Chereads / Istri Di Atas Kertas / Chapter 4 - The Incident In Front of The Mosque

Chapter 4 - The Incident In Front of The Mosque

Sudah seminggu sejak pertemuan itu, aku merasa tak tenang. Sedangkan Abah dan Umi mereka sibuk mempersiapkan pernikahanku dengan Mas Andre. Sejak pertemuan itu pula, aku tak pernah ada melakukan komunikasi apapun dengannya, jangankan ketemuan lagi, bahkan chat atau telfon pun tak pernah. Walaupun Abah dan Umi sudah memberikan nomernya padaku. Aku tak ada niatan untuk menghubunginya lebih dulu.

Setiap hari aku hanya focus untuk beribadah terutama di malam hari, aku selalu meminta petunjuk dari Allah karena bagaimapun pernikahan ini bukan ajang permainan. Pernikahan itu bukan sebuah lelucon, harus di fikir matang-matang agar tak menyesal di kemudian hari. Walaupun akad nikah sudah di tentukan, tapi jika Allah tak berkehendak, apapun bisa terjadi. Sekarang, hanya Allah lah tempat aku mengadu, tempat aku mengeluh, tempat aku meminta tertolongan Nya.

Tiba-tiba aku keingat dengan Ustadzah Aisyah, Ustadzah tempat aku mengaji dulu. Kenapa aku tak konsultasi aja dengannya. Bukankah kita bisa cerita ke orang yang tepat agar kita pun mendapatkan masukan dan yang lainnya.

Aku pun segera mandi, pakai gamis warna hitam begitupun dengan hijabnya, tak lupa aku memakai make up tipis di wajahku agar tak pucat, setelah selesai aku langsung memakai kaos kaki warna coklat tua dan tas warna hitam agar tak mencolok yang aku isi dengan dompet dan juga hp. Aku juga memakai jam tangan yang aku taruh di pergelangan tangan kiriku. Dan terakhir aku memakai parfum yang tak terlalu menyengat, parfum no alcohol.

Lalu aku menghampiri Umi yang sepertinya ada di dapur. Dan yah benar saja saat aku ke dapur, kulihat Umi sedang buat sesuatu.

"Umi, bolehkah Neng keluar sebentar?" tanyaku.

"Emang Neng mau kemana?" tanya balik Umi.

"Neng mau ke rumah Ustadzah Aisyah, Umi. Kangen. Udah lama gak kesana. Lagian juga kan Neng di rumah gak ngapa-ngapain," jawabku.

"Iya sudah, tapi Neng hati-hati ya. Ingat pernikahan Neng bentar lagi, jangan buat Abah marah," sahut Umi.

"Iya, Umi. Kalau gitu Neng berangkat dulu ya. Assalamualaikum," pamitku sambil mencium tangan Umi.

"Waalaikumsalam."

Setelah itu, aku pun langsung berangkat. Tak lupa aku memakai sepatu sandal yang ada di rak sepatu depan rumah. Aku ke rumah Ustadzah Aisyah memakai mobil karena memang jaraknya agak jauh sekitar 20 menitan kalau di tempuh pakai mobil.

Sepanjang jalan, aku mengemudi sambil mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Rasanya sangat adem sekali, beda saat kita mendengarkan musik.

Tak terasa aku pun sudah sampai di halaman rumah Ustadzah Aisyah. Rumah yang sangat sederhana sekali. Di depannya ada Musholla yang setiap sore rame oleh anak-anak yang mengaji.

Aku memarkirkan mobilku di halaman dekat Musholla. Lalu aku keluar dari mobil dan berjalan menuju Rumah Ustadzah Aisyah.

Tok … tok … tok

Ku ketuk pintu 3x sambil berucap salam, "Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," jawabnya. Lalu tak lama kemudian pintupun terbuka.

"Neng Zahra, ayo masuk," ujarnya sambil membuka pintu selebar mungkin.

Aku pun mengangukkan kepala dan melangkah masuk ke dalam rumahnya dan duduk di sofa.

"Gimana kabarnya? Lama ya gak main ke sini," tanyanya sangat lembut sekali.

"Alhamdulillah baik. Ya kemarin sibuk Ustadzah," jawabku. Ustadzah Aisyah umurnya masih 40 tahun. Beliau seorang janda karena di tinggal mati suaminya. Dan beliau tak mau menikah lagi dan memilih membesarkan putra-putrinya yang kini sedang mondok di Pondok Pesantren di luar kota.

"Mau minum apa?" tanya Ustadzah Aisyah ramah.

"Gak usah Ustadzah. Sebenarnya saya ke sini, ada hal yang ingin saya bicarakan," ucapku yang langsung mulai ke topiknya karena jika terlalu lama berbasa-basi takutnya Ustadzah sibuk dan aku menganggunya. Jadi aku mau ngomong langsung ke inti aja agar cepet selesai dan aku bisa pulang dengan tenang.

"Mau bicara apa? Bicaralah jika memang ada masalah. Ustadzah siap mendengarkan," sahutnya.

Dan aku pun mulai menceritakan tentang perjodohanku dengan Mas Andre serta mimpiku dan juga mimpi umi. Dan juga pertemuan dua keluarga saat di Resto Basmalah serta sikap Mas Andre yang acuh tak acuh.  Tak lupa juga aku menceritakan tentang pernikahanku dan Mas Andre yang tak lama lagi.

Kulihat Ustadzah mendengarkan dengan seksama. Baru setelah aku selesai bicara, Ustadzah mulai angkat bicara.

"Jika mendengar cerita Neng Zahra, lebih baik di batalkan saja sebelum terlambat. Biasanya mimpi itu datang merupakan sebuah petunjuk. Apalagi Neng Zahra kan berdoa setelah sholat istikharah, mungkin itu jawaban dari Allah atas apa yang Neng Zahra minta. Apalagi Neng Zahra juga sudah melihat gelagat tak benar dalam diri calon suami Neng Zahra. Jangan sampai karena ingin memenuhi keinginan orang tua Neng Zahra, Neng Zahra sampai tak perduli dengan kebahagiaannya sendiri. Pernikahan bukan sekedar permainan. Jadi carilah suami yang memang bisa untuk di jadikan panutan, bisa mendidik dan membimbing kita ke jalan yang benar. Yang mau di ajak kerjasama untuk membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah," jawab Ustadzah Aisyah.

Aku yang mendengarnya pun merasa ragu lagi, haruskah aku membatalkannya di saat semua persiapan untuk akad nikah dan resepsinya sudah berjalan hampir 50%.

Andai aku bisa, pasti aku akan melakukannya. Tapi bagaimana dengan Abah, ia pasti marah banget denganku. Dan aku juga pasti di kira wanita yang plin-plan. Belum lagi pasti Mas Andre dan kedua orangtuanya mengira aku dan kedua orangtuaku mempermainkannya.

Aku merasa benar-benar sulit, aku dan Ustadzah pun berbincang-bincang hingga 15 menit kemudian, aku pamit pulang.

Sepanjang jalan aku merasa galau tingkat dewa, aku pun memutuskan untuk pergi ke Masjid yang tak jauh dari rumah. Di masjid aku bisa menenangkan hatiku dengan sholat, berdzikir dan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Di saat aku merasa banyak masalah seperti ini, emang paling enak adalah dengan pergi ke masjid karena itu bisa membuat jiwa tenang.

Aku pulang setelah aku merasa cukup berada di masjid, namun saat aku mau masuk ke dalam mobilku, ada seseorang yang memanggil namaku.

"Zahra," sapa seseorang dan aku pun langsung menoleh ke asal suara dan betapa kagetnya aku melihat Mas Reyhan yang kini ada di depanku.

"Mas Reyhan, dari mana?" tanyaku. Mas Reyhan adalah seniorku. Dulu dia merupakan ketua BEM. Dan setelah ia lulis kuliah, Mas Reyhan langsung bekerja di perusahaan milik keluarganya. Anna sahabatku, ia sekarang juga bekerja di perusahaan milik keluarga Mas Reyhan sebagai staff accounting.

Anna mudah di terima karena memang anaknya sangat pintar dan IPK nya pun juga tinggi. Apalagi mereka satu kampus walaupun Mas Reyhan lulus lebih dulu, mungkin itulah yang membuat Anna di terima tanpa ada tes yang sangat berat, tak seperti yang lain. Aku tau karena Anna sendiri yang menceritakannya.

Andai aku tak di jodohkan, aku pun juga ingin melamar di Perusahaan Dirgantara, milik keluarga Mas Reyhan. Masalah aku di jodohkan, Anna belum tau karena memang aku belum menceritakannya. Mungkin nanti sekalian saat aku memberikan undangan buat dia.

"Masjid sama seperti kamu," jawabannya tersenyum. Ah kenapa aku mesti nanya hal itu sih. Tapi wajar aku tak tau kan, kalau dia dari masjid. Pasalnya aku di ruangan sebelah kiri dan dia sebelah kanan khusus laki-laki.

"Oh." Aku pun hanya ber oh ria.

"Zah, bagaimana kalau kita ke kafe deket sini, kita ngobrol sebentar?" tanyanya.

"Maaf, tapi aku masih ada urusan. Jadi gak bisa," jawabku. Ya kali aku mau menerimanya sedangkan aku sudah di lamar oleh Mas Andre dan tak lama lagi statusku sudah menjadi istri orang lain.

Apa kata orang jika sampai ada yang melihat aku jalan sama laki-laki lain.

"Oh gitu, iya sudah gak papa. Mungkin lain kali kita bisa ngobrol panjang," balasnya tersenyum.

"Aku pulang dulu ya," pamitku.

"Iya hati-hati," ujarnya.

"Iya. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam."

Lalu setelah itu, aku masuk ke dalam mobilku dan pergi dari sana. Dulu aku sempat menyukai Mas Reyhan, karena walaupun dia ketua BEM dan anak orang kaya. Akan tetapi, ia tak sombong, ia ramah sama siapapun, suka mentraktir teman-temannya dan tak suka milih-milih teman. Makanya banyak orang yang menyukainya termasuk kaum hawa.

Aku sendiripun juga tak memungkiri, kalau aku juga pernah menyukainya dan mengaguminya. Tapi hanya sebatas itu aja karena aku memang harus fokus ke kuliahku dan melupakan rasa yang pernah ada dalam hatiku. Hingga lambat laun, nama Mas Reyhan terhapuskan karena aku terlalu sibuk dengan kuliahku.