"Papa ayo panggil mama!"
"Sebentar, papa sedang menghubungi Pak Ran, oke!"
Setelah kakeknya pergi, Monica kembali mengamuk meminta ayahnya untuk memanggil Mentari ke rumah itu. Imah dan asisten rumah tangga lainnya yang ada di rumah William itu mengernyitkan dahi. Heran dengan perubahan Monica.
Majikan kecilnya itu selalu membenci para pengasuh sebelumnya, tapi dengan Tari, Monica justru sampai memanggilnya 'mama'. Bahkan, terhadap Sarah yang merupakan tunangan ayahnya saja, gadis kecil itu belum pernah memanggilnya seperti itu. Mereka pun berbisik-bisik.
"Tumben, ya, non Monic menyukai pengasuhnya. Masih memanggilnya mama juga," bisik asisten rumah tangga yang sudah bekerja bersama Imah sejak Will belum menikah.
"Iya. Sudah banyak pengasuh yang dikerjain sampai mengundurkan diri, tapi sikapnya pada Neng Mentari seperti menerimanya jadi ibu, bukan jadi pengasuh," timpal Imah.
"Pa! Mana mama Tari?"
"Imah! Tolong jaga Monic sebentar. Saya mau menelepon pak Ran," perintah William sambil berlalu dari kamar anak gadisnya.
William pergi ke kamar untuk menelepon nomor ponsel istrinya. Namun, hanya berdering saja, tidak dijawab oleh Mentari. Ia pun menelepon Ran.
"Selamat malam, Tuan." Suara kepala asisten Ran terdengar serak seperti suara khas orang bangun tidur.
"Mentari kemana, Pak Ran? Kenapa dia tidak mengangkat panggilan telepon dari saya?"
"Nyonya tidak ada di rumah, Tuan."
"Iya, kemana dia?"
"Jam delapan tadi, nyonya pergi meninggalkan rumah ini. Katanya mau pergi ke rumah Tuan."
"Dia tidak ada di sini. Siapa yang mengantarkan Mentari?"
"Nyonya pergi naik taksi."
"Bodoh! Kalian membiarkan dia naik taksi malam-malam begini. Dimana sopir yang kubayar?! Tidak becus! Pecat dia!"
William memutus panggilan. Ia sangat emosi mendengar Tari pergi dari rumah tanpa sopir. Ditambah lagi, sudah dua jam dari kepergian wanita itu, tapi belum tiba di rumah.
Ia segera menelepon Pramuda. Memerintahkan sang asisten untuk mencari keberadaan Mentari saat ini. William mematikan ponselnya, lalu pergi ke kantor untuk bertemu dengan asistennya.
***
Tap! Tap! Tap!
Mentari terbangun dengan kepala yang terasa berputar-putar. Air di dalam botol yang diminum olehnya itu sudah dicampur dengan obat tidur. Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, ia pun membuka mata.
Gadis itu diikat di sebuah kursi kayu. Kaki dan tangannya juga diikat kencang. Mulut ditutup selektif tebal berwarna hitam.
Matanya membelalak saat menyadari dirinya dalam keadaan terikat. Hanya ada satu lampu tembak yang mengarah kepadanya, sedangkan di sekelilingnya hanya ada kegelapan. Suara langkah kaki itu berasal dari depan, tapi karena terlalu gelap, Mentari tidak dapat melihat siapa orang itu.
Tap!
Langkah kaki itu berhenti di depannya. Laki-laki bertubuh tegap dengan wajah ditutupi masker, berjongkok di depan Mentari. Tangannya menempel di paha gadis itu, membuat gadis itu semakin ketakutan.
"Ckckck! Sayang sekali, gadis semulus ini hanya bisa dipandang. Kalau saja aku tidak terikat perjanjian, pasti aku sudah melahapmu sampai puas," ucap suara bariton Laki-laki itu.
"Hemp! Hemp!" Mentari menggelengkan kepala sambil mencoba berteriak. Ia sangat ketakutan, karena tangan laki-laki itu mengusap-usap sampai ke pangkal paha. Bahkan, dia berani menyusupkan tangannya ke dalam rok yang dipakai Mentari.
"Sstt! Aku hanya membantumu memijat saja. Kau pasti lelah bukan, diikat seperti ini? Kamu memiliki nasib yang sangat sial karena menyinggung orang yang salah." Laki-laki itu menarik tangannya keluar sambil beranjak bangun.
'Syukurlah, dia tidak melakukan apa-apa. Ya Tuhan. Siapa yang sudah aku singgung sebenarnya? Kenapa dia menculikku seperti ini? Apa salahku?'
"Dari tatapan matamu, aku tahu kau sedang bertanya-tanya. Aku tidak tahu, ada urusan apa kamu dengan bosku. Yang jelas, kau tidak akan pernah keluar dari tempat ini 'selamanya'."
Laki-laki itu menekan suaranya di kalimat terakhir. Dia juga tidak melihat seperti apa wajah orang yang membayarnya untuk menyekap Mentari di ruangan itu. Ruangan itu terasa dingin dan lembab, padahal tidak terlihat ada jendela dan semacamnya yang mungkin mengalirkan udara dingin dari luar. Dimana sebenarnya tempat itu?
"Besok pagi, aku akan kembali lagi untuk memberimu makan. Jangan menyia-nyiakan tenagamu untuk berusaha melarikan diri. Kau tidak akan pernah bisa melakukannya. Jadi, lebih baik diam di sini dengan patuh!"
Setelah mengancam Mentari, laki-laki itu pergi. Sebuah pintu kecil terbuka saat laki-laki itu hendak keluar. Mentari hanya melihat cahaya kebiruan serta kabut asap yang ada di depan pintu itu. Sesaat kemudian, pintu pun tertutup kembali bersama perginya laki-laki itu.
***
"Bagaimana?"
"Saya sudah melihat rekaman CCTV di depan pintu gerbang. Nomor plat mobil taksi itu sudah dilacak dan anak buah kita juga sudah bertemu dengan sopir yang membawa mobil itu."
"Lalu?"
"Di depan pintu gerbang rumah Anda, sopir taksi itu ditodong oleh seseorang. Dia membawa mobil taksi pergi dan mematikan GPS taksi itu. Sampai sekarang, mereka masih berusaha mencari nyonya."
"Apa?! Jadi, penculik itu beraksi di depan rumahku? Kenapa tidak ada yang menolongnya?"
"Maaf, Tuan. Kejadiannya tepat saat kita sedang sibuk dengan para wartawan. Saya sendiri, tidak memperhatikan taksi itu. Mohon maafkan saya, Tuan."
"Akh! Sial! Siapa yang sudah berani bermain-main dengan orangku? Lacak terus sampai istriku ditemukan!"
"Baik, Tuan!"
Pramuda keluar dari ruangan sang Presdir. Tidak disangka, niatnya hanya ingin membuat Mentari menjadi ibu pengganti sementara selama tiga tahun, tapi sikap sang bos saat ini justru terlihat seperti suami yang sesungguhnya. Pramuda, asisten berwajah dingin itu tiba-tiba menyunggingkan senyum tipis, nyaris tidak terlihat.
William pergi ke rumah Mentari, rumah yang diberikan kepada gadis itu sebagai hadiah pernikahan. Ia ingin mengambil ponsel gadis itu dan mencari petunjuk. Barangkali gadis itu mendapat pesan ancaman dan sebagainya.
Tiba di rumah itu, ia disambut Ran yang tertunduk takut. William enggan untuk bicara dengan laki-laki itu karena ia tidak bisa memarahinya atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Ia bergegas naik ke lantai dua dan masuk ke kamar Mentari.
Ponsel gadis itu tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Saat ia mengambilnya, matanya berbinar melihat wallpaper layar menu di ponsel istrinya. Beruntung, gadis itu tidak memakai kunci pengaman.
William membuka isi data yang ada di sana. Semua menu aplikasi sudah diperiksa dan ia tidak menemukan petunjuk apa pun. Di dalam galeri, ada foto Mentari dan Monica yang sedang berenang. Mereka membuat pose seperti kucing yang hendak mencakar, lengkap dengan efek telinga kucing.
'Mereka lebih terlihat seperti ibu dan anak kandung. Bagaimana perasaan Monic, jika dia tahu Tari menghilang?'
Ia menggumam sedih memikirkan Monica, juga memikirkan keselamatan gadis itu. Jarang sekali, Monic bisa akrab dengan orang lain selain dirinya dan Dirga, sang Kakek. Saat ia menemukan sosok ibu yang baik, ia justru harus merasakan kehilangan.
'Semoga kamu baik-baik saja, Istriku.'
*BERSAMBUNG*