"Kami menemukan petunjuk di pinggiran kota. Di salah satu CCTV jalan, menangkap gambar taksi yang sedang kita cari, Tuan. Setelah diselidiki, di sana tidak ada desa dan hanya ada sebuah pabrik kosong yang terbengkalai. Menurut perkiraan, sepertinya nyonya ada di sana."
"Dimana kalian sekarang?"
"Kami berada di dekat pabrik itu. Apa yang harus kami lakukan sekarang?"
"Kirimkan lokasinya padaku dan tunggu aku di sana!"
"Baik, Tuan."
William memutar balik. Ia pergi ke arah yang saat ini terlihat di layar GPS. Tangannya memegang erat kemudi, giginya menggertak.
"Siapa pun yang menculik Mentari, aku tidak akan melepaskannya begitu saja!"
Ia menginjak pedal gas lebih dalam. Kecepatan laju mobil sudah melebihi rata-rata kecepatan yang dianjurkan. Namun, William tidak peduli. Yang dipikirkannya saat ini hanyalah tiba di sana lebih cepat.
'Tunggu aku, Tari. Aku akan menyelamatkanmu.'
***
"Apa yang kita lakukan sekarang, Pak Pram?"
"Kita tunggu tuan Will, baru bergerak. Bagaimana pengintaian kalian? Ada orang di dalam sana?"
"Tidak ada, Pak. Apa kita bergerak sekarang?"
"Sama sekali tidak ada orang?"
"Tidak ada. Kami hanya menemukan jejak ban mobil. Sepertinya, penculik itu datang dan pergi, tidak tinggal di dalam pabrik itu," jawab anak buah William.
"Kita bergerak sekarang. Sepuluh orang berjaga di depan gedung, yang lainnya ikut denganku mencari nyonya di dalam!"
Tap! Tap! Tap!
Pramuda menerobos masuk ke dalam bangunan pabrik yang sangat luas. Entah kemana mereka harus mencari Mentari? Mereka berpencar agar lebih mudah menemukan wanita itu.
Sementara wanita yang sedang dicari mereka, saat ini tidak sadarkan diri. Bibirnya terlihat pucat dan kering karena mulai kekurangan cairan. Ia tidak diberi makan dan minum. Tubuhnya lemas, tidak ada tenaga untuk melakukan usaha melepaskan tali.
Makanan itu masih tergeletak di lantai. Meskipun Mentari merasa lapar, ia juga tidak bisa memakannya. Samar-samar, ia mendengar suara langkah kaki berderap seperti kuda.
Dari suaranya, Tari menyimpulkan, bahwa bukan hanya dua orang yang sedang berlari. Ia membuka mata perlahan-lahan. Suara itu membuatnya tersadar.
Mentari membuka mulut, hendak meminta tolong. Namun, ia mengurungkan niatnya. Bagaimana jika mereka justru komplotan penculik? Membayangkan hal itu, ia pun menangis pelan.
'Mas Will, tolong ….'
Ia memanggil nama suaminya lirih dalam hati. Bajunya sudah basah kembali karena ia buang air kecil. Sejak kecil, Tari memang lebih sering buang air kecil dibanding orang lain. Dalam satu hari, ia bisa dua puluh kali buang air kecil, yang artinya hampir setiap jam wanita itu buang air kecil.
Sejak ia disekap, ia sudah menahannya terlalu lama. Karena tidak ada pilihan lain, ia terpaksa melakukannya sambil duduk di kursi dalam keadaan terikat. Lantai tempat kursi itu berpijak, sudah basah dan menggenang air.
"Nyonya! Nyonya!"
Mentari menajamkan telinga. Suara itu sangat familiar. Ia mengingat suara itu adalah suara orang yang selalu ada di samping William.
"Pram!" pekiknya pelan. Ia terlalu lemah untuk mengeluarkan suara keras. Berkali-kali memanggil, tapi suara itu semakin menjauh.
William tiba di depan pabrik kosong. Ia bertemu dengan anak buahnya. Bertanya kepada mereka, lalu berlari masuk ke dalam pabrik.
"Tuan!"
Pramuda menghampiri William dan melapor.
"Kami sudah mencari di semua ruangan, tapi tidak menemukan nyonya."
"Apa kamu yakin? Mungkin ada gudang bawah tanah, atau gedung yang terpisah? Parkiran atau apa pun itu. Sudah kalian periksa semuanya?"
William menarik dasinya agar lebih longgar. Ia benar-benar putus asa sekarang. Dalam keputusasaan itu, ia mendengar suara. William mengangkat tangannya, lalu mengisyaratkan mereka untuk diam dengan jari telunjuk yang ditempelkan di bibir.
"Buka telinga kalian lebar-lebar! Aku mendengar suara yang sangat pelan. Ikuti arah suara itu!"
Mereka mengangguk. Suara itu semakin jelas saat mereka menuruni anak tangga. Ada sebuah gudang dengan pintu berkarat di ujung ruangan bawah tanah.
Jika malam hari, mereka tidak dapat menemukannya tanpa penerangan. Beruntung, situasi sekarang masih siang. William menempelkan telinganya di pintu besi itu.
"Tolong! Mas …."
Kedua mata Will membulat. Itu jelas suara istrinya. Mentari sedang menangis dan memanggilnya. Ia memerintahkan anak buahnya untuk membuka pintu itu.
Pramuda mencari benda yang bisa dipakai untuk membuka pintu. Sebuah tabung yang biasa digunakan untuk memadamkan api, tergeletak di dekat tangga. Tabung itu sudah berkarat, tapi cukup kuat untuk memukul gembok.
"Berikan padaku!" pinta William. Ia tidak sabar untuk membuka pintu gudang. Setelah lebih dari sepuluh kali, akhirnya pintu terbuka.
Klak!
Krieet!
Pramuda dan William mendorong pintu, membukanya lebar-lebar. Mereka berlari menghampiri Tari yang terikat di tengah gudang. Namun, semakin dekat, mereka mencium bau dari arah tempat duduk Tari.
"Berbalik!" William memerintahkan mereka untuk berbalik membelakangi Mentari.
Mereka berhenti dan berbalik. Bau tak sedap itu berasal air seni dan baju yang dipakai Mentari. William tahu, gadis itu pasti merasa malu. Karena itu, ia memerintahkan mereka untuk berbalik.
"Jangan mendekat! Aku …."
"Tidak apa-apa. Aku tahu apa yang kau maksud," jawab William. Ia meminta pisau lipat yang selalu dibawa oleh setiap orang yang menjadi anak buahnya.
Ia memotong tali itu. Mentari berdiri, lalu mundur dua langkah dari suaminya. Bajunya basah karena cairan yang dikeluarkan dari intinya.
"Kenapa menjauh?"
"Aku … kotor."
William membuka jas dan kemejanya. "Tutup mata kalian dan jangan berani berbalik. Sebelum aku pergi, kalian tetap di posisi itu!" Ia mendekati gadis itu, memintanya membuka baju dan menggantinya dengan kemeja miliknya.
Tari memegang kemeja itu dan bergeming. Ia memang istri dari laki-laki itu, tapi mereka tidak pernah melihat tubuh masing-masing. William berbalik dan menutup mata.
Mentari melepas semua kain yang melekat di tubuhnya. Memakai kemeja putih milik William tanpa menggunakan dalaman. Ukuran tubuh Mentari yang tidak terlalu tinggi, membuatnya sedikit tertolong.
"Aku sudah mengganti bajunya."
William berbalik. Wajahnya seketika bersemu merah melihat istrinya memakai kemeja tanpa pakaian dalam. Ia mendekati Mentari, lalu menutup bagian bawah tubuh sang istri memakai jas.
"Kita pulang sekarang," ucap William dengan lembut. Ia menggendong gadis itu dan pergi meninggalkan gudang.
Setelah mobil tuan mereka pergi, baru mereka membuka mata, menyusul William pergi meninggalkan tempat itu. Dari kejauhan, dua penculik itu rupanya melihat mereka.
"Sial! Bagaimana mereka bisa menemukan tempat ini?" Penculik itu mengumpat kesal. Padahal ia yakin, Tari akan mati perlahan-lahan di dalam gudang.
"Ini bukan hal sulit untuk Will. Kita pergi sekarang dan pikirkan cara lain untuk memisahkan gadis itu dari William," ucap wanita yang memakai jaket hoodie dan masker yang menutup mulut dan hidungnya.
*BERSAMBUNG*