Chereads / MISSING WIFE / Chapter 29 - Aroma cuka (cemburu) yang sangat kuat

Chapter 29 - Aroma cuka (cemburu) yang sangat kuat

Setelah makan siang, Mentari mengantarkan Monica kembali ke rumah. Dirga sendiri yang menjemput cucu kesayangannya. Ia memutuskan untuk tinggal di rumah William sejak kemarin.

"William masih belum kembali. Jika dia ada di rumahmu, suruh dia kembali atau dia akan menyesal!"

"Kakek, kenapa papa tidak boleh tinggal sama mama?" tanya Monica sambil menarik ujung jas kakeknya.

"Monic salah sangka. Papa punya banyak pekerjaan di kantor. Kakek tidak kuat bekerja terlalu lelah," jawab Dirga beralasan. 

"Monic, Sayang. Mama juga sangat sibuk. Monic tahu, kan, mama harus menjalankan tugas rahasia. Kalau papa tinggal sama mama, nanti mama ketahuan," ucap Mentari membujuk.

Ia pernah menceritakan tentang restorannya yang dirahasiakan dari orang lain. Tari menggunakan cerita itu untuk membujuk Monica dan itu cukup berhasil. Monica tidak lagi membantah ucapan kakeknya.

'Harus kuakui, Monica yang biasanya selalu nakal dan membantah, ternyata bisa sangat patuh terhadap gadis ini. Pantas saja William menjadikannya ibu pengganti. Sayangnya, dia hanya seorang anak adopsi yang tidak memiliki derajat tinggi.'

"Saya permisi, Tuan." 

Mentari berpamitan di depan gerbang. Mulai hari ini, ia hanya boleh mengantar jemput sampai di depan gerbang. Kebahagiaan Tari hanya sekejap.

'Hah … kenapa semakin sulit untuk bersama Monic?'

Tari menarik napas panjang dan mengembuskan kasar. Sang Sopir tidak tega melihatnya. Mentari memergoki sopirnya sedang menatap ke arahnya.

"Kenapa, Pak?" Tari bertanya sambil melirik tubuhnya sendiri. "Apa ada yang salah denganku?"

"Tidak, Nyonya. Saya hanya tidak mengerti, mengapa wanita sebaik, Nyonya, selalu diperlakukan dengan buruk? Maafkan saya, jika saya lancang berkomentar," ujar sopir sambil mengangguk dalam, sekilas.

"Tidak perlu merasa bersalah. Apa yang dikatakan oleh Bapak memang benar. Aku selalu merasakan perlakuan tidak adil, tapi aku bukan wanita baik.

"Wanita yang baik, tidak akan mendapatkan hal buruk dalam hidupnya. Bukankah begitu?" tanya Mentari sambil melihat keluar jendela.

Sopir semakin merasa kasihan dengan ucapan majikannya. Baik tidaknya seseorang, bukan dirinya sendiri yang bisa menilai melainkan orang lain. Di mata sopir serta para asisten rumah tangga, Tari sosok wanita yang sangat baik.

'Kasihan sekali nyonya. Dia merasa menjadi wanita tidak baik karena perlakuan buruk orang lain padanya.'

Mentari melamun dengan pandangan menerawang ke langit biru sepanjang jalan. Hari ini cuacanya sangat cerah, hanya hatinya yang sedang mendung. Ia pikir, ia akan hidup bahagia setelah memutuskan untuk menikah.

Tidak mendapatkan cinta dari suami kontraknya, itu tidak masalah bagi Mentari. Namun, ia sedih saat tidak diperbolehkan bersama Monica.

***

Tiba di rumah, ia masih saja merenung. Air hangat di dalam bak mandi tidak dapat menghangatkan hatinya yang sedang kedinginan (kesepian). Suara tawa polos anak kecil itu sudah mengganggu setiap helaan napas Tari.  

Keluar dari bak mandi, ia tidak sengaja menginjak busa sabun. Tari menjerit kesakitan karena terjatuh. Mendengar suara pintu kamar dibuka, ia segera menarik jubah mandi dan menutupi tubuhnya.

"Pak Ran? Bi Sa? Siapa di sana?" tanya Mentari dalam posisi duduk bersandar ke dinding bak mandi.

"Ini aku. Kau … sudah pakai handuk? Aku akan masuk," jawab William sambil membuka pintu kamar mandi. Matanya membelalak ketika melihat istrinya terduduk dengan dahi memar.

Grep!

William segera membawa Mentari keluar dari kamar mandi dengan menggendongnya. Setelah istrinya dibaringkan di tengah tempat tidur, William menelepon dokter. Wajahnya terlihat tegang, gurat kecemasan tampak jelas.

"Anda belum pulang, Tuan Will?"

'Tuan Will? Ah, benar juga. Aku sendiri yang memintanya untuk tidak bersikap akrab. Sial! Kenapa aku jadi kesal?'

"Aku masih pusing dan takut untuk mengemudi. Aku akan pulang nanti," jawab Will sambil mondar-mandir di samping tempat tidur.

"Tuan besar menitipkan salam untuk Anda. Dia memintaku untuk menyuruh Anda segera pulang jika Anda masih berada di rumah ini. Jika Anda tidak segera pulang, Anda akan menyesal."

"Apa kau sedang mengancamku sekarang?" tanya William dengan kedua mata menyipit.

"Tidak. Saya menyampaikan semua yang dikatakan tuan besar, termasuk kata-kata ancaman itu."

Mentari menjawab tanpa menatap wajah suaminya. Ia menatap tirai jendela yang tertiup angin. Tari sangat menyukai angin alami yang masuk ke kamarnya, hingga ia selalu mematikan AC dan memilih membuka pintu balkon kamarnya. 

"Papa yang mengancamku?" tanya Will meyakinkan. Tari hanya mengangguk kecil. Tangan William mengepal erat, gigi menggertak, dan mata merah padam.

'Bagaimana bisa papa mengancamku seperti itu? Apa yang akan dilakukannya jika aku tidak pulang?'

Tok … tok … tok…

Dokter yang dipanggil Will tiba. Kepala asisten Ran yang mengantar ke kamar Tari. Dokter muda yang cukup tampan dan memiliki sikap yang lembut.

"Berapa usia Anda, Dokter?" tanya William menyelidik. Ia merasakan aroma asam (cemburu) saat mendengar dokter muda itu berbicara dengan Mentari.

"Dua puluh delapan tahun. Anda tertarik dengan keterampilan medis saya atau biografi saya, Tuan Will?" tanya dokter sambil tersenyum tipis.

"Ah, Anda baru berusia dua puluh delapan tahun. Kita hanya berbeda lima tahun, Dokter," ucap Tari mengalihkan pembicaraan dokter dan Will. Ada hal aneh dari nada pertanyaan suaminya, membuat ia mengkhawatirkan keselamatan sang dokter.

"Apa dia bertanya padamu?" tanya Will kesal.

Ran mencium aroma cuka (cemburu) yang sangat kuat. Bibirnya terangkat, menciptakan garis lengkungan lebar. Ia harap, hubungan kedua majikannya bisa berjalan lancar. Sayangnya, mereka terhalang restu dari Dirga.

'Tuan Will sepertinya sedang cemburu padaku?' gumam dokter dalam hati. 

"Nyonya Will mengalami patah tulang ringan dan cedera di bagian bahu. Untuk lebih spesifiknya, Anda harus melakukan pemeriksaan di rumah sakit, Nyonya Will. Untuk luka di dahi, itu juga harus diperiksa dengan teliti di rumah sakit. Sementara waktu, saya buatkan resep untuk meredakan nyeri. Anda bisa menebusnya di apotik," ucap Dokter panjang lebar.

"Terima kasih, Dokter."

"Sama-sama, Nyonya Will."

"Panggil saya nona saja, Dokter. Benar, kan, Pak Ran?" Tari melirik ke arah kepala asisten.

Tari menempatkan laki-laki paruh baya itu dalam dilema. Ditatap tajam oleh Will dan Mentari, tubuhnya terasa dingin. Keringat mulai keluar dari pori-pori kulitnya yang sudah mengendur.

"Pak Ran! Apa yang saya katakan benar, kan?" Tari mengulang pertanyaannya.

"Be … benar, Nona," jawab Ran pada akhirnya.

'Ada yang aneh di sini? Apa suami istri ini sedang terlibat perang dingin? Ah, masa bodoh. Apa yang terjadi di sini, itu adalah urusan rumah tangga mereka.'

"Baiklah, Nona Tari. Saya harus pamit undur diri. Tuan Will, tolong bantu istri Anda untuk kegiatan rutinnya. Dia akan kesulitan menggunakan tangan kanannya karena luka di lengan dan bahunya," ucap Dokter sebelum diantar keluar oleh Ran.

Di kamar itu, suasana tiba-tiba menjadi tegang. William cemburu melihat Tari berusaha memprovokasinya. Tari menelan saliva dengan susah payah. Tatapan suaminya sangat mengerikan saat ini.

*BERSAMBUNG*