Pram menepis tangan Will sambil mendecih kesal. Dia memang jarang tersenyum, tapi bukan berarti ia tidak dapat melakukannya. Hanya belum menemukan sesuatu yang unik yang membuatnya tersenyum lebar seperti saat ini.
"Apakah kamu bertemu hantu? Jangan-jangan … kamu kesurupan. Pergi ke paranormal sana! Supaya otakmu normal lagi," seloroh William sambil membuka satu kaleng minuman beralkohol yang tergeletak di atas meja.
Gluk… gluk….
"Ah … segarnya!"
"Sekarang, katakan ada apa denganmu! Kenapa kau dan istrimu kembali lebih cepat dari jadwal?" tanya Pramuda dengan nada santai.
Hanya di gedung itulah, mereka bisa bicara dan bercanda sebagai seorang sahabat. Di luar gedung, mereka hanya bisa saling berbicara formal. Setiap gerak-gerik Will selalu diperhatikan oleh media masa dan orang-orang yang memiliki perusahaan dengan basis yang sama.
Will selalu ditegaskan oleh Dirga agar selalu berhati-hati. Satu kesalahan kecil saja bisa menjadi celah untuk para pemegang saham dan juga saingan bisnis mereka. Apapun bisa dijadikan sebagai ancaman untuk menggulingkan kedudukan William di perusahaan.
"Semuanya sudah direncanakan dengan baik olehmu. Aku sangat berterima kasih atas usahamu. Seharusnya, malam itu adalah malam yang sangat dinantikan. Tapi … papa menelepon dan melarangku untuk menyentuh Mentari. Aku tidak bisa menyentuh istriku sendiri. Konyol bukan?"
"Aku tahu hal ini pasti akan terjadi. Beberapa hari yang lalu, aku melihat ayahmu bertemu dengan Sarah. Mereka membicarakan masalah pertunangan yang harus segera dilangsungkan secepatnya.
"Aku tidak tahu kenapa tuan besar tiba-tiba berubah pikiran dalam waktu singkat? Aku curiga kalau ini adalah ulah Sarah. Apa kau ingin aku menyelidiki hal ini?" tanya Pram menawarkan diri untuk membantu William.
Namun, laki-laki itu malas untuk mencari tahu. Toh, hasilnya akan sama saja. Sekali Dirga berkeras tentang pernikahan, Will harus melaksanakannya.
"Tidak akan ada yang berubah setelah kau menyelidikinya, Pram," jawabnya sambil meraih busur panah dan kembali melesatkan beberapa anak panah ke arah papan archery.
"Benar juga. Lalu, bagaimana dengan istrimu? Dia pasti terluka karena kamu seolah memberi harapan palsu padanya," kata Pram sambil menenggak minuman di kaleng sampai habis.
William terdiam beberapa saat dengan posisi tangan menarik busur berisi anak panah. Pandangannya tertutup sejenak, lalu tangannya melepaskan anak panah itu. Anak panah itu mendarat tepat di tengah papan.
"Aku hanya menikah kontrak dengannya. Dia juga masih suci, jadi hal ini tidak akan berdampak apa-apa padanya saat kami bercerai nanti," jawab Will.
Ia menoleh ke arah laki-laki itu. Mulutnya berkata demikian, tapi hatinya bertolak belakang. Pram membaca jelas dari raut wajah William.
"Lalu, Monic?"
"Kenapa dengan Monic? Dia baik-baik saja. Kenapa kau harus bertanya tentang Dia?"
"Kamu bisa berbohong kepada siapa saja, tapi tidak padaku, Will."
"Ck! Menjengkelkan sekali," ketus William.
William dan Pramuda berbincang-bincang tentang banyak hal. Laki-laki itu melirik jam tangannya. Sudah lewat dari dua jam dan belum ada yang mencari dompet.
Seseorang harus membayar tiket untuk masuk ke gedung itu minimal untuk dua jam latihan. Namun, gadis tomboy itu masih belum bertanya kepada pihak keamanan tentang dompetnya. Rasa penasaran Pram membuat ia ingin melihat isi dompet itu.
Betapa terkejutnya Pram saat melihat isi di dalam dompet itu. Uang sebanyak kurang lebih sekitar satu setengah juta, sebuah kartu ATM, KTP, serta sebuah foto bayi berusia kurang lebih dua bulan. Yang membuat laki-laki itu terkejut adalah tanda pengenal di dompet itu bukanlah milik gadis tomboy yang bertabrakan dengannya.
"Sial! Jangan-jangan dia mencuri dompet ini dari orang lain?" Pramuda bergumam sendiri sambil menatap dompet di tangannya.
"Siapa yang mencuri?" tanya William dengan mata melebar. Ia khawatir Pramuda yang kehilangan sesuatu karena dicuri. Namun, laki-laki itu menunjukkan dompet itu kepada Will.
"Aku tahu kau khawatir, tapi bukan aku. Pemilik dompet ini pasti sedang mencari dompetnya. Dompet ini terjatuh dari tas seorang gadis. Aku pikir dompet ini miliknya. Ternyata bukan," jawab Pram dengan wajah kecewa.
Dia sempat tertarik oleh gadis itu. Memikirkan gadis itu seorang pencuri, rasa tertarik itu pun lenyap. Pram tidak suka dengan seseorang yang berbuat jahat sekalipun itu adalah wanita.
"Sepertinya … ada yang sedang kecewa," sindir William.
"Sok tahu! Sudah lebih tenang belum? Kalau sudah … kita pulang. Aku ingin menikmati waktu santai dengan tinggal di rumah sambil melihat gadis-gadis yang lewat."
"Kukira kau tidak suka wanita, haha …."
Pramuda meliriknya tajam. Usia mereka berbeda beberapa tahun, tapi keduanya sudah berteman selama sepuluh tahun. Selama waktu itu, Pram sudah menjadi saksi dari kehidupan Will selama sepuluh tahun.
Mereka keluar dari gedung. Di luar ruangan terasa sangat panas. Mereka segera masuk ke mobil dan bersiap pergi. Namun, gadis tomboy itu tiba-tiba datang menghadang mobil yang hendak keluar dari parkiran.
William membuka pintu mobil dan menarik gadis itu. "Bicaralah! Aku akan pulang naik taksi. Good luck, Bro." Laki-laki itu meninggalkan Pram di dalam mobil bersama gadis tomboy itu. Will tidak peduli dengan tatapan tajam Pram yang seperti ingin membunuhnya.
***
Mereka duduk berhadapan di sebuah cafe yang tidak jauh dari gedung arena panahan.
"Kembalikan dompet itu padaku!"
Gadis itu bicara terus terang saat pelayan pergi setelah mengantarkan pesanan mereka. Gadis itu tidak merasa bersalah meski Pramuda menyindir dengan kata-kata pedas. Ia meletakkan tangan di atas meja dan meminta Pram untuk segera memberikan dompet itu.
"Berikan padaku sekarang!"
"Tidak akan! Barang ini bukan milikmu. Jadi, aku tidak akan memberikannya," tolak Pram dengan tegas.
"Darimana kau tahu kalau itu bukan milikku?"
"Lihat!" Pram membuka dompet itu dan memperlihatkan kartu identitas di dalamnya. "Kau mencurinya dari seorang ibu. Apa kau tidak tidak merasa kasihan? Dimana hati nurani kamu? Bisa saja uang ini untuk membeli susu anaknya yang masih bayi," maki Pramuda tanpa memberikan kesempatan gadis itu berbicara.
Gadis itu menatapnya dengan kesal. Ia tidak merasa mencuri dompet itu, tapi sudah dicap pencuri oleh laki-laki asing. Bahkan, ia tidak diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaannya.
"Berisik! Nyerocos terus seperti emak-emak. Kalau tidak mau diberikan padaku, ya sudah. Jangan pergi kemana-mana! Aku akan meminta pemilik dompet untuk mengambilnya darimu," ucap Gadis itu sambil berlari pergi dengan wajah merah padam. Kalau saja ia tidak berjanji pada seseorang untuk berlaku baik, mungkin Pram sudah dipukul olehnya.
"Banyak alasan! Bilang saja takut dilaporkan ke pihak berwajib," ujar Pramuda sambil menatap punggung gadis yang semakin menjauh. Meski berkata demikian, ia tetap menuruti perintah gadis itu untuk tidak pergi. Pram tersenyum geli dengan kelakuannya sendiri. " Aku pasti sudah benar-benar kesurupan."
*BERSAMBUNG*