"Ma! Adik bayi kapan lahirnya?" tanya Monic dengan senyum naif.
"Sayang … mama juga tidak tahu. Kita lihat nanti saja, ya," jawab Mentari dengan lembut. Ia tidak ingin mematahkan hati gadis kecil itu.
Masih terngiang di telinganya saat Monic menelepon. Gadis kecil itu meminta kedua orang tuanya untuk membuat banyak adik. Sampai saat ini, Tari tidak tahu siapa yang melakukan panggilan telepon kedua. Setelah menerima telepon kedua itulah Will menggagalkan malam pertama mereka.
"Tugasmu mengantar jemput Monic … jangan sampai lupa!" William bangun dari kursinya. Ia berlalu meninggalkan meja makan meski sarapannya belum habis. Tidak tega mendengar celotehan manja Monica yang bertanya soal adik yang dijanjikan ayah dan ibu sambungnya.
"Aku tahu," jawab Tari singkat.
"Mulai hari ini, jangan pernah menginap di rumah ini. Kamu bisa datang menjemput dan pulang setelah tugasmu selesai."
Will pergi setelah mengatakan hal yang sangat menyakitkan namun langkahnya terhenti karena rengekan Monica. Sikapnya terhadap Tari sangat lembut kemarin, tapi sekarang berubah kembali seperti saat mereka bertemu untuk yang pertama kalinya. Nada bicaranya dingin, angkuh, tak berperasaan.
"Papa jahat! Monic mau tinggal sama mama. Kenapa Papa tidak mengizinkan mama tinggal di sini?"
Gadis kecil itu menangis karena ucapan William terlalu kasar kepada Mentari. Mimpi-mimpi indah Monica seperti sebuah angan yang tak berujung. Selama ini ia ingin memiliki seorang ibu, tapi saat ia telah memilikinya, ia tetap tidak merasakan keluarganya lengkap seperti anak-anak yang lain.
"Jangan merengek seperti anak kecil! Kamu harus mengerti apa yang papa ucapkan. Papa tidak mengizinkan mama Tari tinggal, jadi kalian jangan protes, mengerti!"
Mentari segera membungkuk dan mengangkat gadis kecil itu, menggendongnya sambil mencoba menenangkan tangisannya. Bola matanya mengikuti punggung laki-laki itu sampai menghilang di pintu depan. Andai pernikahan mereka bukanlah sebuah kesepakatan, mungkin Tari akan lebih terluka daripada sekarang.
Ada perasaan yang mengganjal tentang perubahan sikap William padanya. Namun, Tari tidak merasa memiliki hak untuk mencari tahu hal itu. Bagaimanapun juga, syarat untuk tidak saling mengganggu urusan pribadi adalah syarat yang diajukan olehnya sendiri.
"Sudah, sudah. Nanti kecantikan Monic hilang, loh. Kita berangkat sekolah ya," ujar Mentari sambil menggendong gadis kecil itu. Ia mengambil tas punggung milik Monica, lalu pergi dengan sopir pribadi yang khusus disediakan oleh William untuk selalu menemani kemanapun Tari pergi.
***
Pramuda duduk di depan meja kebesaran William. Setelah berlibur dan berbulan madu, wajah laki-laki itu membuat Pram kesal saat melihatnya. Namun, ia hanya bisa memendam kekesalannya sendiri di dalam hati.
"Jangan menatapku seperti itu terus! Apa tidak ada yang bisa aku kerjakan hari ini?" tanya Will yang merasa bosan di kantor.
"Tidak ada. Anda sudah membatalkan pekerjaan untuk satu minggu ke depan. jadi, sama sekali tidak ada yang bisa Anda kerjakan. Boleh saya bertanya, kenapa Anda dan nyonya kembali lebih awal dari jadwal yang sudah direncanakan?"
"Hufh …." William mendesah berat.
"Anda ingin berjalan-jalan, Pak Presdir?"
"Bawa aku ke tempat biasa saja, Pram. Kita bicara di sana," jawab William sambil bangkit dari kursi kebesarannya.
"Baik, Pak."
Pramuda dan William memiliki sebuah klub panahan rahasia. Selain ia dan sang asisten, tidak ada yang tahu siapa pemilik lapangan klub panahan itu. Gedung yang terdiri dari dua lantai itu cukup luas.
Lantai dasar untuk disewakan, sedangkan lantai dua hanya untuk Will dan orang yang diizinkan masuk lehernya. Sejauh ini, hanya Pram yang bisa masuk ke sana. Selain untuk menyalurkan hobi, tempat itu juga merupakan area pembicaraan pribadi antara ia dan asistennya.
"Belikan beberapa kaleng bir di minimarket depan! Aku masuk lebih dulu," ucap Will saat turun dari mobil.
"Baik," jawab Pram dengan singkat.
Setelah mengunci pintu mobil, ia pergi ke minimarket di seberang jalan. Mini market itu merupakan minimarket milik Pram. William selalu berpura-pura tidak tahu hal itu, tapi sebenarnya ia tahu kalau Pram sedang mempersiapkan masa depannya.
Menjadi seorang asisten memang merupakan pekerjaan yang memuaskan baginya. Namun, ia juga ingin menjadi lebih baik dalam hidup. Pram memutuskan untuk membuka sebuah minimarket lewat perusahaan waralaba.
"Selamat siang, Pak."
Salah satu penjaga kasir menyapa Pramuda. Laki-laki itu hanya mengangguk, lalu mengambil sepuluh kaleng bir. Tidak lupa dengan makanan ringan untuk menemani obrolan santai mereka nanti.
"Bungkus ini!"
"Baik, Pak. Mau pakai struk seperti biasa?"
"Ya."
Pramuda tidak mau dicurigai oleh atasannya. Bukan apa-apa, ia takut diketahui oleh orang lain. Kalau mereka berpikiran lurus, kalau tidak …. Mereka akan menganggap laki-laki itu membuka usaha dengan menggunakan uang perusahaan.
Setelah membeli bir kalengan, ia segera berlari, menyeberang jalan raya. Namun, di depan pintu gerbang gedung, Pram tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Seorang gadis yang akan masuk ke gedung panahan untuk berlatih.
Bruk!
"Aw!"
Gadis itu menepuk saat tubuhnya terjengkang. Bokongnya terantuk ke lantai paving blok. Cukup menyakitkan, sampai gadis itu memarahi Pramuda.
"Dasar laki-laki! Tidak sabaran, arogan, semaunya sendiri! Jalanan segini luas, kamu masih bisa menabrak orang," ucap Gadis itu sambil menunjuk Pramuda.
Sudah dimaki-maki, tapi laki-laki itu masih berdiri tanpa suara. Ia terus menatap wajah gadis tomboy yang sedang memaki dirinya. Sementara gadis itu masih terduduk dengan wajah masam menatap Pramuda.
Laki-laki itu membungkuk, lalu mengulurkan tangan kepadanya.
"Maaf, aku memang salah. Butuh bantuan?" tanya Pramuda sambil menoleh ke arah tangannya yang sudah terulur sejak tadi, tapi tidak mendapat sambutan dari gadis itu.
"Tidak! Terima kasih," balas Gadis itu sambil bangun dan berlalu pergi begitu saja. Ia tak sengaja menjatuhkan dompetnya.
Pramuda memungut dompet itu. Berniat melihat identitas di dalam dompet, tapi ia merasa tidak pantas. Jika Gadis itu tidak datang mengambilnya, baru ia berhak melihat agar ia mudah untuk menemukan alamat gadis itu.
'Mulutnya pedas, tapi terlihat segar.'
Laki-laki itu menggumam dalam hati, diiringi senyum tipis di wajah dinginnya. Setelah menyimpan dompet di saku jas, Pram bergegas naik ke lantai dua. Ia masuk ke sebuah lapangan yang khusus dipakai oleh pemilik klub.
Tak!
Pram meletakkan plastik berisi bir itu di atas meja kaca. Ia duduk bersandar sambil melihat Will sedang berdiri memegang busur panah. William menyukai olahraga panahan, tapi hanya sebagai hobi.
"Kau lama sekali! Ada apa di luar sana? Jangan bilang ada dinosaurus lewat lagi," kelakar William sambil menyimpan busur itu di samping plastik belanja.
Pram hanya tersenyum lebar saat Will membuat lelucon. William menempelkan tangan di dahi laki-laki itu, karena baru kali ini melihatnya tersenyum lebar. Biasanya hanya menarik sedikit ujung bibir dan wajahnya selalu datar seperti jalan bebas hambatan.
*BERSAMBUNG*