Dikunci berdua di kamar, Tari sedikit ketakutan. Jika terjadi sesuatu di antara mereka, itu bukan hal terlarang. Namun, William hanya suami kontrak, dan mereka sudah setuju untuk saling menjaga jarak.
"Monic! Sayang! Buka pintunya, dong!" seru Mentari.
Tok! Tok!
"Monic! Mama marah, nih," ancam Mentari sambil melirik laki-laki tanpa busana yang berbaring di bawah selimut.
"Mama sama papa harus bikin adek yang banyak buat Monic!"
Gadis kecil itu menjawab sambil berlari meninggalkan kedua orangtuanya yang terkunci. Suara gadis kecil itu semakin menjauh, menghilangkan harapan Mentari untuk keluar dari lubang harimau.
"Dia tidak akan kembali, percayalah. Jadi, lebih baik naik kemari," ucapnya dengan tatapan penuh hasrat. Bak serigala lapar yang melihat daging segar di hadapannya. Ia melambaikan tangan kepada istrinya. "Kemari, Sayang!"
"Jangan mimpi! Kamu sudah memintaku untuk sadar dengan statusku, lalu apa hakmu memintaku melayanimu?" tanya Tari dengan nada ditekan.
"Hakku jelas, karena aku pihak pertama. Semua ucapan pihak pertama harus dituruti oleh pihak kedua. Lupa?" tanya William mengintimidasi.
Mentari tertegun menatap William yang melirik tubuhnya dari atas sampai ke bawah. Ia menarik kerah bajunya sampai menutupi leher. Canggung dan berdebar-debar, Tari sangat tidak nyaman dengan suasana saat ini.
William menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Sontak saja Tari membalikkan badan. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Mau apa kamu berdiri telanjang begitu?"
"Menurutmu?" William melangkah perlahan dengan aura dingin yang mendominasi.
Detak jantung gadis itu semakin cepat saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari arah belakangnya. "Jangan mendekat!" seru Tari tanpa berbalik. Napasnya semakin memburu ketika tangan William menyentuh pundaknya.
Deg!
Tubuh gadis itu menegang kaku.
Melihat reaksi Mentari, ia justru semakin semangat untuk menggodanya. William sudah memakai celananya sejak Tari membalikkan badan. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan.
"Kumohon ... menjauhlah!"
"Kalau aku tidak mau?" William berjalan menjauh dan duduk di tepi ranjang. "Berbaliklah! Apa kau mau berdiri sampai malam di sana?"
"Tidak mau!" sahut Tari dengan cepat. Ia tidak mau melihat tubuh polos laki-laki itu.
"Kau takut padaku? Kenapa? Aku pria yang tampan dan populer. Bahkan, aku mendapat julukan 'Hot Daddy'. Apa kau tidak tertarik padaku?"
Mentari menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik dan membuka mata. "Kau membohongiku," ketus Tari saat melihat Will sudah berpakaian lengkap.
Awalnya, laki-laki itu hendak mandi. Namun, tiba-tiba Mentari menerobos masuk. Ia tidak berniat sengaja mempertontonkan tubuhnya di depan sang istri.
"Sejak tadi, kamu terus marah-marah. Duduklah dan tunggu sampai pak Ran membukakan pintu. Aku sudah mengirim pesan padanya."
Mereka duduk berjauhan di tepi ranjang. Mentari terus merapikan rambutnya, sedangkan Will terus mencuri-curi pandang. Sudah sepuluh menit berlalu namun Ran masih belum membukakan pintu.
William mengambil ponselnya. Bermain game online untuk membunuh waktu. Setiap kali pandangannya menyapu leher istrinya, ia menelan saliva.
Sebagai pria normal, tentu ia tergoda oleh tubuh istrinya. Walaupun gadis itu terbilang pendek, tapi tubuhnya cukup berisi. William hampir gila karena menahan hasratnya.
"Sial!" umpatnya saat kembali menatap layar ponsel. Rupanya, pesan yang dikirim ke pak Ran justru dibalas oleh Monic.
(Papa tidak boleh minta bantuan sama pak Ran. Pokoknya, Papa dan mama harus memberikan adik untuk Monic. Titik!)
"Kau mengumpatku?" tanya Tari dengan tatapan sinis.
"Aku lebih suka mencumbumu daripada mengumpat," celetuk William.
Mentari bangkit dari ranjang dengan cepat. Entah kenapa, Tari merasa laki-laki itu berbicara serius kali ini. Dan benar saja, William menarik tangan Mentari hingga gadis itu terjerembab ke atas ranjang.
William mendaratkan kecupan nakalnya di sekujur tubuh istrinya. Membuat gadis itu kegelian dan menggigit bibir bawahnya. Penolakan Mentari berakhir menjadi desahan pelan. Hasrat keduanya semakin tinggi namun mereka lagi-lagi terganggu oleh suara ketukan.
'Lagi? Sial! Kenapa setiap kali aku ingin menikmati keintiman bersama Tari selalu saja ada gangguan. Kali ini siapa yang berani menggangguku momen indahku?'
William beranjak bangun dari tubuh istrinya. Mentari merapikan rambut dan bajunya yang sudah tidak karuan. Wajah gadis itu bersemu merah saat mengingat ia hampir saja melakukan hubungan intim dengan suaminya.
Ceklek!
"Ada apa?" tanya Will dengan kesal.
"Papa yang seharusnya bertanya. Sedang apa kamu di sini? Papa dan Sarah sudah menunggu berjam-jam di resto. Kami datang ke rumahmu dan kata Imah, kau sedang ada di sini. Jelaskan kepada papa sekarang!" desak Dirga sambil melirik tajam kepada Mentari.
"Kamu … pergi mandikan Monic!" perintah William kepada istrinya. Ia tidak mau ayahnya melampiaskan kemarahan kepada Tari. Apa yang mereka lakukan dimulai oleh Will dan ia tidak akan melibatkan Mentari dalam hal ini. Namun, tidak demikian dengan pikiran Dirga.
"Berhenti kamu di situ!" cegah Dirga saat Tari hendak pergi dari kamar.
"Pa, kita bicara berdua," bujuk William agar ayahnya melepaskan Mentari.
"Diam kamu!" bentak Dirga sambil menunjuk wajah putranya. "Dan kau, pengasuh …. Aku tidak akan mengizinkan putra tunggalku memiliki istri seorang pengasuh. Sebaiknya buang jauh-jauh mimpimu untuk menjadi nyonya William! Apa kau mengerti?"
Wajah Dirga merah padam saat mengetahui William berani bermain-main dengan istri kontraknya. Mereka sudah sepakat untuk mengusir gadis itu ketika masa kontrak pernikahan telah berakhir. Dirga melarang Will menyentuh gadis itu apalagi jika Mentari sampai mengandung, Dirga tidak akan mengizinkan anak itu lahir ke dunia.
"Saya mengerti, Tuan besar. Permisi, Tuan Will," ucap Mentari sambil menahan rasa sesak di dadanya. Ia tidak pernah bermimpi untuk menjadi nyonya William. Pernikahan itu di bawah paksaan, meski akhirnya ia benar-benar jatuh cinta kepada William namun ia sadar dengan posisinya.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Will, meninggalkan bekas lima jari yang memerah. Dirga murka karena merasa dikhianati oleh putranya sendiri. Ia meminta putranya untuk datang menemui Sarah, tapi Will justru sedang mencumbu istri kontrak yang tidak pernah diakui oleh Dirga.
"Bukankah kau sudah berjanji untuk jauh-jauh dari wanita itu? Kamu berani membohongi papa, hah?!"
"Will hanya bermain-main saja, Pa. Kami tidak melakukan hubungan badan. Jadi, Papa jangan khawatir," ucap Will. Lalu pergi dengan kesal meninggalkan Dirga di kamar.
Prang!
Dirga melemparkan gelas yang ada di atas nakas. Sejak istrinya meninggal, ia tidak pernah bertengkar hebat dengan Will. Namun, hari ini putranya berani bersikap angkuh terhadapnya demi melindungi Mentari.
"Gadis itu harus disingkirkan dari putraku. Dia bisa merusak semua rencanaku untuk menjodohkan Will dengan Sarah," gumam Dirga dengan mata memelototi foto pernikahan Will dan Tari yang terpajang di dinding kamar itu.
*BERSAMBUNG*