Monica dan Tari tertidur saat mereka tiba di depan sebuah rumah besar. Seorang kepala asisten rumah tangga, membukakan pintu mobil untuk mereka. Baru ia akan membuka mulut, Will menempelkan jari telunjuk ke bibir.
"Shhtt."
Kepala asisten rumah tangga itu mengangguk. Ia beralih ke pintu depan dan membuka pintu, ternyata Monica juga tertidur. Laki-laki berusia empat puluh tahun itu mengangkat tubuh Monica perlahan-lahan agar tidak membuatnya terbangun.
Selain sang kepala asisten, masih ada belasan orang yang berbaris menyambut kedatangan William. Mereka adalah asisten rumah tangga yang ditugaskan untuk merawat rumah itu. Selama beberapa tahun, mereka hanya pernah melihat Will datang sesekali saja.
''Lanjutkan pekerjaan kalian," ucap William pelan sambil berjalan.
Ia menggendong Mentari yang masih memakai kebaya. Para asisten rumah tangga itu berbisik-bisik membicarakan sikap tuannya yang sedang menggendong istri barunya. Mereka terlihat sangat serasi, begitu juga di mata para asisten rumah tangga itu.
"Ah, so sweet," ucap salah satu dari asisten rumah tangga.
"Mereka pasti tidak sabar buat melakukan ritual,'' celetuk yang lainnya.
"Hihi …. Ritual belah duren, ya," timpal yang lainnya.
William menghentikan langkah dan berbalik. Ia menatap tajam ke arah para asisten yang justru bergosip. Mereka lari ketakutan melihat sang majikan melotot kepada mereka.
Laki-laki itu menggeleng pelan. 'Benar-benar mereka ….' William membawa Tari ke salah satu kamar di lantai dua. Kamar itu sudah dihias dengan tirai untaian bunga melati dan mawar putih. Di atas ranjang pengantin, terserak kelopak bunga mawar merah yang memenuhi seisi ranjang.
Gadis itu terbangun sebelum William sempat membaringkannya di ranjang. Kedua mata bermanik hitam mengkilap itu mengerjap beberapa kali, menatap wajah laki-laki yang sedang menggendongnya. Jantungnya berdegup cepat saat memperhatikan seisi ruangan yang dipenuhi bunga.
"Ma-mau apa … kamu?'' tanya Tari dengan suara bergetar.
''Oh, kau sudah bangun. Baguslah," jawab William ambigu.
''Apanya yang bagus?" Gadis itu semakin gemetar dengan ucapan aneh suaminya.
''Bagus, karena aku sudah lelah menggendongmu," jawabnya sambil melempar tubuh gadis itu ke atas ranjang.
"Aw! Kau …. Sakit tahu," gerutu Tari sambil bangun dan mengusap pinggangnya yang terkilir saat Will melemparnya.
''Salah sendiri. Kenapa kamu tidur di mobil, sampai membuatku harus menggendongmu ke kamar. Kau itu berat, tahu!"
"Enak saja! Badanku kecil, langsing. Jadi, mana mungkin bisa seberat itu," balas Tari kesal.
William mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu. Bibirnya menyeringai, membuat bulu kuduk Tari meremang. Gadis itu bergeser ke belakang, tapi ia sudah berada di ujung ranjang. Punggungnya menempel di sandaran kepala ranjang, tidak bisa mundur lagi.
"Kau … lumayan sadar diri juga ternyata. Kau sadar, kalau tubuhmu itu kecil. Aku rasa … itu juga kecil," ucap William sambil melirik ke arah dada gadis itu.
"Kau …!" Tari menyilangkan kedua tangannya untuk menutupi kedua bukit kembarnya yang ditatap oleh William. Laki-laki itu sudah merendahkan harga diri Tari. "Siapa bilang, kalau bagian ini kecil?"
"Oh, apa aku salah? Kalau begitu, buktikan padaku. Buktikan kalau memang tidak kecil," tantang William sambil menegakkan kembali posisi tubuhnya.
"Apa?!"
"Tidak berani?'' tanya Will memprovokasi.
Tari diam tak berkutik. Melihat gadis itu terintimidasi, hati laki-laki itu merasa sangat bahagia. Bukan karena gadis itu tidak berdaya di hadapannya, tapi wajahnya yang cemberut itu terlihat lucu dan menggemaskan.
William mulai menyadari, gadis itu sangat menarik. Ia selalu merasa ingin menggodanya lagi dan lagi. Melihat wajah manis dan imutnya saat cemberut, membuat hasrat laki-laki itu sedikit tergugah.
Gluk!
Laki-laki itu menelan saliva saat pandangannya berhenti di leher jenjang Tari. Ia yang sudah lama tidak merasakan sentuhan intim, merasa bahwa istri kontraknya itu sangat menggoda. Dalam benaknya, terlintas adegan vulgar yang semakin membuatnya tidak tahan.
"Ekhem! Sudah malam. Apa kau akan tidur dengan baju itu?" tanya Will memecah keheningan. Ia memang tergoda untuk menyentuh gadis itu, tapi ia tidak suka jika bercinta karena terpaksa. Sensasi kenikmatannya tidak akan terasa berkesan baginya. "Mandi, lalu ganti bajumu! Semua keperluanmu sudah aku siapkan. Barang-barangmu, biar dibereskan asisten rumah tangga besok pagi. Kalau ingin mencariku … aku di kamar sebelah.''
William melangkah pergi. Saat ia hendak membuka pintu, Tari bertanya padanya. Ia menoleh dan kembali menatapnya.
"Kau tidak tidur di kamar ini?"
"Kenapa? Apa kau berharap aku tidur di sini?" Bukannya memberikan jawaban, Will justru balik bertanya.
"TIDAK!''
"Shh … seperti petasan saja. Aku tidak tuli. Tidak usah berteriak!" William memarahi gadis itu karena berteriak lantang. Telinganya terasa berdengung karena teriakan Tari. Ia bergegas keluar dari kamar dan masuk ke kamar yang lain.
"Maaf," ucapnya pelan. Ia berteriak tanpa sadar karena terlalu takut. Belum ada kesiapan secara mental untuk tidur bersama laki-laki itu.
Cepat atau lambat, Tari tetap harus melayani suaminya meski mereka hanya kawin kontrak. Poin tentang melakukan tugas seorang istri, dicatat dengan jelas oleh William dalam surat perjanjian. Hanya tinggal menunggu waktu saja.
Tari pergi membasuh tubuhnya di bawah kran shower. Rasa segar menyusup ke pori-pori kulit sawo matang itu. Setelah merasa bersih dan segar, ia keluar dari kamar mandi dengan dibalut handuk putih.
Saat ia berdiri di depan lemari untuk mengambil baju, pintu kamar terbuka. Gadis itu menoleh. Mereka sama-sama terpaku, memandang satu sama lain. Sampai kesadaran Tari kembali dan segera bersembunyi di balik pintu lemari.
"Mau a-apa … masuk kemari?"
"Ehm …. Aku lupa memberitahu sesuatu. Besok, aku dan Monica kembali ke rumah. Kamu tinggal di rumah ini, tapi tetap harus melakukan tugasku mengasuh dan mengantar jemput Monic," ujar William sambil menahan getaran di dadanya.
Pemandangan tadi terlalu indah, membuat pikiran laki-laki itu semakin liar. Ia juga menyadari kalau di bagian dada itu tidak sekecil perkiraannya. Dua bola kenyal yang mengintip dari celah handuk, terlihat sangat menantang.
"Aku mengerti. Sekarang, cepat keluar!"
Brak!
William segera menutup pintu. Juniornya memberontak dan menggeliat di bawah sana. Laki-laki itu terpaksa berendam air dingin untuk menenangkan juniornya kembali.
*BERSAMBUNG*