"Jangan mendekat atau aku teriak!" Tari berjalan mundur sambil mengangkat tangan ke depan, menahan laki-laki itu untuk tidak menghampirinya. Namun, William tidak peduli dengan apa yang dilakukan Mentari.
"Kenapa? Takut?"
"Siapa yang takut. Aku hanya tidak mau berdekatan dengan laki-laki kurang ajar sepertimu," jawab Mentari.
Ia terus mundur sampai punggungnya menempel di pintu. Sudah tidak ada tempat lagi untuk mundur. Sementara William terus maju dan baru berhenti setelah dua langkah di depan Tari.
"Aku berikan kamu waktu dua hari. Setelah itu, kalau kau tetap tidak datang menemuiku, aku akan membuatmu menyesal," ancam William.
William membukakan pintu dan membiarkan mentari pergi, setelah sebelumnya memberikan ancaman kepada gadis itu. Ia percaya, pengasuh putrinya adalah pilihan yang tepat untuk menjadi Ibu pengganti. Putrinya juga sudah mulai bergantung kepada gadis itu.
"Kamu pasti akan kembali," ucap William sambil menatap kepergian Mentari.
***
"Non Mentari pulang," ucap Nini, pembantu setia di rumah Mirna.
"Lama tidak berjumpa, Bisa," kata Gadis itu.
Wajahnya yang murung, membuat Nini khawatir. "Non baik-baik saja? Apa, Non sakit?" tanya wanita paruh baya itu.
Usianya Nini sebaya dengan Mirna. Mereka juga pernah sekolah di tempat yang sama. Bisa dibilang, Nini adalah sahabatnya. Nasib mereka saja yang berbeda. Nini terlahir dari keluarga miskin, sedangkan Mirna terlahir sebagai pewaris tunggal PT. Glory.
Nini bekerja di rumah Mirna sebagai pembantu, tapi sang majikan tidak pernah menganggapnya seorang pelayan ataupun pembantu. Mereka mengerjakan semuanya berdua layaknya saudara, kecuali saat Mirna sedang sibuk mengurus masalah sekolah, baru Nini yang menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri.
Ia yang merawat Mentari sejak dia datang ke rumah itu. Bukan karena Mirna tidak menyayanginya, tapi karena Laura, anak kandung Mirna itu selalu merasa iri jika kasih sayang ibunya terbagi. Mirna meminta Nini yang merawat Mentari agar Laura tidak selalu merasa cemburu.
Kenyataannya, meskipun Mirna sudah berusaha untuk membuat Laura mengerti dan menerima Mereka, gadis itu tetap saja membenci kehadiran Mentari di rumahnya. Ia selalu merasa Tari lebih disayangi oleh ibu kandungnya, ketimbang dia yang merupakan anak kandung Mirna.
"Aku baik-baik saja, Bisa. Apa Mama ada?" tanya Mereka.
"Nyonya sedang di luar bersama Non Laura," jawab Nini sambil menggandeng lengan Mentari dan mengajaknya masuk ke rumah.
Mentari memang mengatakan baik-baik saja, tapi Nini tidak bodoh. Baju rumah sakit yang dipakai Tari, sudah menjawab semuanya. Gadis itu memang sedang sakit, hanya berbohong kepada Nini agar wanita itu tidak khawatir.
"Mau bibi buatkan makanan atau minuman?"
"Tidak usah, Bi. Tari mau masuk ke kamar dan beristirahat," jawab Mentari lesu. Kakinya menaiki anak tangga satu persatu dengan langkah gontai.
Ia baru saja merasa bebas. Belum genap dua tahun, Tari harus hidup di bawah tekanan lagi. Namun, kali ini bukan berasal dari Laura, tapi dari William.
Mentari membuka resto diam-diam dengan uang tabungan yang ditinggalkan oleh mendiang ibunya. Ia ingin menjadi pengusaha cafe dan resto yang sukses, lalu keluar dari rumah itu selamanya. Resto sekarang berdiri, bukanlah resto pertamanya.
Usaha resto yang pertama kali dibuka oleh Mentari, bangkrut karena ulah Laura. Gadis itu sudah bersumpah untuk menghancurkan apa saja yang disukai oleh Tari. Ia tidak pernah membiarkan gadis itu bahagia, walau cuma sehari.
Kali ini, bisnis restonya sukses karena dibuka diam-diam. Resto itu diberi nama dengan menggunakan nama sahabatnya. Jika bisnisnya kali ini diketahui oleh Laura kembali, Mentari sudah tidak bisa lagi membuka resto.
Uang tabungan Gadis itu sudah habis dipakai, dan perlu waktu beberapa tahun lagi, jika ia ingin mengumpulkan modal kembali. Mentari tidak bisa membiarkan resto hancur lagi. Ia harus bisa menyelamatkannya dari Laura.
***
"Siapkan surat kontrak pernikahan. Dalam dua hari, pastikan namaku dan Mentari sudah terdaftar," perintah William kepada asistennya, Pramuda.
"Tapi, Pak … Nona Mentari~"
"Sejak kapan kamu berani membantah perintahku?" William tidak suka jika ada yang membantah perintahnya. Ia menatap sang asisten dengan raut wajah sedingin es.
"Maaf, Pak. Segera saya laksanakan," ucap Pramuda. Ia mengambil berkas yang diperlukan untuk mendaftar ke kantor catatan sipil. Entah dari mana ia mendapatkan surat-surat penting milik Mentari? Ia memiliki banyak cara yang tidak dapat dipikirkan oleh orang lain.
William mendapatkan tamu tak diundang. Melihatnya memasuki ruangan, ia sudah memijat kepala. Setiap kali, Sarah, tunangan pilihan ayahnya itu datang, ia pasti akan mengalami hari yang buruk.
"Kenapa kamu terus menolak undanganku, Will? Aku lihat, kamu sedang tidak sibuk," kata Sarah saat memasuki ruang kerja William di kantor.
Tadi siang, laki-laki itu pulang untuk menemui Mentari. Jika tahu akan dikunjungi oleh Sarah, dia pasti memilih untuk tidak kembali ke kantor. Wanita itu sangat cantik, karena dia adalah seorang model, tapi William tidak tertarik sama sekali.
Pertunangan mereka juga merupakan paksaan dari Dirga Prasetyo, ayahnya William. Sarah adalah putri semata wayang dari sahabat Dirga. Bisa dikatakan, mereka ingin menjadi lebih dekat sebagai besan.
"Aku sangat sibuk, Sarah. Jangan bersikap manja seperti ini," ucap William sambil menekan nomor kontak asistennya.
Dalam waktu lima menit, laki-laki itu sudah tiba di ruangan William. Pramuda sudah sangat terlatih untuk menjadikan sang presiden direktur itu sibuk. Meskipun, awalnya William hendak pulang.
"Mobilnya sudah siap, Pak. Anda memiliki janji dengan walikota jam empat sore. Setelah itu, kita akan ke area pembangunan hotel di Malang," ucap Pramuda sambil membuka buku agenda palsu.
Sarah merebut buku itu dari tangan Pramuda. Ia ingin memastikan bahwa ucapan Pramuda itu sesuai dengan yang ada di buku. Setelah membacanya sendiri, ia pun percaya.
"Kamu lihat? Aku sangat sibuk."
"Tapi, setidaknya kamu sisihkan waktu untuk bertemu denganku. Kemarin aku mengirimkan undangan ulang tahunku, tapi kami tidak datang. Apa kamu tahu, seperti apa media membicarakan tentangku?"
"Aku minta maaf, oke? Kamu ingin apa untuk hadiah permintaan maaf?" William selalu mengganti kekesalan Sarah dengan barang-barang mewah. Selama ini, wanita itu tidak pernah menolak. Namun, kali ini dia langsung pergi saat William bertanya demikian.
*BERSAMBUNG*