Tak! Tok! Tak! Tok!
Mentari membuka mata. Samar-samar, telinganya mendengar suara langkah kaki wanita. Sepatu hak tinggi yang dipakai wanita itu menciptakan suara yang berbeda dari sepatu laki-laki yang kemarin menemuinya, karena itu Tari tahu dengan jelas kalau yang berdiri di hadapannya adalah seorang wanita.
Sayangnya, gadis itu tidak bisa melihat wajahnya. Wanita itu berdiri di sisi yang gelap, sehingga hanya terdengar suara makanya saja. Laki-laki yang kemarin datang, pagi ini juga datang lagi sesuai janjinya untuk datang membawa sarapan di pagi hari.
"Makananmu, tapi ikatan tanganmu tidak akan pernah aku lepaskan. Pikirkan saja caranya agar makanan itu bisa kamu makan," ucapnya sambil melempar makanan itu di depan Tari.
"Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa kalian begitu kejam padaku?"
"Kejam? Aku tidak kejam. Aku hanya profesional. Dia … yang menginginkan kamu menderita seumur hidup di sini. Seharusnya dia yang kau maki kejam, tapi aku juga tidak mengizinkanmu memakinya. Dia adalah wanita yang hot, sangat agresif. Dan aku tidak mau membuatnya badmood. Makan makananmu, kalau kau ingin bertahan hidup. Kalau tidak mau, aku juga tidak memaksa."
Laki-laki itu pergi bersama wanita misterius yang berdiri di tempat gelap. Suara langkah kaki wanita itu terdengar kembali, sampai akhirnya menghilang di balik pintu besi. Mereka tidak peduli apakah Tari bisa makan atau tidak. Seolah mereka sengaja ingin menyiksa gadis itu sampai mati dengan cara perlahan-lahan.
Sejak kemarin malam, Mentari sangat ingin buang air kecil. Perutnya terasa sakit karena menahannya sangat lama. Rasa lapar atau haus bisa dikendalikan, tapi ia tidak bisa menahan membuang zat beracun dari tubuhnya.
"Aku tidak bisa menahannya lagi," gumam Tari sambil meringis kesakitan. Terpaksa, gadis itu pun buang air kecil di kursi dalam keadaan terikat. Dalaman dan juga bajunya basah. Gadis itu merasa lega juga merasa sedih.
Mentari tersedu sedan. Ia tidak peduli dengan makanan yang ada di depannya, ia hanya ingin pulang. Namun, harapan itu sangat tipis.
Ikatan di kaki dan tangannya sangat kuat. Jangankan untuk lepas, untuk menggerakkannya saja tidak bisa. Petualangannya sudah membiru saking kencangnya ikatan itu.
Jika berlangsung berhari-hari, rasanya tangan Tari akan membusuk. Mereka benar-benar sengaja ingin menyiksa Tari sampai mati. Ia bahkan sudah tidak bisa merasakan tangannya yang kram.
"William … mungkinkah kau akan datang menyelamatkan aku?" Gadis itu sangat putus asa. Ia diculik, disiksa, tanpa tahu apa kesalahannya. Wanita yang menginginkannya menderita, apakah mungkin Sarah? Entahlah. Pikiran Tari saat ini hanya satu, ingin terbebas.
***
"Bodoh!" William murka saat para pengawal datang melapor. "Pramuda! Orang-orang tidak berguna seperti ini masih kau pertahankan di markas kita. Apa kau sudah tidak bisa menilai, hah?!"
"Maaf, Tuan Will, mereka juga sudah berusaha semampu mereka untuk menemukan nyonya. Tapi, penculik ini melakukannya dengan sangat rapi. Kami tidak menemukan petunjuk apa-apa, selain mobil taksi itu."
"Istriku sudah semalaman berada di tangan penculik. Bagaimana jika mereka sudah … akh! Sialan!"
"Berikan kami waktu untuk kembali mencari nyonya," ucap Pramuda.
"Turunkan semua pengawal bila perlu. Aku tidak mau mendengar laporan seperti ini lagi. Saat melapor nanti, pastikan kau sudah menemukannya!"
"Baik, Tuan," ucap Pramuda sambil melangkah mundur, lalu berbalik pergi. Hampir saja, ia bertabrakan dengan Dirga. 'Jangan-jangan, Tuan besar sudah tahu soal nyonya Mentari?' Pramuda terlihat cemas saat melihat laki-laki berjanggut tipis itu masuk ke ruangan William.
"Ada apa ini, Will? Jelaskan kepada papa. Kenapa papa mendapat laporan kalau kamu sedang mencari istrimu? Masih menurunkan semua pengawal, sampai di rumah hanya ada satu orang yang menjaga rumah."
Dirga sudah merasa senang saat William mengatakan tidak ada perempuan di rumahnya seperti yang dikatakan oleh Sarah. Namun, dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, keadaan sudah berubah. Ia mendapat laporan kalau putra semata wayangnya itu sedang mencari istrinya.
'Gawat! Papa pasti akan marah kalau tahu aku menikahi pengasuh Monic. Sebaiknya, aku katakan sejujurnya saja.'
William menetralkan ekspresi wajahnya yang tadi tegang. Laki-laki paruh baya di depannya ini bukanlah orang yang bisa dilawan dengan mudah. Ayahnya sangat membenci kalangan rakyat bawah seperti Mentari. Meskipun, ia adalah anak angkat dari pemilik TK Glory yang terkenal nomor satu dalam bidang pendidikan, status Mentari tetaplah kalangan bawah.
"Ya. Will memang sedang mencari istri yang diculik tadi malam. Tapi, dia hanya istri kontrak, Pa. Karena itulah, Will tidak mengatakannya kepada Papa. Monica sangat dekat dengan pengasuhnya, jadi, Will ingin gadis itu menjadi ibu pengganti sementara waktu."
"Apa?! Maksudmu, kau menikahi seorang pengasuh rendahan? Benar-benar cari mati. Bagaimana kalau pernikahan kontrak konyolmu ini tersebar keluar? Kamu tahu, saingan bisnis kita sangat bersemangat mencari celah kesalahan kita." Dirga duduk di kursi kebesaran milik William. Kursi itu dulunya diduduki Dirga selama puluhan tahun sejak ia masih muda.
Sekarang, ia sudah mewariskan perusahaan itu untuk dipimpin oleh anak semata wayangnya. Selain Dirga, masih ada pemilik pemegang saham terbesar kedua yang berambisi menjadikan anaknya sebagai pemimpin. Sedikit saja kesalahan William terungkap, mereka pasti akan menggantikan posisi Will.
"Will janji, hal ini tidak akan pernah terungkap ke publik," jawab William dengan tegas, tapi hatinya tidak yakin.
"Apa dia tinggal di rumahmu?"
"Tidak. Will membelikan rumah yang lain untuk tempat tinggalnya," jawab William menenangkan sang Ayah.
"Bagus! Setelah kontrakmu dengannya habis, kau harus menikah dengan Sarah!"
"Pah! Papa sendiri yang sudah membatalkan perjodohan, kenapa sekarang harus kembali dengan Sarah?" William tidak habis pikir dengan apa yang ada di benak ayahnya. Dalam waktu semalam, pikirannya berubah kembali.
"Kamu juga bukan bujangan lagi. Apa salahnya kalau dia bermain dengan laki-laki lain di luar. Dia sudah berjanji untuk tidak mengulanginya lagi," ucap Dirga sambil memalingkan pandangannya dari William. Laki-laki tua itu seolah menyembunyikan sesuatu dari putranya.
"Terserah, Papa!"
Brak!
William membanting pintu dan pergi meninggalkan laki-laki itu di ruangannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa curiga. Ayahnya, dia tidak akan pernah mengubah keputusan tanpa ada hal yang menguntungkan. Apa yang sudah ditawarkan oleh Sarah, sehingga Dirga memaafkan gadis itu, dan tetap melanjutkan pertunangan?
'Aku harus menemui Sarah. Dia pasti yang meracuni pikiran papa, sampai-sampai papa rela menerima wanita buruk seperti dia untuk menjadi menantu. Tapi, sekarang harus mencari Mentari terlebih dulu.'
Ia membuka kembali ponsel milik istrinya. Jika bukan karena perjanjian untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing, ia sangat ingin menghapus foto Tari dan seorang pria yang sama-sama berseragam SMA. "Tch! Foto jelek seperti ini saja harus disimpan." Gurat wajahnya menunjukkan rasa cemburu yang bahkan tidak disadari olehnya.
*BERSAMBUNG*