Gadis itu datang setelah satu jam Pramuda menunggunya di cafe. Seorang wanita berkisar umur tiga puluh lima tahun, datang bersamanya. Wajah gadis itu masih menatap masam karena kesal.
"Dia ini pemilik dompet. Berikan padanya sekarang! Aku sudah bosan melihat wajahmu yang menyebalkan," ketus Gadis itu.
"Mona!" hardik wanita yang menggendong bayi berusia dua bulan. "Maaf, adik saya ini memang seperti itu sifatnya. Perkenalkan, saya Maudy. Saya kakaknya Mona sekaligus pemilik dompet itu."
Pramuda sudah melihat foto di dalam dompet. Wanita yang menggendong bayi itu memang sang pemilik dompet. Laki-laki itu memberikan dompetnya dan mengakui kesalahan.
"Ini dompet Anda, Nyonya Maudy. Nona Mona?" tanya Pram sambil menunjuk gadis itu. Maudy menjawab dengan senyuman tipis. Pram meminta maaf padanya, "Maafkan atas ucapan saya yang terkesan menuduh Anda sebagai pencuri. Saya harap, Nona Mona bisa memaafkan saya."
"Ya." Gadis itu menjawab dengan nada ketus sambil berbalik pergi meninggalkan kakaknya.
"Terima kasih karena Anda sudah mengembalikan dompet saya. Kalau begitu, saya permisi."
"Sama-sama. Hati-hati di jalan, Nyonya Maudy."
Pramuda masih sempat melirik gadis yang sedang membukakan pintu mobil untuk kakaknya. Bibirnya terangkat saat gadis itu mengejeknya dengan menjulurkan lidah sebelum akhirnya pergi. Laki-laki itu semakin tertarik setelah mengetahui gadis itu bukanlah pencuri.
***
William pulang ke rumah. Sudah sore, tapi Monica tidak terlihat ada di rumah. Ia bertanya kepada Imah, asisten rumah tangganya.
"Dimana Monic?" tanya Will sambil melepas sepatu di teras.
"Non Monic belum pulang, Tuan," jawab Imah.
Wanita itu merapikan sepatu majikannya ke atas rak sepatu sambil menjawab pertanyaan dengan wajah tersenyum. Ia merasa bahagia untuk gadis kecil itu yang kini memiliki seorang ibu. Namun, ia tidak melihat kemarahan di wajah William.
"Kenapa dia belum pulang? Apa yang dilakukan Tari sampai lupa menjemput Monic?!" tanya Will dengan suara lantang.
Imah terlonjak kaget mendengar majikannya berteriak. Senyuman wanita paruh baya itu lenyap, berganti ketakutan menghadapi kemarahan sang majikan. Entah apa yang terjadi? Imah benar-benar kebingungan.
"A … ampun, Tuan. Tadi, Nyonya menelepon dan bilang kalau … Non Monic ikut ke rumah Nyonya."
"Jangan panggil dia nyonya! Panggil Nona seperti sebelumnya. Mengerti!"
"Ba ... baik, Tuan," jawab Imah dengan suara bergetar ketakutan. Sekujur tubuhnya merasa dingin seperti sedang berada di dalam lemari pendingin.
William memakai kembali sepatu yang yang baru dirapikan oleh asisten rumah tangga. Ia meminta Imah mengambilkan kunci mobil. Setelah wanita itu menyerahkan kunci, Will pergi mengendarai mobilnya sendiri tanpa memanggil sopir.
***
Monica sedang tidur siang bersama Mentari. Gadis kecil itu tersenyum dalam tidurnya. Baru kali ini, Monic merasakan pelukan seorang ibu saat ia tidur.
Mentari yang memiliki sikap hangat, membuat gadis kecil itu menargetkannya menjadi ibu tiri. Sejak pertama kali Mentari mengasuhnya, Monic sudah merasakan rasa nyaman dan aman dalam dekapannya. Ia berhasil menjadikan Mentari sebagai ibu sambung, tapi sayangnya sang ayah tiba-tba berubah.
Tok! Tok! Tok!
Asisten rumah tangga yang memakai apron bertuliskan nomor sembilan pergi membuka pintu. Ia membungkuk, menyambut kedatangan sang tuan rumah. Kepala asisten Ran segera berlari menyambut William di dekat pintu.
"Mana Monic?" tanya Will sambil bertolak pinggang.
"Menjawab Tuan. Nona Monic sedang tidur siang bersama Nyonya," jawab Ran.
William mengibaskan tangannya, meminta mereka kembali ke pekerjaan mereka. Kepala asisten dan asisten rumah tangga itu mengangguk, lalu pergi ke ke belakang. Will berjalan dengan suara pelan menuju kamar Mentari.
Kriett!
Laki-laki itu membuka pintu kamar yang tidak terkunci. Pemandangan langka itu membuat Will mendesah frustrasi. Putrinya tertidur pulas dalam dekapan Mentari dan itu adalah mimpi yang sangat sulit didapatkan oleh gadis kecil itu.
Ibu kandungnya sendiri, belum pernah memeluknya seperti itu. William tidak tega menghancurkan mimpi indah Monica. Perasaannya sendiri pun sangat dalam terhadap Mentari. Sulit untuk menghapusnya begitu saja.
"Mas …. Kamu pulang?" tanya Mentari dengan mata setengah terbuka. Ia terjaga saat William hendak menutup pintu.
"Hem. Kamu boleh memanggilku seperti itu, tapi hanya di rumah ini. Pernikahan kontrak kita ... tidak boleh tersebar ke publik, mengerti!"
"Aku mengerti, Tuan!"
Tari menjawab sambil membalikkan tubuhnya menghadap ke jendela. Ia terluka dengan sikap Will yang sangat dingin padanya sekarang. Di saat ia sudah jatuh hati, laki-laki itu mematahkan hatinya menjadi kepingan kecil.
Mendengar istri tercintanya memanggil 'Tuan', hati Will juga terluka. Ia ingin menjalani kehidupan rumah tangga seperti orang lain. Namun, situasi mereka yang datang dari status sosial yang berbeda, membuat mereka tidak bisa melakukannya. Will meminta gadis itu menemuinya di ruang tamu.
"Aku tunggu kamu di ruang tamu. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan," kata Will sambil berdiri menatap punggung istrinya.
"Ya."
Tari menjawab singkat. Lagi-lagi ia diingatkan akan statusnya yang hanya sebagai istri kontrak. Harusnya ia senang, karena tidak terjadi apa-apa di antara mereka, tapi entah kenapa ia merasa kecewa?
'Aku harus sadar diri. Aku hanya anak adopsi yang dinikahi secara diam-diam dan hanya dijadikan sebagai istri kontrak. Kenapa hatiku sangat sakit? Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus membuat segalanya lebih jelas.'
Ia segera bangun dan membasuh wajahnya di kamar mandi. Selesai mengganti baju, Mentari turun dari kamar dan menemui suaminya. Ia mengedarkan pandangan aneh.
Bukan cuma dirinya saja yang dipanggil, tapi bersama sebelas asisten rumah tangga berikut kepala asisten Ran. Will mengumpulkan semua orang agar ia tidak perlu bicara berulang-ulang. Dengan begini, mereka semua bisa mengerti dalam satu kali pemberitahuan.
"Duduklah!"
Mentari duduk di depan Will, tapi ia enggan menatap wajah suaminya. Ia menundukkan wajah dengan kedua tangan meremas tepian sofa. Tarikan napasnya terasa lebih berat dan sulit untuk bernapas.
"Kalian semua …. Dengarkan apa yang ingin aku katakan! Jika ada yang berani bertanya, aku akan memecatnya. Mulai hari ini, panggil Tari dengan sebutan 'Nona'! Jangan memanggilnya nyonya lagi.
"Lalu, kau … jangan pernah membawa Monic ke rumah ini! Aku melarangmu menginap dan menginjakkan kaki di rumahku, tapi aku juga tidak mengijinkan kamu membawa Monica kemari. Apa kau mengerti?"
Mentari mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Will tidak hanya memutuskan interaksi dengannya, tapi juga melarangnya berinteraksi dengan Monica di luar pekerjaannya mengasuh gadis kecil itu. Ia sangat bahagia saat gadis kecil itu memanggilnya mama sambil bermanja-manja dengannya. Kini, mereka dilarang untuk bertemu selain saat mengantar-jemput ke sekolah.
Ran dan para asisten rumah tangga lainnya membelalakkan mata. Baru beberapa hari yang lalu, Will terlihat sangat romantis terhadap Mentari. Namun, dalam waktu yang singkat, laki-laki itu sudah berubah kembali.
*BERSAMBUNG*