Dirga membawa Monica pulang. Tari belum selesai memandikannya, tapi gadis kecil itu dibawa paksa dengan hanya memakai handuk. Dirga tidak peduli dengan rengekan cucunya yang tidak bersedia pulang.
"Monic mau tinggal sama mama, Kek. Monic gak mau pulang," rengeknya sambil menangis.
"Monic bisa bertemu mama besok. Kakek membelikan boneka beruang untuk Monic. Nanti boneka beruangnya menangis kalau Monic tidak pulang," ucap Dirga membujuk cucunya.
"Monic cuma mau mama!"
Monica terus menangis sepanjang perjalanan pulang. Dirga tetap menutup rapat telinganya sampai mobil itu berhenti di teras rumah William. Gadis kecil itu berlari masuk mencari bi Imah.
"Huu … huu …."
"Non Monic! Kenapa menangis, Non?" tanya Imah sambil meraih tangan Monica.
"Kakek nakal, Bi!" Monica mengadukan kakeknya kepada Imah.
Status Imah hanya pembantu, mana berani dia memarahi tuan besar. Ia menggendong gadis kecil itu dan membawanya masuk ke kamar untuk mengganti baju. Dirga mencari keberadaan William, karena putranya itu sudah pergi lebih dulu dari rumah Tari.
"Di mana Monic?" tanya Dirga setelah Imah keluar dari kamarnya.
"Non Monic sudah tidur, Tuan," jawab Imah.
"Kalau Will?"
"Tuan Will belum pulang sejak siang," jawabnya lagi. Imah pergi ke dapur setelah mendapat perintah dari Dirga. Ia diminta membuat kopi untuk sang tuan besar.
Dirga akan menunggu sampai Will pulang. Entah sedang di mana laki-laki itu saat ini. Untuk mempermudah urusan pertunangan, Dirga menelepon Sarah dan memintanya datang ke rumah William.
***
Mentari menangis di dalam kamar mandi. Malu jika sampai terdengar kepala asisten Ran dan para asisten rumah tangga lainnya. Saat ia sedang membasuh tubuhnya, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.
Brak!
"Aahh! Mau apa kamu masuk? Jangan kemari!" seru Tari sambil menutupi tubuh bagian depannya menggunakan tirai pembatas kamar mandi dan toilet. Ia gemetar ketakutan melihat William masuk dengan kedua mata merah, baju berantakan, dan langkahnya sempoyongan.
"Mau apa? Aku mau kamu, Istriku," jawab William sambil melangkah maju mendekati Mentari.
"Ja … jangan mendekat! Aahh!" teriak Tari saat Will menarik tirai sampai terlepas dari pengaitnya.
William mengangkat tubuh wanita itu dengan keadaan polos. Ia melempar tubuh Tari ke tengah ranjang. Secepat kilat menimpa tubuh polos itu dan mencumbunya penuh hasrat.
Bau alkohol menguar dari mulut laki-laki itu. Membuat Mentari merasa pusing saat Will menciumnya dengan rakus. Tangannya sangat aktif menjelajah setiap bagian tubuh Mentari.
"Hmm …." Suara Tari tersekat di tenggorokan. Tangannya terus berusaha mendorong laki-laki yang sedang dalam pengaruh minuman beralkohol. Sudut mata gadis itu mulai berair dan isakan tangis mulai terdengar lirih meski mulutnya disumpal kecupan suaminya.
Will membuka semua kain yang menempel di tubuhnya, lalu kembali mengecup leher Mentari. Pikirannya kembali saat Mentari menamparnya. Gadis itu mengembalikan setengah kesadaran William.
"Kita akan bercerai saat kontrak pernikahan ini berakhir. Kumohon … jangan lakukan ini padaku. Jangan …. Kumohon …." Tari terisak semakin kencang.
Mendengar istrinya menangis, William berguling ke samping, lalu menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya dan Tari.
"Apakah kau membenciku?" tanya Will masih setengah mabuk.
Mentari berbaring membelakangi suaminya. Gadis itu membisu. Semua kata-kata yang diucapkan laki-laki itu keluar dari lubuk hatinya. Namun, Tari tidak menganggapnya serius karena Will bicara dalam keadaan setengah sadar.
"Kau pasti membenciku. Aku tidak tahu, sejak kapan aku mulai menyukaimu. Aku selalu ingin bersamamu, berdiri disampingmu, menyentuhmu. Aku mulai terbiasa dengan semua itu, dan aku~" Ucapan Will terhenti. Ia tertidur di samping Mentari.
'Kenapa dia tidak bicara lagi?' gumam Tari dalam hati. Ia berbalik dan berbaring miring menghadap ke arah William yang sudah tertidur pulas. Mentari menyentuh wajah suaminya dengan lembut.
"Aku tidak membencimu. Aku juga tidak tahu. Meskipun kau selalu membuatku terluka, tapi aku tidak bisa marah padamu. Aku justru marah pada diriku sendiri.
"Jika aku tidak menjadi pengasuh Monica, jika aku tidak bertemu denganmu, apakah kita akan berada dalam situasi sekarang? Aku sangat berharap memiliki rumah tangga yang sempurna bersamamu," gumam Tari dengan mata membanjir.
Ia memberanikan diri mengecup bibir William, lalu beranjak turun dari ranjang. Mentari memakai piyama tidur terlebih dulu, lalu keluar dari kamar. Ia tidur di kamar yang lain.
Masih banyak kamar yang kosong di rumah besar itu. William sudah mengganti nama pemilik di surat tanah dengan nama Mentari. Rumah itu diberikan Will kepada istrinya sebagai hadiah pernikahan.
***
"Anda sudah mau pergi, Nona?" tanya Ran.
"Iya. Mas William mabuk semalam. Biarkan dia tidur lebih lama," ucap Tari sambil merapikan bajunya. Ia bersiap menjemput Monica lalu mengantarnya ke sekolah.
"Baik, Nona. Mobil Anda sudah siap," lapor kepala asisten rumah tangga itu.
"Terima kasih. Saya pergi dulu," pamit Tari.
"Selamat jalan, Nona." Ran membukakan pintu mobil untuk Mentari. Setelah mobil pergi, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Pekerjaan laki-laki paruh baya itu tidak begitu berat. Ia hanya mengawasi dan memerintah sebelas asisten rumah tangga untuk membersihkan rumah, memasak, dan melayani tuan rumah. Satu pekerjaan utamanya adalah menjaga sang nyonya selama tinggal di rumah itu.
Mentari tiba di depan gerbang rumah William. Mobilnya dilarang masuk ke dalam gerbang. Mau tidak mau Tari harus turun sendiri untuk melapor kepada penjaga gerbang.
"Permisi, saya harus menjemput Monic atau dia bisa terlambat ke sekolah," ujarnya dengan nada kesal. Ia sudah mendapat izin dari William untuk masuk ke rumah saat menjemput dan mengantarkan Monic setelah pulang sekolah. Namun, penjaga gerbang itu tetap diam dan tidak mau membukakan pintu untuk Mentari.
"Hei! Apa kalian tahu siapa dia? Dia adalah Nyonya William, nyonya kalian. Berani sekali kalian membiarkan dia berdiri di depan gerbang seperti ini," maki sopir yang tidak tahan melihat keangkuhan si penjaga gerbang.
"Maaf, kami hanya menjalankan perintah tuan. Mohon tunggu di depan gerbang saja, Nona Tari," jawab Muin, salah satu penjaga gerbang besar rumah William.
Tidak lama, Dirga keluar dari rumah bersama Sarah dan Monica. Mereka melihat Mentari seolah melihat musuh. Matanya mereka seperti anak panah yang siap menghujam jantung Tari.
Dirga berhenti dua langka di depan Mentari. Monica langsung dibawa masuk ke mobil oleh sopir. Akan ada pembicaraan para orang dewasa dan sopir itu tidak boleh membiarkan Monica mendengarnya.
"Apa Will ada di rumahmu?" tanya Dirga dengan tatapan tertuju ke arah mobil milik William.
"Benar, Tuan," jawab Mentari jujur. Ia tidak bisa berbohong, karena tahu seperti apa pengaruh laki-laki itu. Sekalipun ia berbohong, pasti akan ketahuan.
Plak!
Sarah menampar Mentari dengan cukup keras. Kerasnya tamparan Sarah membuat pipi Tari memiliki gambar tangan. Dirga hanya tersenyum melihat kejadian itu.
*BERSAMBUNG*