," celetuk Will dari seberang telepon.
"Apa?!" Wajah Tari berubah merah seperti kepiting rebus. Di siang bolong, Will berbicara tentang hal tabu dengan santainya. "Jangan bicara sembarangan!" hardik Tari.
"Kenapa? Seharusnya semalam aku sudah mendapatkannya. Apa kau tahu, aku sampai tidak bisa tidur. Aku membayangkan tubuhmu menggelinjang di bawahku."
"Stop! Dasar duda mesum!"
"Aku hanya berbicara jujur. Sekarang, aku juga sedang menghayal. Bagaimana ekspresi wajahmu saat aku mengecupmu dari atas sampai bawah? Apalagi sesuatu yang ada di bawah pusar~"
Tit!
Tari memutus sambungan telepon. Ia tidak tahan lagi untuk mendengarkan kata-kata mesum dari William. Kedua tangannya mengipasi wajah yang terasa panas akibat kata-kata yang sangat membuat resah. Gadis itu sampai lupa untuk meminta William menarik sebagian asisten rumah tangga di rumahnya. Semuanya karena ucapan mesum sang suami.
*BERSAMBUNG*