Chereads / MISSING WIFE / Chapter 28 - Hinaan yang menyakitkan

Chapter 28 - Hinaan yang menyakitkan

"Kamu hanya istri kontrak, tapi berani menggoda William. Aku peringatkan padamu, jauhi mas William!"

"Mama!" Monica berseru memanggil Mentari. Ia melihat gadis itu ditampar oleh Sarah, calon ibu tiri yang tidak disukainya. Gadis kecil itu ingin keluar, tapi ditahan oleh sopir.

"Non di sini saja. Biar mamang yang panggil nyonya," ucap sopir itu. Ia menghampiri mentari dan memintanya untuk segera masuk ke mobil. "Kita sudah terlambat, Nona."

"Baik, Pak." Mentari mengibaskan tangan, memerintahkan sopir untuk masuk lebih dulu.

"Orang itu datang sendiri ke rumahku dalam keadaan mabuk. Maaf, Tuan besar, Nona Sarah. Saya istri kontrak, tapi pernikahan kami tetap sah. Kalaupun kami memang melakukan sesuatu, bukankah itu hal yang wajar? Heh!" Mentari berbalik dengan wajah terangkat. 

Ia mungkin orang baik hati, tapi ia tidak bisa terima jika ia direndahkan. Mereka terus menekannya untuk meninggalkan William. Mereka tidak mengerti, hal itu yang sangat diharapkannya.

Tari ingin pergi dari kehidupan Will, namun perjanjian mereka tidak bisa dibatalkan. Hanya bisa menunggu William yang memutuskan kontrak terlebih dulu. Mentari menyesali apa yang diucapkannya baru saja.

'Ck! Gara-gara emosi, aku malah semakin memprovokasi mereka. Semoga mereka tidak melakukan hal yang jahat padaku.'

Tubuh Mentari menggigil mengingat penculikan yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu. Ia melamun, menduga-duga siapa yang telah melakukan penculikan itu. Sarah bersih dari dugaan itu, karena Pram sudah memastikannya. Lalu, siapa lagi yang memiliki dendam padanya.

"Sakit, ya, Ma?" tanya Monica sambil menyentuh pipi merah Mentari.

Tari tersentak dari lamunannya. Ia tersenyum. Sentuhan tangan kecil itu memberikan kebahagiaan tersendiri baginya. 

"Tidak sakit, Sayang. Pasti tante Sarah yang sedang kesakitan tangannya setelah menampar mama." 

Monica seperti sumber energi tak terbatas. Hanya menatapnya, Mentari sudah menjadi kuat kembali. Ia memeluk gadis kecil yang belum lama menjadi anak tirinya.

"Monic pasti akan membalas tante Sarah buat Mama," ucapnya dengan bibir mengerucut. 

Mentari tertawa lebar mendengar ancaman gadis kecil itu. Bukannya seram, justru menggemaskan. Tari tidak tahan untuk mencubit pipi gemuk putri kecilnya.

***

Mereka tiba di depan gerbang sekolah. Karena tidak diperbolehkan bertemu di luar jadwal sekolah, Monica melarang Mentari pergi. Ia harus menunggu sampai jam istirahat dan jam pulang sekolah.

Monica ingin pergi makan siang bersama ibunya. Rengekan anak itu membuat Tari tidak bisa berbuat apa-apa, padahal hari ini ia harus pergi ke resto. Ia bersikap seolah ia benar-benar telah melahirkan seorang anak. 

Mentari duduk di taman sambil memandangi ibu-ibu yang sedang bergosip. Mereka seperti dirinya, sedang menunggu anak-anak mereka keluar beristirahat dan pulang. Suara hentakan hak sepatu mengalihkan pandangan semua orang.

"Ch! Ternyata cuma dijadikan pengasuh anak nakal itu. Aku pikir, mas William itu benar-benar buta sampai mau menikahi gadis sepertimu," cibir Laura dengan sikap angkuhnya.

Mentari selalu mengalah dan menghargai wanita itu sebagai kakak angkatnya. Namun, tidak demikian dengan Laura. Wanita itu selalu merasa bahwa Mentari akan merebut semua miliknya.

"Kakak di sini? Bagaimana pekerjaannya, apa melelahkan?" tanya Mentari dengan sopan. Ia ingin mengalihkan pembicaraan mereka. Apa pun yang terucap dari bibir Mentari selalu diartikan salah oleh kakak angkatnya.

"Kau sedang mengejekku sekarang? Kau anggap aku tidak mampu mengurus TK Glory dengan baik, begitu?!"

Semua mata menatap sinis kepada Mentari. Gadis itu yang berada di posisi sedang tertindas, tapi mereka beranggapan sebaliknya. Terlebih saat mereka mendengar ocehan dari mulut Laura yang terkesan membuat gadis itu seperti seorang wanita nakal.

"Dengan cara apa kau merayu mas William? Dia adalah tunangan Sarah, temanku. Sampai saat ini, kau pasti tahu kalau mereka masih bertunangan dan bahkan akan menikah dalam waktu dekat.

"Kau hanya terlihat seperti pelayan rendahan yang naik ke ranjang raja, lalu berdiri di belakangnya sebagai selir. Selamanya, kau … tidak akan menjadi ratu. Karena posisi itu tetap milik Sarah. Mengerti?!" tandas Laura sambil mendorong Mentari sampai terhuyung ke belakang.

Mentari tersenyum kecut setelah wanita itu pergi. Pandangan orang-orang, serta kata-kata dari mulut mereka sangat menusuk hati gadis itu. Apa yang harus dikatakan? Tidak ada. Semua yang dikatakan Laura memang benar adanya.

"Benar sekali. Aku hanya dinikahi untuk mengasuh Monica," lirih Mentari dengan wajah tertunduk malu. Bagaimana tidak malu, jika mereka menganggapnya gadis rendahan yang merayu tunangan orang lain dengan menggunakan tubuhnya.

Andai mereka tahu Tari masih suci sampai saat ini. Sayangnya, kehidupan William bukanlah hal yang bisa diumbar sembarangan. Pernikahan mereka pun dirahasiakan dari khalayak umum. 

***

"Hoam …."

William terbangun jam sepuluh pagi. Ia bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang. Kepalanya terasa berputar-putar karena masih terpengaruh sisa minuman beralkohol yang ditenggaknya kemarin malam.  

"Ini …." Dia mengedarkan pandangannya mengelilingi setiap sudut kamar. "Kamar Tari!" pekiknya kemudian.

Saat turun dari ranjang, ia menyadari keadaannya sedang polos tanpa sehelai kain pun yang menempel. Ia terduduk kembali di tepi ranjang. Menarik selimut dan menggunakannya sebagai pelindung tubuh bagian bawah.

"Pak Ran!" seru Will dengan suara lantang.

"Ya, Tuan!" 

Suara Ran terdengar dari halaman depan. Laki-laki paruh baya itu sedang mengawasi para asisten rumah tangga yang sedang mengganti tanaman di taman depan rumah. Butuh waktu lima menit sampai Ran tiba di kamar Mentari.

"Saya, Tuan. Apa ada perintah untuk saya?" tanya Ran sambil menundukkan wajahnya. Ia merasa tidak sopan menatap ranjang dan tubuh majikannya.

"Di mana Mentari?"

"Non Mentari sudah menjemput non Monic dan mengantarkannya ke sekolah."

"Kapan aku datang ke rumah ini?"

"Jam sepuluh malam, Tuan. Anda sangat mabuk. Saya yang mengantar Anda ke kamar non Tari," jawab Ran apa adanya.

"Kenapa ke kamar ini? Kau lupa di mana kamarku?" tanya William dengan wajah merah padam. Ia sedang menghindari Mentari, tapi berakhir tidur di kamar dan ranjang yang sama.

Kondisinya yang telanjang pun tidak dapat dijelaskan oleh kepala asisten. Laki-laki itu tidak mungkin berdiri menunggu di kamar itu semalaman. Ia bahkan tidak tahu kalau Tari keluar dari kamar itu setelah William tertidur.

"Pergilah!" 

"Baik, Tuan." Asisten Ran keluar dengan tergesa-gesa. Suasana hati sang majikan sedang tidak baik dan ia tidak mau menjadi korban kekesalan majikannya.

'Aku terbangun dengan tubuh telanjang … apa …. Tidak mungkin! Kalau memang kami melakukannya, kenapa tidak ada darah di sprei? Tari masih virgin, jadi pasti berdarah saat melakukan pertama kali. Bukankah begitu?' 

William memijat keningnya yang semakin berdenyut nyeri saat memikirkan apa yang terjadi semalam. Toleransi alkoholnya cukup baik, jika hanya satu atau dua gelas, tapi semalam William minum dua botol. Hal itu membuatnya lupa dengan apa yang terjadi.

*BERSAMBUNG*