Will membuka satu persatu kain yang membalut tubuh istrinya. Baru hendak melakukan ritual utama, sebuah panggilan telepon menginterupsi kegiatannya. Marah? Jelas saja ia marah, karena hari ini sudah dinantikannya sejak dua hari yang lalu.
Dia melakukan persiapan yang sangat matang untuk memberikan malam pertama yang berkesan untuk Mentari. Siapa sangka, di saat penting itu, terjadi sebuah gangguan. Bahkan, ia tidak sanggup menolak dan hanya bisa menurut.
"Halo!" William membentak laki-laki yang meneleponnya.
"Halo!"
Suara Dirga terdengar murka saat menjawab sapaan William. Laki-laki itu marah karena putranya pergi mengadakan liburan bulan madu. Will pernah mengatakan bahwa ia tidak akan menyentuh Mentari karena mereka hanya melakukan pernikahan kontrak selama tiga tahun.
"Kurang ajar! Kamu berani melawan papa, hah? Kamu bilang, dia cuma ibu pengganti sementara untuk Monic. Jika kamu sampai menyentuhnya, papa akan melakukan segala cara untuk membuatnya pergi selamanya dari duniamu!"
William bergeming, giginya menggertak. Tangannya mengepal dan bergetar. Ia menatap ke tempat tidur, melihat sosok Tari yang terbaring polos tanpa sehelai kain yang menempel.
"Papa tidak perlu takut. Will hanya … mengajaknya berlibur untuk membuat pikiran Tari tenang. Jika dia stress, Monic akan terlantar. Will tidak mau hal itu terjadi."
"Papa pegang ucapanmu. Berapa lama kamu di sana?"
"Besok kami pulang," jawab Will dengan berat hati.
"Papa dan papanya Sarah akan bertemu untuk membicarakan pertunangan kalian yang tidak jadi dibatalkan. Sarah akan ikut hadir, begitu juga denganmu, mengerti!"
"Will mengerti, Pa."
Tit!
Panggilan telepon berakhir. Tangan Will menggenggam ponsel erat. Ia menatap wanita yang berbaring menelungkup, menantinya datang untuk berbagi malam yang indah.
Will menaruh ponsel di atas nakas, lalu menghampiri Mentari. Menarik selimut dan menutupi tubuh polos istrinya. Wanita itu berbalik menatap suaminya dengan alis yang bertaut.
"Sebaiknya, kamu tidur. Aku ada urusan lain. Malam pertama kita … kita tunda."
"Oh," jawab Mentari dengan kecewa.
Setelah berbicara dengan istrinya, laki-laki itu keluar dari kabin. William pergi ke dek kapal dan menghisap rokok dengan frustrasi. Ia sudah bersumpah kepada mendiang ibunya sebelum beliau meninggal.
(Apapun yang terjadi, patuhilah ayahmu. Ibu mohon.)
Kata-kata terakhir sang ibu, membuat Will selalu menurut dengan apa yang menjadi keinginan ayahnya, termasuk pertunangannya dengan Sarah. Ia menikah dengan ibu dari Monic, juga tanpa restu dari ayahnya. Wanita itu pergi setelah melahirkan gadis kecil itu ke dunia.
Di kabin, Tari memakai kembali bajunya. Dia merasa dipermainkan oleh laki-laki itu. Diberi kejutan liburan bulan madu, diperlakukan bak seorang permaisuri, tapi akhirnya ditinggalkan setelah semua bajunya ditanggalkan.
Sebagai seorang wanita, Tari merasa terhina. Apakah tubuhnya tidak menarik? Sehingga suaminya enggan untuk menyentuhnya lebih intim.
Tari pergi ke kamar mandi. Ia mengalirkan air, mengisi bak mandi lalu berendam. Sebelum menerima telepon, sikap Will sangat romantis. Tapi, telepon itu telah mengubah laki-laki itu menjadi dingin seperti sebelumnya.
'Telepon dari siapa? Kenapa mas Will tiba-tiba berubah?'
Mentari mendesah berat. Semakin dipikirkan, rasanya semakin menyesakkan. Ia mencoba berpikiran positif, meski rasanya sulit.
"Kamu harus sadar, Tari. Kamu hanya istri kontrak. Mungkin, dia tidak mau menyentuhmu karena takut kamu hamil dan dia harus bertanggung jawab. Semangat, Tari! Lupakan malam ini, tunaikan tugasku selama tiga tahun kedepan, lalu pergi dengan damai."
Puk! Puk! Puk!
Gadis itu menepuk pipinya berkali-kali. Berharap pikirannya dapat teralihkan. Namun, semua sia-sia. Pada akhirnya, ia juga menangis.
"Hiks… hiks…."
William berdiri di depan pintu kamar mandi yang tertutup. Tangannya menempel di daun pintu. Kedua matanya berkaca-kaca mendengar suara tangisan pilu dari Tari.
Saat mendengar gadis itu akan membuka pintu, ia segera berlari. Will berbaring membelakangi gadis itu. Berpura-pura tidur mungkin berguna untuk menghindari pertanyaan dari Mentari.
Mentari naik ke ranjang perlahan-lahan agar tidak mengganggu William. Mereka berbaring dengan posisi saling membelakangi. Gadis itu menaruh bantal sebagai pembatas.
Satu jam kemudian, terdengar dengkuran halus dari bibir tipisnya. William membuka mata dan membalikkan badan. Ia menatap punggung istrinya yang naik turun seiring deru napas pelan.
'Kenapa setiap kali aku jatuh cinta, kisahnya selalu sama menyakitkan? Apa aku salah memutuskan untuk menepati janjiku pada ibuku?'
Mentari berbaring terlalu ke tepi, hingga saat ia bergerak, ia hampir saja terjatuh. Beruntung, Will menahan pinggang gadis itu tepat waktu. Karena takut gadis itu terjatuh, ia membalik tubuh istrinya agar berhadapan.
Tanpa sadar, Tari merespon. Ia menggeser tubuhnya semakin merapat ke dada William. Gadis itu meningkatkan tangannya di pinggang sang suami.
Will menghela napas berat. 'Sudahlah. Biarkan saja dia memelukku. Lagipula, dia sedang tidur.'
William membalas pelukan sang istri dan terlelap sampai burung-burung camar laut terdengar di atas dek.
***
Mentari bangun lebih dulu. Ia sempat terkejut saat membuka mata. Wajah mereka berdekatan, membuat jantungnya berdetak kencang. Gadis itu semakin terkejut saat melihat tangannya sendiri yang memeluk William dengan erat.
Sebelum laki-laki itu terbangun, ia segera beranjak pergi ke kamar mandi. Ketika gadis itu sudah menutup pintu kamar mandi, William membuka matanya. Sebenarnya, ia sudah lebih dulu bangun, tapi berpura-pura masih tidur.
William pergi ke kabin kemudi. Ia memerintahkan para kru untuk kembali ke dermaga. Awalnya, ia masih ingin berlayar selama dua hari kedepan. Rencana berubah karena telepon dari ayahnya.
Mentari duduk di kursi dekat jendela kabin. Ia tidak mau menemui suaminya. Jika mereka bertemu, ia tidak janji untuk bisa menahan rasa ingin tahu atas apa yang terjadi tadi malam. Will tiba-tiba saja meninggalkan dirinya dalam keadaan polos.
***
"Non Monic! Mama sama papa sudah pulang," ucap ….
"Sudah pulang?" tanya Monica sambil menurunkan kedua alisnya.
"Kenapa Non Monic sedih?"
"Papa dan Mama bilang, mereka akan kembali dua hari lagi. Kalau sekarang sudah pulang, berarti tidak jadi membuat adik yang banyak buat Monic, dong, Bi."
Asisten rumah tangga sekaligus pengasuh itu mengulum senyum. Membuat adik bahkan bisa terjadi dalam sekali berhubungan badan, selama keduanya subur. Terlebih, jika Mentari dalam masa subur setelah mendapatkan siklus bulanannya.
"Belum tentu, Non. Siapa tahu, sebulan kemudian, mamanya Non Monic hamil," ucap ….
Monica seketika bersorak kegirangan. Ia sangat bahagia mendengar kata-kata dari …. Gadis kecil itu yang memilih Mentari sebagai ibunya. Meski ia tidak tahu perjanjian di antara ibu sambungnya dan sang ayah.
Ia sangat mendambakan seorang adik. Dengan kehadiran anak kedua, ia tidak akan terlalu kesepian saat kedua orang tuanya harus pergi bekerja. Tari masih memiliki tanggung jawab atas resto dan cafe yang ada di bawah namanya.
*BERSAMBUNG*