Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 6 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps6

Chapter 6 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps6

Episode 6

SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh

Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa. Dulu,

ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai,

hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya.

Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa,

yang pada waktu itu belum menjadi tandingan Bidadari

Jalang.

Lelaki berhidung mancung dengan mata indah

memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu

sisi, memperhatikan pertarungan gurunya dengan

Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang

sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan

perkasa itu, sehingga hampir saja pukulan dahsyat Iblis

Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.

Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang

berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia

bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya

kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu

menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya

roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan jejak. Tetapi

desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah

menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga

ketampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering

terbayang dan mengganggu batinnya.

Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk

mengalahkan Nagadipa nanti. Dengan senyumannya ia

bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk

asmara. Tetapi repotnya, Bidadari Jalang pasti tergoda

juga birahinya. Padahal setiap birahinya muncul, maka

kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya

akan rusak, hilang. Karenanya, sudah sekian lama

Bidadari Jalang menahan diri agar tidak mudah

terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris

habis. Memang begitulah akibat terkena Racun Birahi.

Tetapi sekarang ia harus berhadapan dengan

Nagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah

seberang. Mampukah ia menahan serangan luar dalam

dari murid Iblis Pulau Bangkai itu? Kalau saja Bidadari

Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa,

apakah dia masih mampu melawan godaan birahi dari

ketampanan Nagadipa? Apakah dia mampu menghindari

ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan

itu?

Agaknya kebimbangan hati Bidadari Jalang tersadap

oleh indera keenam si Gila Tuak. Karenanya, sebelum

kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran.

"Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia

sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu,

Bidadari Jalang!"

"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir

aku gentar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saja

yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban

kemarahan Nagadipa."

"Menjadi korban? Hmm... apa hubungannya?"

Dia akan menyangka Suto adalah anakku."

"He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin

dia menyangka begitu? Suto dengan kamu tidak punya

kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia

mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."

Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar,

tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera

beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang,

"Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah,

selamat bertarung. Tunjukkan kehebatanmu di depanku

jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak

ini menjadi muridku."

Weesss...! Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari

Jalang tertiup dan berkibar sejenak. Itulah angin

kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang.

Tetapi sebentar kemudian, wuuss.....

Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia

lupa membawa Suto saat pergi tadi. Kini Suto

digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi,

Suto buru-buru berkata, "Jangan ajak aku terbang, Kek.

Aku sudah sangat puyeng."

"He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak,..,"

karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu,

akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju ke

sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu

tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat keadaan

Bidadari Jalang berdiri bagai termangu menunggu

kedatangan lawannya.

Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi. Tetapi

anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu itu.

Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap

siaga menyambut serangan dari dalam perahu jika

sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia

menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar

hati Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari

tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap

kakinya di buritan perahu.

Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali

bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar

perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat

hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun

terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi

terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.

Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya,

semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis

diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari

Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu

tanpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan

bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang

mengarahkan perahu ke tepi pantai? Siapa yang

membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh,

tentu, saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si

pembawa perahu itu? Apakah bersembunyi di dalam air,

di bawah perahunya itu?

"Nagadipa! Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang.

Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian

bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul

serangan dariI bawah sana.

"Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu

kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!"

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari

Jalang.

"Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan.

Kalem.

Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh

ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian

kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang

Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak

terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua

kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas

pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain

berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah itu

semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu

belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan

semakin mempesona dipandang mata.

"Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya.

Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang

begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu.

Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang

berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun Birain akan

segera bekerja kembali merongrong kekuatannya

"Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya

Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia berkata

begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi,

Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di

belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu

bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan

yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di

belakang Bidadari Jalang.

Perempuan itu manggut-manggut sambil

memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia

melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan sebuah

benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saja.

Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hati Bidadari

Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum itu.

Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.

"Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?"

ketusnya.

"Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari

Jalang."

"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa

bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.

"Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk

menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun

yang lalu, bukan?"

"Benar."

"Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku

sudah siap."

Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu

indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang.

Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya

melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati

bagian pantai yang basah. Nagadipa memandang ke

arah cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku

membunuhmu sebelum puas aku mengagumi

kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan

bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau

miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai.

Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya

kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi,

aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu

demi membalas dendam kematian guruku, atau

membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"

"Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu,

Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu

semakin mengguncangkan hatinya, semakin

menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik

birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya

sendiri.

Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui

oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin

mendayu-dayukan rayuannya.

"Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja.

Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu,

menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih

sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung

karang...."

"Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan

mata mendelik.

"Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau

menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"

Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua

tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang

ingin berontak dari ujung birahinya. Nagadipa berpaling

memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari

Jalang dengan penuh kelembutan. Senyumnya mekar

tipis, menawan sekali. Dan ia tetap bersikap kalem,

sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.

"Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu,

Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul

hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi

wajahmu dengan penuh kelembutan."

"Bukan saatnya untuk bermain kemesraan,

Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.

"Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak

mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak

muncul kapan saja dan di mana saja."

Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap.

Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.

"Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari

Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku.

Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin

tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin

besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup

menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak

hatiku menerima tatapan matamu yang begitu

menggoda hati..."

Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan

gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia

menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan

dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena

napasnya tertahan berat.

"Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku...

aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu

semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk.

Bidadari Jalang kian gusar hatinya.

Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke

depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari

terlipat. Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar

tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa

membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai

menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke

kiri. Duubb...! Wuuug...!

Kraaak...!

Gundukan batu karang yang berjarak lima belas

tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak

bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan

di atas. Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang

itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu

berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke

arah gundukan batu karang. Akibatnya batu karang

itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang

beradu itu.

Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya

mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia

melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu

kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu,

Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan

sorot pandangan matanya yang lembut.

la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang

sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"

"Diam!" bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam

gumam.

"Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya?

Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan

rayuanku?"

"Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau

menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari

Jalang?"

"Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!"

Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya,

mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut

berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang

menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss...!

Nagadipa menahan dengan kedua tangan

disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika

itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan

oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang

disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa

terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk dalam

jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru

berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam

posisi siap menerima serangan lagi.

Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto

beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari

jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam.

Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa,

melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa. Lelaki

itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena

hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah

itu.

Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki

bidadari Jalang segera menendangnya dengan

tendangan miring.

"Hiattt...!"

Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan

dihentakkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai

dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan

tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar

membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga

dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya

Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.

"Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata

Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil mempelajari

kitab peninggalan gurumu itu!"

"Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran

membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."

"Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang

kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan

rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan

tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat

ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa.

Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih

dulu menyambar kaki Bidadari Jalang.

Prasss...!

Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan

kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesir-

desir mendengar rayuan Nagadipa.

Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang

segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat itu

Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik

yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada Nagadipa

terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia tersentak

sambil bersuara.

"Huugh...!"

Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu

lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada

itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari

kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental

dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera

berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam

hatinya.

"Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."

Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum.

Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang

mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap

cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan

mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental.

Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat

tubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, tak ada

orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang

memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar

dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan.

Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang

tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri

dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan

balasan dari Nagadipa.

Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar

melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai

Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan

kedua tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan

disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit

merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan

ke depan, ke arah Bidadari Jalang.

Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung

tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke

dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari

Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan

tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng

kain jubah ungu.

Traap...! Traas...! Traas...!

Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur

jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam

lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum.

Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling

katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan

keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.

"Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!"

Wuung...! Blaamm...!

Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan

Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu

mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh

Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi semakin

besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut.

Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah

potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah

Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada,

sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke

belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung,

dan telinganya mengeluarkan darah.

Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan

mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera

menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di samping

kanan. Pedang pendek itu segera dibawa mendekati

Bidadari Jalang sambil ia berteriak.

"Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru,

Hiaaat...!"

*

* *