Andre dan Alana sudah sampai di rumah Zahra. Sedangkan Zahra sendiri sudah berangkat ke luar kota dua jam yang lalu. Ia dijemput oleh Reyhan.
Alana melihat semua ruangan yang ada di rumah itu, dari ruang tamu, ruang makan, semua kamar, dan kolam renang, bahkan taman belakang dan semua kamar mandi tak luput dari penglihatannya. Ia bahkan membandingkan semua peralatan yang ada di rumah itu dengan peralatan yang ada di rumahnya.
Alana hanya tersenyum sinis, rumah ini pemberian mertuanya sendiri, sayangnya mertuanya tak tau kalau putra mereka mempunyai istri lain selain Zahra. Andai mereka tau, akankah mereka juga akan memberikan sebuah rumah beserta peralatannya untuk dirinya.
Alana bersyukur dulu saat masih pacaran, dirinya dan sang suami rajin nabung sehingga mampu membeli rumah lengkap dengan semua peralatannya sehingga saat mereka menikah, mereka tinggal menempatinya saja. Tak perlu bingung lagi untuk tinggal dimana.
Alana masuk ke kamar utama, di mana suaminya berada. Ia puas melihat Zahra dan suaminya benar-benar pisah kamar karena itu artinya sampai detik ini Zahra dan sang suami belum juga melakukan hubungan badan seperti dirinya.
"Sayang, kamu di sini aja ya. Aku mau kerja," pamit Andre karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan dan ia masih di rumah.
"Iya, Mas. Nanti kamu pulang jam berapa. Aku masakin ya, aku lihat di kulkas banyak ikan dan sayur," ucap Alana tersenyum.
"Aku pulang jam 7 malam, aku kayaknya lembur hari ini,"
"Baiklah gak papa," jawab Alana tersenyum. Ia tak masalah suaminya pulang malam, toh setelahnya ia akan pulang ke rumah ini, bukan?
"Kamu kalau ada apa-apa, chat aku ya," ujar Andre lembut.
"Iya, Mas." Lalu setelah itu Andre pun berangkat kerja dan meninggalkan Alana seorang diri di rumah itu.
Sepergian Andre, Alana pun masuk lagi ke kamar Zahra dan memerika satu persatu. Ia ingin tau bagaimana kepribadian Zahra, istri pertama suaminya.
Ia mengecek lemari Zahra dan hanya ada beberapa baju santai, baju kantor dan gamis. "Bajunya model kayak gini semua, bahkan tak sebanyak punyaku. Mungkin seperempatnya aja tak sampai. Apa dia gak bosen pakai baju beginian terus. Mana modelnya sama semua polosan, bahkan lebih banyak warna gelap, dari pada warna cerah," gumam Alana.
Lalu ia melihat tempat make up Zahra, yang hanya ada 4 macam, pembersih wajah, cream, lipstik dan bedak, itu pun bukan dari merk ternama, tak seperti dirinya, yang harganya cukup fantastis. Bahkan ia mempunyai ruangan tersendiri untuk menaruh semua make-upnya sampai seperti toko saja sangking banyaknya.
Untuk parfum aja, Zahra hanya punya satu Parfum tanpa alkohol yang di perkirakan harganya tak sampai dua ratus ribu. Sedangkan dirinya, ia punya banyak parfum dari yang seratus ribu sampai yang tiga juta perbotol.
Begitupun dengan sepatu yang Zahra punya, ia hanya punya dua. Sedang dirinya, semua rak sepatu hampir penuh, bahkan ia punya sepatu yang harganya belasan juta sepasang.
Ia juga melihat di samping tempat tidur, ada sejadah dan di atasnya ada mukenah yang berdampingan dengan Al-Qur'an dan tasbih.
Ia juga melihat ke rak buku, hampir semuanya kebanyakan buku agama. Lanjut ia lihat ke meja kerjanya, yang simple dan tak terlalu besar juga Hanya ada berkas-berkas kantor saja. Semuanya tak ada yang penting.
Ia juga melihat ada satu foto Zahra saat masih kuliah, Alana pun memperhatikan foto tersebut.
"Kamu emang cantik tapi sayang nasibmu sangat mengenaskan. Hanya dijadikan istri di atas kertas saja. Punya suami tapi tak seperti punya suami," gumam Alana. Lalu ia pergi ke ruang tengah dan menghidupkan tivi. Baru setengah hari, ia mulai bosen. Ingin rasanya keluar, namun ia tak berani apalagi ia sudah berjanji sama suaminya akan tetap diam di rumah dan menunggu suaminya pulang.
Sambil nonton tivi, ia pun mengambil Hp nya dan membuka media sosial. Ia melihat akun Zahra yang tidak di privat. Namun sayang di semua akun Zahra, tak ada fotonya satupun. Hampir semuanya hanya berisi kata-kata motivasi, kata-kata islami. Kadang hanya ada foto bunga dan foto pemandangan. Beda dengan dirinya, yang suka upload foto untuk memamerkan kecantikannya di media sosial. Semakin banyak yang muji, akan membuat dirinya semakin semangat untuk sering mengupload fotonya dan Andre pun tak mempermasalahkan.
Bahkan ada beberapa pria yang DM dirinya, ada yang ia balas, dan ada yang ia abaikan. Jika di fikir-fikir, ia dan Zahra jauh berbeda. Zahra terlalu kuno dan ketinggalan Zaman, buktinya ia tak seperti dirinya yang modis. Bahkan ia juga pelit sama dirinya, terbukti dari barang-barang yang ia punya yang tak seberapa dan serba murahan.
Sedangkan dirinya, ia selalu menggunakan merk ternama dan selalu ingin tampil menarik di depan banyak orang terutama di depan suaminya.
Pantas jika suaminya tak bisa mencintai Zahra, percuma cantik kalau tak pandai merawat diri.
Saat dirinya sibuk main Hp, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya. Ia pun berjalan ke arah pintu itu, namun ia tak berani membukanya Ia hanya mengiptipnya sedikit saja. Dan ada dua orang paruh bara di depan rumahnya.
"Mereka siapa ya. Tapi aku seperti melihatnya. Apa mungkin mereka orang tua Zahra? Ah ya aku ingat, aku pernah melihat mereka di pesta pernikahan Mas Andre dan Zahra. Astaga aku harus gimana. Kalau aku buka pintunya, bisa-bisa aku ketahuan dong. Aku biarin aja kali ya. Aku tetap diam di rumah, dengan begitu mereka tak akan tau kalau di rumah ada orang." Alana pun akhirnya memilih untuk pergi ke ruang tengah dan tak memperdulikan kedua orang paruh baya yang ada di depan rumahnya.
Sedangkan di luar rumah mereka bingung kenapa tak ada yang mau membukakan pintunya.
"Mas, kenapa gak ada yang buka ya?" tanya Hilda, Uminya Zahra.
"Iya, tadi pagi putri kita kan bilang kalau suaminya akan pulang hari ini. Dan mereka minta kita ke sini buat menjenguk suaminya yang lagi sakit karena Zahra pergi keluar kota selama tiga hari. Apa Andre belum kembali ya?" tanya Ahmad, Abahnya Zahra.
Memang benar tadi pagi, Zahra mengirim pesan kepada kedua orangtuanya dan mengatakan kalau dirinya akan keluar kota selama tiga hari untuk menemani atasannya. Awalnya ia tak mau bilang, namun ia takut jika terjadi ada apa-apa di jalan. Setidaknya jika dia bilang, orangtuanya akan mendoakan dirinya agar selamat sampai tujuan. Apalagi dari dulu dia emang sudah terbiasa, jika bepergian jauh, ia akan bilang sama ornagtuanya. Dan mungkin karena kebiasaan itulah yang membuat Zahra sampai sekarang masih melakukan hal yang sama.
"Iya juga sih lagian juga kan mobilnya gak ada," balas Hilda. Memang benar tadi pagi Andre berangkat kerja menggunakan mobilnya sendiri dan tak memakai taxi online seperti saat ia pergi menuju rumah Alana. Lagian ia sudah merasa sehat dan bisa menyetir sendiri.
"Coba kamu telfon Zahra," ujar Ahmad.
Lalu Hilda pun menelfon putrinya yang ternyata masih di jalan.
Setelah berdering tiga kali, Zahra pun mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Umi."
"Waalaikumsalam, Neng."
"Ada apa Umi?" tanya Zahra.
"Ini kata kamu Andre pulang hari ini. Sekarang Umi dan Abah ada di rumah kamu, tapi Umi ketok pintu gak ada yang buka, Umi mencet bell juga sama, seperti tak ada orang," jawab Hilda.
"Loh tapi kemarin Mas Andre bilang mau pulang hari ini. Mobilnya ada gak?" tanya Zahra.
"Gak ada Neng," sahut Umi.
"Kemana ya, dua hari lalu Mas Andre sakit Umi. Dan dia pergi entah kemana dan katanya sih pulang hari ini, jika dia belum sampai kenapa mobilnya gak ada ya. Tak mungkin mobilnya ada yang nyuri, bukan? Bentar deh, Umi. Aku matikan dulu, aku akan menelfon Mas Andre," ujar Zahra.
"Iya, Neng. Umi tutup dulu telfonnya ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Setelah itu Hilda pun menutup Hpnya.
"Gimana?" tanya Ahmad.
"Dia mau nelfon suaminya dulu. Mas, tapi entah kenapa aku merasa di dalam ada orang. Mas coba deh denger, ada suara tivi kan?" tanya Hilda. Ia mendekatkan telinganya di dekat pintu. Ahmad pun melakukan hal demikian.
"Iya, kamu benar. Tapi siapa yang nonton kalau tak ada orang?" Ahmad terus mendengarkan suara tivi dari dekat pintu
"Entahlah."
Sedangkan di dalam mobil, Zahra mencoba menelfon suaminya.
"Assalamualaikum, Mas." Sapa Zahra lebih dulu saat telfonnya di angkat.
"Waalaikumsalam, Za. Ada apa?" tanya Andre sambil fokus ke komputer.
"Mas ada dimana?" tanya Zahra sambil melirik ke arah Reyhan yang fokus menyetir. Reyhan sengaja membawa mobil sendiri agar bisa berlama-lama berduaan dengan Zahra. Padahal dia bisa aja naik pesawat, atau kereta atau bus agar lebih cepat. Tapi ia ingin naik mobil, dan jika di tempuh pakai mobil sekitar 8 jam.
"Di kantor." Jawab Andre singkat, jelas dan padat.
"Loh emangnya Mas sudah sembuh total?" tanya Zahra lagi.
"Iya, kalau gak sembuh. Mana mungkin aku kerja," sahut Andre sambil fokus ngetik. Hp nya ia taruh di atas meja dan di loudspeker.
"Oh syukurlah. Aku fikir Mas masih sakit. Makanya aku minta tolong Abah sama Umi untuk ke rumah buat jenguk keadaan Mas."
"Apa kamu bilang tadi?" tanya Andre kaget mendengar perkataan istrinya.
"Aku minta Abah sama Umi buat jenguk Mas di rumah. Soalnya aku merasa gak enak, masak suami sakit tapi aku keluar kota. Jadi aku minta bantuan mereka buat nemenin Mas selama aku pergi. Dan Alhamdulillah mereka mau. Tapi kata Abah dan Umi, di rumah gak ada orang," jawab Zahra panjang lebar.
"Astaga! Ngapain sih kamu minta mereka ke rumah!" bentak Andre membuat Zahra terkejut.
"Mas! Kamu kenapa membentakku. Aku melakukan itu karena aku khawatir," tutur Zahra lembut sedangkan matanya mulai berembun karena ini pertama kalinya dalam hidupnya di bentak. Bahkan kedua orangtuanya tak pernah membentaknya walaupun ia salah.
"Sudahlah!" Tiba-tiba Andre mematikan Hpnya begitu saja. Sedangkan Zahra, ia mulai menitikkan air mata.
Reyhan yang melihat ke arah Zahra pun ikut merasa sedih. Jika Andre tak bisa membahagiakan istrinya setidaknya jangan membuat dia sedih.
"Za, kamu gak papa?" tanya Reyhan pelan. Sedangkan Zahra hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Kamu yang sabar ya," ucap Reyhan sambil sesekali menoleh ke arah Zahra.
"Aku gak menyangka Mas Andre marah sama aku gara-gara aku meminta Abah sama Umi ke rumah. Padahal niatku baik, aku minta Abah dan Umi buat menjenguk Mas Andre, karena dia bilang mau pulang hari ini. Apa aku salah melakukan hal itu?" tanya Zahra yang tak sadar sudah curhat tentang masalahnya.
"Kamu gak salah, Za. Mungkin suamimu ada masalah, jadi dia gak sadar kalau sudah membentakmu," ujar Reyhan menenangkan Zahra.
Zahra pun hanya menganggukkan kepala. Ia segera mengirim pesan pada Uminya untuk pulang, ia tak mau suaminya semakin marah padanya jika orangtuanya masih ada disana.
[Umi, lebih baik Umi dan Abah pulang ya! Neng mohon! Lagian Mas Andre sudah sembuh dan sekarang ada di kantor. Maaf sudah menyusahkan Abah dan Umi untuk pergi kesana!] ketik Zahra. Ia tak berani menelfonnya, ia takut Uminya tau kalau saat ini suasana hatinya tak lagi baik-baik saja karena ulah sang suami.
Tak lama kemudian, Zahra pun mendapatkan balasan.
[Iya Neng. Abah dan Umi mau pulang sekarang. Dan Umi tak merasa di susahkan. Neng jangan mikir yang macam-macam. Neng fokus aja sama pekerjaan Neng dan tolong jaga diri baik-baik. Ingat! saat ini Neng sudah berumah tangga, Neng bukan wanita single lagi. Jadi Neng harus bisa jaga jarak dengan lawan jenis]
[Iya Umi, terimakasih nasehatnya]
Setelah itu Hilda pun tak membalasnya lagi, ia langsung pulang bersama sang suami. Walaupun dalam hati ia sangat penasaran, siapa orang yang ada di rumah itu karena ia sangat yakin, ada seseorang di dalam rumah, hanya saja orang itu tak mau keluar.
Sedangkan Andre, ia segera menelfon Alana.
Panggilan pertama tak di angkat, panggilan kedua sama. Barulah panggilan ketiga, langsung di angkat.
"Alana, kamu gak papakan?" tanya Andre setelah telfon mereka terhubung.
"Aku gak papa. Kenapa emangnya?" tanya Alana santai sambil meminum juznya. Juz Apel yang ia buat barusan. Tadi ia emang ke dapur sebentar untuk buat jus, dan Hpnya ia taruh di meja ruang tengah.
"Gak papa. Apa tadi kedua orang tua Zahra kesana?" tanya Andre.
"Oh ya tadi ada dua orang paruh paya mengetuk pintu dan menyembunyikan bell, tapi gak aku bukakan pintu. Tapi kayaknya sudah pulang deh," ujar Alana sambil melihat ke depan pintu dan sudah tak ada orang lain.
"Oh syukurlah. Kamu jangan keluar apapun yang terjadi. Tunggu aku pulang jika memang pengen keluar," ucap Andre.
"Iya sayang, pasti."
"Iya sudah, aku tutup dulu telfonnya." Andre pun mematikan Hp nya sejenak, lalu ia ingat dengan Zahra, tadi ia sudah tega membentaknya. Tadi ia hanya merasa takut, takut jika rahasianya terbongkar. Ia takut kalau Alana akan bertemu dengan kedua orang tua Zahra. Bisa berabe semuanya.
Lalu ia pun menelfon Zahra, namun tak dia angkat. Ia tau, mungkin saat ini Zahra lagi sedih karena ini pertama kalinya ia membentaknya. Akhirnya ia pun memilih untuk mengirimkan pesan saja.
[Za, maafin Mas ya. Mas tadi kebawa emosi.
Makhlum pekerjaan Mas banyak jadi gampang marah-marah. Maafin Mas ya]
Namun pesan yang ia kirim hanya di baca saja tapi tak di balas. Andre pun hanya menghembuskan nafas kasar. Jujur ia merasa bersalah karena tak bisa mengontrol emosinya.
Sedangkan Zahra, ia memang sengaja tak mengangkat telfon suaminya karena ia masih sakit hati karena di bentak barusan. Bahkan chatnya pun hanya di baca saja.
Sedang Reyhan, ia memilih diam karena ia tau Zahra butuh sendiri. Jadi ia pun hanya sesekali melirik ke arah Zahra yang hanya melihat keluar jendela dan merenung. Entah apa yang saat ini ia fikirkan.
"Za, aku kasihan sama kamu. Kenapa mesti kamu yang mengalami hal ini. Seharusnya kamu bahagia dengan pernikahan kamu, bukan seperti ini. Andai kamu Istriku, Za. Tak mungkin tega aku membentakmu seperti apa yang suamimu lakukan," batin Reyhan yang merasa kasihan terhadap Zahra.