Chereads / Istri Di Atas Kertas / Chapter 3 - Nightmare

Chapter 3 - Nightmare

Saat perjalanan pulang, di dalam mobil aku langsung ingin membahas mimpiku tadi malam. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat, lagian juga dari tadi semua diam dan tak ada yang mau buka suara.

"Abah, Umi. Ada hal yang ingin Neng bicarakan," ucapku membuat mereka langsung melihat ke arahku.

"Neng mau bicara apa?" tanya Umi lembut.

"Umy, Abah. Tadi malam saat Abah bilang ingin menjodohkan Neng dengan seseorang, Neng langsung sholat Istikharah di dalam kamar. Neng mengadukan semua apa yang ada dalam hati Neng kepada Allah karena Neng percaya Allah lebih tau dari pada apa yang kita tau.

Dan setelah itu, Neng pun lanjut membaca Alqur'an hingga mata Neng terasa lelah dan Neng memilih untuk tidur. Namun Abah, Umi. Neng bermimpi, dalam mimpi Neng. Neng bertemu sama laki-laki yang wajahnya menghitam dan laki-laki itu berbau busuk.

Laki-laki itu berusaha menghampiri Neng, dan mencoba untuk memeluk Neng, Neng hanya bisa memberontak. Tapi Neng kalah kuat, dia berhasil memeluk Neng.

Abah, Umi. Apakah ini pertanda buruk buat Neng?" tanyaku. Abah dan Umi sedari tadi diam mendengarkan.

"Kenapa Neng gak bilang sedari tadi pagi sama Umi? Kenapa Neng bilang setelah kita semua menentukan tanggal pernikahan kalian?" tanya Umi sarkas.

"Sudahlah, tak perlu marah. Mungkin itu hanya bunga tidur saja," ucap Abah menenangkan Umi.

"Tapi Mas, tadi malam sehabis sholat malam. Aku juga mimpi buruk Mas, dalam mimpiku itu gaun pengantin yang di pakai oleh Zahra kebakar lilin yang kebetulan ada di sampingnya. Aku awalnya mengira jika itu hanya mimpi buruk, makanya aku tak terlalu memikirkannya. Tapi Mas, jika sampai Zahra memimpikan hal buruk seperti itu setelah sholat istikharah, apakah itu bukan pertanda tidak baik?" tanya Umi.

"Kamu jangan menakut-nakutiku. Aku percaya, Andre bisa menjadi suami yang baik buat putri kita. Lagian juga kita kan tau selama ini sikap Andre begitu hormat sama kita. Iya kan?" tanya Abah sama Umi. Kini hanya aku yang diam menjadi pendengar setia.

"Tapi Mas, dulu Andre hormat sama kita karena dia gak tau kalau dia itu di jodohkan sama putri kita. Tapi tadi lihatlah, sikapnya berubah 180 derajat sama kita. Dia yang biasanya ramah sekarang acuh tak acuh. Mas pasti juga bisa merasakan kan perubahan Andre. Padahal sebelumnya dia itu anak yang ceria sekarang tiba-tiba berubah menjadi pendiam bahkan saat di ajak bicarapun, dia seakan enggan untuk menjawab. Apa Andre sebenarnya tak menyetujui perjodohan ini atau dia punya kekasih di luar sana namun ia tak berani berkata jujur sama kita semua," tanya Umi lagi.

"Mana mungkin Andre punya kekasih. Aku yakin Andre sama seperti putri kita, dia masih single. Sudah jangan mikir yang macam-macam. Memang jika orang mau nikah itu, banyak cobaannya. Ya salah satunya ya ini," ujar Abah.

"Tapi bagaimana jika setelah menikah, kehidupan Zahra malah menderita?" tanya Umi yang masih takut jika aku kenapa-napa.

"Kenapa kamu seperti keberatan. Bukankah masalah ini sudah kita bahas bersama-sama jauh sebelum mereka di jodohkan. Kenapa kamu malah berubah pendirian seperti ini setelah mendengar cerita Zahra?" tanya Abah yang mulai tampak emosi.

"Bukan begitu, Mas. Awalnya aku emang sangat setuju dengan perjodohan ini. Malah aku berharap dengan perjodohan ini, hubungan kita sama Ayu dan Agus makin dekat layaknya saudara. Apalagi kita sudah dekat sedari kita masih remaja.

Hanya saja, aku merasa tak tenang. Bukan karena Zahra yang mengatakan tentang mimpinya semalam, tapi juga tentang aku yang juga memimpikan gaun Zahra yang terbakar, di tambah sikap Andre yang seakan merasa keberatan dengan perjodohan ini. Aku hanya tak ingin karena kemauan kita yang begitu keras untuk menjodohkan mereka malah nantinya akan berakibat fatal. Hanya itu," sahut Umi mengungkapkan pendapatnya.

"Sudahlah. Aku yakin seyakin-yakinnya, kalau Zahra pasti bahagia bersama Andre," ujar Abah meyakinkan Umi.

"Umi, Abah. Jika memang Mas Andre jodohnya Neng, walaupun kita berusaha untuk menggagalkannya pun percuma, Neng tetap akan menikah dengannya. Begitupun sebaliknya, jika Neng dan Mas Andre memang berjodoh, walaupun seluruh dunia mencoba untuk menyatukan Neng dan Mas Andre, tetap kami tak akan bersatu. Sekarang yang bisa Neng lakukan adalah berdoa. Meminta perlindungaNya agar terhindar dari segala mara bahaya dan orang yang dholim sama Neng.

Neng sejujurnya juga takut dengan mimpi Neng tadi malam, terlebih setelah Neng melihat sendiri bagaimana sikap Mas Andre di hadapan Neng. Dia memang tampan dan mapan. Tapi jika Neng boleh menilai, sikap Mas Andre jauh dari kata baik. Apapun masalahnya tak seharusnya ia bersikap acuh tak acuh di hadapan orang tua. Hanya dengan itu saja Neng bisa menilai bagaimana sikap Mas Andre. Namun ya sudahlah, tanggal pernikahan juga kan sudah di tentukan.

Sekarang Neng hanya akan fokus sama kehidupan Neng selanjutnya karena sebentar lagi Neng akan berubah status dari single menjadi seorang istri. Dan tanggung jawab Abah akan beralih ke Mas Andre.

Kita berdoa saja, semoga Mas Andre memang yang terbaik buat Neng, yang bisa bahagiain Neng dan bisa membimbing Neng menjadi istri yang sholehah," ucapku tersenyum. Aku harus berusaha kuat dan tegar. Aku tak mau Abah dan Umi bertengkar gara-gara aku.

"Yah, Umi pasti akan selalu mendoakan Neng. Tapi jika Neng sudah menikah dan Neng tak bahagia, Neng bisa pulang ke rumah. Pintu rumah akan selalu terbuka buat Neng," ujar Umi.

"Umi, jika Neng sudah menikah nantinya. Neng tak bisa menceritakan aib rumah tangga Neng sama siapapun sekalipun itu sama orang tua. Bukankah itu yang sering Umi dan Abah ajarkan. Bahwa kita tak boleh membongkar aib suami di depan umum, siapapun itu. Ataupun aib keluarga karena sejatinya, istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri," balasku sambil tetap fokus menyetir.

Mendengar kata-kataku Abah sama Umi langsung diam. Entah apa yang mereka fikirkan. Setelah menyetir setengah jam akhirnya aku pun sampai juga di depan rumah. Rumah sederhana yang tak terlalu luas ataupun sempit. Tapi bagiku, rumahku adalah surgaku karena di rumah ini aku menemukan kebahagiaan, kehangatan, perhatian dan kasih sayang yang tulus dari Abah dan Umi.

Jika tadi berangkatnya hanya perlu waktu 20 menit, kalau sekarang sampai setengah jam, mungkin aku menyetir dengan kecepatan sedang karena juga sambil fokus dengerin perkataan Abah dan Umi selama di dalan mobil.

Sesampai di rumah, aku pamitan untuk langsung masuk ke kamar dan meninggalkan Abah dan Umi yang duduk di ruang tamu, entah bahas apa.