Ting! Tong!
Mentari berdandan rapi untuk menyambut kedatangan William. Tidak pernah terbayang sebelumnya, jika acara lamarannya diwarna kebohongan. Impiannya menunggu kekasih hati yang melamar, pupus sudah.
Ia belum menemukan laki-laki yang dicintainya, tapi harus menikah dengan William, orang yang sama sekali tidak ia cintai. Mungkin memang takdir yang membuat semua ini bisa terjadi. Tari hanya bisa pasrah dan tabah.
"Non! Ada yang mencari Non Tari dan nyonya Mirna." Nini mengetuk pintu kamar Mentari.
"Suruh tunggu di ruang tamu, ya, Bi. Tari sedang ganti baju," jawabnya sambil melihat pantulan wajahnya di cermin dengan tatapan sedih. Demi menyembunyikan bisnis dari Laura, ia terjebak dalam perjanjian kontrak dengan William.
Wajah itu terlihat menyedihkan. Bahkan bagi pemilik tubuh sendiri. "Ck, ternyata nasibku bisa berubah seperti ini," gumamnya sedih. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan dengan berat. Mau tak mau, ia harus turun sekarang.
Di ruang tamu, Monica, William, dan Pramuda, sedang berdiri menunggunya. Acara lamaran ini dilakukan William tanpa sepengetahuan ayahnya. Mentari juga sudah diberitahu oleh Pramuda, bahwa laki-laki yang akan melamarnya adalah laki-laki yang memiliki tunangan bernama Sarah.
Saat Gadis itu turun dari tangga, Monica tersenyum lebar. Selama beberapa hari, mereka tidak bertemu. Ada kerinduan yang dalam yang dirasakan gadis kecil itu terhadap pengasuhnya.
"Tante!" seru Gadis kecil itu dengan riang. Ia berlari menyambut Mentari di ujung tangga.
"Hati-hati, Sayang! Bagaimana kalau kamu terjatuh? Jangan berlari seperti itu, oke," ucap Mentari seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.
"Hehe …." Gadis kecil itu tersenyum lebar. Ia yang sangat tidak menyukai jika ada seorang gadis di samping ayahnya, justru merasa sangat bahagia saat pengasuhnya yang dekat dengan sang ayah.
William dan Pramuda terkesima melihat gadis itu. Ia yang terlihat biasa-biasa saja saat bekerja menjadi pengasuh, kini terlihat cantik luar biasa. Tubuh sintal dibalut kebaya putih dan kain batik berwarna coklat, menambah pesona kecantikannya.
Tari merasa risih dengan pandangan kedua laki-laki dewasa itu. Ia melihat baju dan kainnya, barangkali saja tidak rapi, tapi tidak ada yang salah dengan pakaiannya. Ia mengambil ponsel dan membuka kamera depan untuk melihat riasan di wajahnya, itu pun tidak ada yang salah. Jadi, apa yang membuat mereka menatap gadis itu tanpa berkedip?
Merasa penasaran, ia pun bertanya, "kenapa kalian melihatku seperti itu? Apa aku terlihat sangat jelek?"
"Kalian?" William mengulang ucapan Mentari, lalu menoleh kepada Pramuda. Rupanya, sang asisten itu juga terpesona melihat penampilan Mentari yang berbeda dari biasanya. "Berbalik!" perintah William kepada asistennya.
'Berani sekali menatap calon istriku!'
Mereka hanya akan melakukan pernikahan kontrak, tapi melihat sang asisten menatap Mentari, ia terlihat cemburu. Gadis itu mengulum senyum tipis. Pramuda seperti anak TK yang dihukum guru, ia berbalik membelakangi William dan Mentari.
"Kamu terlalu cantik, sampai asisten kulkas ini terpesona. Yah, tidak disangka juga, kalau pengasuh bar-bar ini bisa berpenampilan cantik," seloroh William yang dibalas lirikan tajam dari gadis itu.
"Kalian duduk saja dulu. Mama sedang ada urusan di sekolah. Tadi, sudah kutelepon dan sedang dalam perjalanan sekarang," ucap Mentari sambil mengajak Monica duduk. Gadis kecil itu langsung naik ke atas pangkuan Mentari dengan senyum polos penuh rona bahagia.
Nini datang membawakan kue dan minuman. Ia melihat William, lalu menoleh ke arah Mentari yang memakai kebaya. Wanita paruh baya itu tidak tahu kalau akan ada acara lamaran untuk gadis itu.
"Silakan diminum tehnya, Tuan," ucap Nini sambil melirik kepada majikan muda itu. Sepertinya, ia menunggu Tari memperkenalkan laki-laki itu padanya.
"Oh, iya, Bi. Dia … Mas William, calon suami Tari. Dia, Pramuda, dan ini Monica, anak dari Mas Will." Tari memperkenalkan mereka kepada Nini. Mereka mengangguk dan tersenyum kepada Nini.
William sedikit merasa aneh. Kenapa Mentari harus memperkenalkan mereka kepada seorang pembantu. Ditambah lagi, wanita itu tidak terlihat seperti pembantu sama sekali. Ia pun memahami sesuatu dari tatapan gadis itu.
'Wanita ini, sepertinya dia orang yang sangat berarti bagi Mentari. Mungkinkah … ibu asuhnya?'
'Tari akan menikah dengan seorang duda beranak satu? Kenapa dia tidak pernah cerita padaku kalau dia memiliki pacar seorang duda?' Nini hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Ia tidak bisa bersikap tidak sopan dengan bertanya kepada Tari di hadapan tamu. Ia kembali ke dapur dengan perasaan cemas.
Terdengar deru mesin mobil masuk ke garasi. Mentari berdebar-debar menunggu Mirna dan Laura masuk ke rumah. Ia tidak tahu apa yang akan Mirna lakukan saat mengetahui kalau William memiliki seorang putri berusia empat tahun lebih. Kemarin, ia hanya mengatakan tentang status Will yang seorang duda, tapi tidak memberitahu soal Monica kepada ibu angkatnya itu.
"Selamat sore. Maaf, saya terlambat," ucap Mirna yang masuk lebih dulu, disusul Laura di belakangnya.
"Selamat sore, Nyonya Mirna. Perkenalkan, saya William Prasetyo," ucap laki-laki itu sambil berdiri dan mengulurkan tangan kepada Mirna.
'Suara ini? Apa benar-benar itu dia?'
Laura bergegas menghampiri Mirna yang menghalangi pandangannya dari William. Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat laki-laki yang sedang berjabat tangan dengan ibunya.
'Tidak mungkin! Kenapa itu benar-benar mas Will? Kenapa laki-laki yang kusukai itu justru melamar adik angkat sialan ini!?'
Ia sangat terkejut melihat William. Berbeda dengan William yang tidak peduli dengan keberadaan Laura, meski ia tahu, gadis itu adalah sahabat dari tunangannya, Sarah. Laki-laki itu sengaja tersenyum, menyeringai kepada Laura di belakang Mirna.
"Lama tidak bertemu, Laura. Oh, maaf, seharusnya aku belajar memanggilmu 'Kakak'," ucap Will dengan sengaja menekan kata terakhir yang keluar dari bibirnya. Laki-laki itu seolah sengaja menyapa Laura agar gadis itu tahu bahwa itu memang dirinya, William, tunangan Sarah.
Mentari hanya melihat laki-laki itu dengan tatapan aneh. William sepertinya mengenal kakak angkatnya itu. Bagaimana jika laki-laki itu bersekongkol dengan Laura untuk menghancurkan dirinya. Degup jantungnya berpacu semakin cepat saat memikirkan hal itu.
'Apa aku sudah masuk ke dalam jebakan serigala?' Tari bergumam dalam hati. Ia takut, jika ia telah salah membuat keputusan.
*BERSAMBUNG*