Chereads / MISSING WIFE / Chapter 11 - Pagi yang memusingkan

Chapter 11 - Pagi yang memusingkan

Laura terbangun dengan pandangan buram. Semalam, ia minum alkohol terlalu banyak, dan kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Ia masih merasa pusing dan mual akibat terlalu mabuk.

"Sayang, ayo bangun! Kalau malas-malasan seperti ini, bisa-bisa Glory corporation hancur di tanganmu," ucap Mirna yang membangunkan Laura karena gadis itu masih enggan beranjak turun dari ranjangnya.

"Kepala Laura masih pusing, Ma. Nanti saja bangunnya," kata Gadis itu dengan malas.

"Kamu itu terlalu sering mabuk-mabukan seperti ini. Kalau begini, bagaimana kamu bisa dapat jodoh. Tari dan Will sudah menikah, kalau kamu~"

"Apa?! Tari dan Mas Will sudah menikah?" Keterkejutan Laura memotong ucapan Mirna.

Wanita itu merasa ada yang tidak beres dengan putrinya. Ia tahu kalau Laura sangat membenci Tari, tapi reaksinya ini terlalu berlebihan. Gadis itu seperti tak rela jika Tari menikah dengan laki-laki itu.

"Kenapa mama merasa, kamu sangat aneh sejak kemarin? Apa kamu kenal akrab dengan William sebelumnya?" tanya Mirna menyelidik.

"Ti-tidak, kok, Ma. Hanya kenalan biasa saja," jawab Laura gugup. 

'Aku tidak boleh mengatakan tentang mas Will kepada mama. Penyakit darah tinggi mama bisa kambuh kalau tahu mas Will memiliki tunangan.'

"Benar?" Mirna menyipitkan matanya.

"Benar, kok. Masa, Laura berani bohong sama mama," jawabnya sambil tersenyum.

"Kenapa kamu terlihat seperti tidak rela mereka menikah? Seolah-olah, Tari menikahi kekasihmu. Kamu dan Tari tidak menyembunyikan sesuatu dari mama, 'kan?"

"Tidak, Ma. Laura harus pergi ke sekolah, jadi harus cepat-cepat bersiap," ucapnya sambil bergegas turun dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi.

Mirna masih belum merasa tenang. Laura terlihat bergetar saat membicarakan pernikahan saudara angkatnya. Gadis itu juga selalu gemetar seperti itu saat berbohong.

Sebagai seorang ibu, ia tidak bisa dibohongi begitu saja. Wanita itu sangat mengenal seperti apa gadis yang lahir dari rahimnya itu. Ia memang tidak bisa melihat kebohongan dari wajah Tari, karen gadis itu bukan putri kandungnya. Namun, Laura lahir dan besar dengan kedua tangannya, berbeda dengan Tari yang diasuh oleh Nini.

"Aku harap, kalian tidak berbohong," gumam Mirna sambil menutup pintu kamar Laura. 

Di dalam kamar mandi, Laura berdiri menatap cermin. Kemarahan dan kebenciannya terhadap Tari semakin besar. Ia tidak menyangka, jika setelah meminta restu kepada Mirna, Tari dan William langsung menikah hari itu juga.

Laura sangat menyesal. Andai saja kemarin ia tidak pergi, ia pasti bisa menghentikan pernikahan itu. Sekarang, laki-laki yang disukainya itu sudah menikah. Harapannya untuk mendapatkan William menjadi hampa.

"Tidak. Ini masih belum berakhir. Aku harus mencari cara untuk menghancurkan pernikahan mereka."

Laura mondar-mandir di kamar mandi. Otaknya berputar keras, mencari ide. Sampai akhirnya ia berhenti saat mendapatkan cara untuk merusak rumah tangga Tari.

"Benar juga. Aku tinggal memberitahukan hal ini kepada Sarah. Heh! Kita lihat bagaimana anak pungut itu dihabisi oleh Sarah."

Laura segera membasuh tubuhnya dan bersiap pergi ke kantor. Sarah adalah model papan atas dan akan sedikit sulit untuk bertemu langsung dengannya. Mereka yang ingin bertemu model itu harus membuat janji terlebih dulu.

***

Tari menuruni anak tangga dengan perlahan-lahan sambil memegangi pinggangnya. Di ujung tangga, para asisten rumah tangga berbaris rapi di kiri dan kanan. Mereka menundukkan kepala sebagai rasa hormat kepada nyonya rumah.

"Selamat pagi, Nyonya!" Mereka menyapa dan memberi hormat kepada Tari.

"Se-selamat pagi," balas Tari dengan canggung. Mereka berbaris seperti sedang menyambut seorang putri kerajaan. Gadis itu tidak terbiasa dengan perubahan drastis ini. "Kenapa kalian semua di sini?"

"Kami diperintahkan untuk melayani Anda dengan baik, Nyonya. Sekaligus, kami juga diperintahkan untuk memperkenalkan diri kepada Anda."

"Oh …. Salam kenal. Saya Mentari. Kalian bisa panggil saya Tari."

"Saya, Sa. Dia, Du, Ti, Em, Li, En, Tu, Del, Sem, Sep, Sebe~'' 

"Tunggu! Kenapa nama kalian sangat singkat dan … aneh," ucap Tari sambil tersenyum aneh.

"Maaf, Nyonya, izi menjawab. Tuan Will memiliki kekurangan, yaitu sulit menghafal nama pelayan satu persatu. Untuk memudahkan tuan Will dalam mengingat, mereka diberi nama dari huruf awal dari pengucapan angka," ujar Kepala asisten rumah tangga.

"Hah? Jadi, maksudnya itu, Sa dari satu, Du dari dua, dan …."

"Benar, Nyonya." 

"Gila! Seenaknya saja dia mengganti nama orang. Memangnya kalian tidak punya nama? Kenapa kalian mau diberi nama aneh seperti itu? Jangan bilang, kalau, Bapak ini yang ketujuh belas," tebak Gadis itu.

"Hmph, bukan, Nyonya," kata Kepala asisten rumah tangga sambil tersenyum geli. Wajah majikannya ini sangat lucu, sampai ia tidak bisa untuk tidak tersenyum. "Saya Kepala Asisten Ran.''

"Untung saja dia tidak mengganti nama Anda, Pak Ran. Aku mau tahu nama asli kalian saja. Mengingat nama seperti itu, justru membuatku pusing. Lebih mudah menghafal nama asli daripada seperti inisial begitu," ujarnya.

"Maaf, Nyonya. Sejak kami memutuskan bekerja di sini, nama asli kami tidak dipakai lagi. Kalau kami melanggar, kami bisa dipecat dan dituntut atas pelanggaran kontrak kerja."

Tari menganga. Ternyata selain arogan, laki-laki itu juga sedikit aneh. Lebih tepatnya, gila, menurut Tari.

Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Untuk mengingat, Tari hanya perlu melihat nama mereka dari bagian depan apron yang diberi bordiran nama mereka. Kepala asisten Ran dan asisten Sa mengantar gadis itu menuju ruang makan. Sementara yang lainnya kembali mengerjakan pekerjaan mereka.

Para asisten itu tersenyum melihat Tari berjalan sambil meringis memegangi pinggangnya. Tentu saja, mereka berpikir nyonya baru mereka itu kesakitan karena telah melewati malam yang panas. Mereka tidak tahu, kalau Will tidur di kamar yang lain.

"Kemana tuan kalian?" tanya Tari yang tidak melihat William sejak tadi.

"Tuan Will sudah pergi bersama Nona Monica. Tuan bilang, Anda harus menjemput Nona muda jam sembilan nanti," ucap Kepala asisten Ran.

"Oh. Aw …." Tari memekik saat hendak duduk. Gara-gara terkilir, ia kesulitan untuk bergerak. 'Gara-gara laki-laki menyebalkan itu, aku jadi sakit pinggang seperti nenek-nenek.' Gadis itu menggerutu dalam hati.

"Apa Anda butuh tonik, Nyonya?"

"Tonik? Untuk apa?" Tari bertanya dengan heran. Ia merasa sehat, untuk apa harus minum tonik. Ia mengambil segelas susu dan menyesapnya pelan-pelan.

"Supaya stamina Anda kuat dan bisa terus bergerak bebas saat bercinta," jawab Asisten Sa.

''Ffuuhh …. Uhukk …." Kata-kata asisten itu membuat Tari tersedak dan menumpahkan susu yang sedang dinikmatinya.

"Pelan-pelan, Nyonya." Asisten Sa membantu menepuk pelan tengkuk Tari, sedangkan Kepala Asisten Ran memberikan tisu untuk sang Nyonya.

''Kalian ini …. Apa tidak malu berkata seperti itu?''

Wajah Tari bersemu merah. Mereka berbicara terlalu terbuka, membuatnya sangat malu. Mereka berpikir berlebihan menurutnya, sementara di antara ia dan suaminya tidak terjadi apa-apa semalam.

''Nyonya tidak perlu malu. Kami semua sudah berumah tangga, jadi sangat memahami hasrat membara pengantin baru itu seperti apa. Dengan minum tonik, Anda tidak akan mengalami sakit pinggang seperti ini,'' kata Asisten Sa yang disambut anggukkan kepala asisten.

Tari menghela napas berat. Mereka terus saja membahas tentang hubungan intim, meski gadis itu sudah menyuruh mereka berhenti. Ia mengutuk William yang telah membuat para asisten itu salah paham. Telinganya memerah karena terlalu panas mendengar ucapan vulgar mereka berdua.

*BERSAMBUNG****