Episode 6
SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh
Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa. Dulu,
ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai,
hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya.
Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa,
yang pada waktu itu belum menjadi tandingan Bidadari
Jalang.
Lelaki berhidung mancung dengan mata indah
memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu
sisi, memperhatikan pertarungan gurunya dengan
Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang
sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan
perkasa itu, sehingga hampir saja pukulan dahsyat Iblis
Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.
Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang
berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia
bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya
kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu
menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya
roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan jejak. Tetapi
desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah
menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga
ketampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering
terbayang dan mengganggu batinnya.
Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk
mengalahkan Nagadipa nanti. Dengan senyumannya ia
bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk
asmara. Tetapi repotnya, Bidadari Jalang pasti tergoda
juga birahinya. Padahal setiap birahinya muncul, maka
kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya
akan rusak, hilang. Karenanya, sudah sekian lama
Bidadari Jalang menahan diri agar tidak mudah
terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris
habis. Memang begitulah akibat terkena Racun Birahi.
Tetapi sekarang ia harus berhadapan dengan
Nagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah
seberang. Mampukah ia menahan serangan luar dalam
dari murid Iblis Pulau Bangkai itu? Kalau saja Bidadari
Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa,
apakah dia masih mampu melawan godaan birahi dari
ketampanan Nagadipa? Apakah dia mampu menghindari
ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan
itu?
Agaknya kebimbangan hati Bidadari Jalang tersadap
oleh indera keenam si Gila Tuak. Karenanya, sebelum
kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran.
"Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia
sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu,
Bidadari Jalang!"
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir
aku gentar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saja
yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban
kemarahan Nagadipa."
"Menjadi korban? Hmm... apa hubungannya?"
Dia akan menyangka Suto adalah anakku."
"He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin
dia menyangka begitu? Suto dengan kamu tidak punya
kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia
mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."
Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar,
tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera
beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang,
"Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah,
selamat bertarung. Tunjukkan kehebatanmu di depanku
jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak
ini menjadi muridku."
Weesss...! Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari
Jalang tertiup dan berkibar sejenak. Itulah angin
kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang.
Tetapi sebentar kemudian, wuuss.....
Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia
lupa membawa Suto saat pergi tadi. Kini Suto
digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi,
Suto buru-buru berkata, "Jangan ajak aku terbang, Kek.
Aku sudah sangat puyeng."
"He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak,..,"
karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu,
akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju ke
sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu
tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat keadaan
Bidadari Jalang berdiri bagai termangu menunggu
kedatangan lawannya.
Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi. Tetapi
anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu itu.
Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap
siaga menyambut serangan dari dalam perahu jika
sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia
menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar
hati Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari
tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap
kakinya di buritan perahu.
Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali
bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar
perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat
hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun
terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi
terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.
Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya,
semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis
diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari
Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu
tanpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan
bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang
mengarahkan perahu ke tepi pantai? Siapa yang
membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh,
tentu, saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si
pembawa perahu itu? Apakah bersembunyi di dalam air,
di bawah perahunya itu?
"Nagadipa! Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang.
Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian
bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul
serangan dariI bawah sana.
"Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu
kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari
Jalang.
"Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan.
Kalem.
Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh
ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian
kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang
Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak
terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua
kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas
pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain
berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah itu
semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu
belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan
semakin mempesona dipandang mata.
"Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya.
Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang
begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu.
Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang
berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun Birain akan
segera bekerja kembali merongrong kekuatannya
"Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya
Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia berkata
begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi,
Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di
belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu
bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan
yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di
belakang Bidadari Jalang.
Perempuan itu manggut-manggut sambil
memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia
melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan sebuah
benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saja.
Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hati Bidadari
Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum itu.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.
"Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?"
ketusnya.
"Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari
Jalang."
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa
bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.
"Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk
menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun
yang lalu, bukan?"
"Benar."
"Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku
sudah siap."
Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu
indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang.
Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya
melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati
bagian pantai yang basah. Nagadipa memandang ke
arah cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku
membunuhmu sebelum puas aku mengagumi
kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan
bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau
miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai.
Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya
kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi,
aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu
demi membalas dendam kematian guruku, atau
membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"
"Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu,
Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu
semakin mengguncangkan hatinya, semakin
menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik
birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya
sendiri.
Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui
oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin
mendayu-dayukan rayuannya.
"Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja.
Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu,
menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih
sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung
karang...."
"Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan
mata mendelik.
"Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau
menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"
Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua
tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang
ingin berontak dari ujung birahinya. Nagadipa berpaling
memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari
Jalang dengan penuh kelembutan. Senyumnya mekar
tipis, menawan sekali. Dan ia tetap bersikap kalem,
sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.
"Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu,
Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul
hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi
wajahmu dengan penuh kelembutan."
"Bukan saatnya untuk bermain kemesraan,
Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.
"Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak
mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak
muncul kapan saja dan di mana saja."
Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap.
Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.
"Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari
Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku.
Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin
tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin
besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup
menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak
hatiku menerima tatapan matamu yang begitu
menggoda hati..."
Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan
gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia
menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan
dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena
napasnya tertahan berat.
"Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku...
aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu
semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk.
Bidadari Jalang kian gusar hatinya.
Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke
depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari
terlipat. Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar
tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa
membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai
menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke
kiri. Duubb...! Wuuug...!
Kraaak...!
Gundukan batu karang yang berjarak lima belas
tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak
bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan
di atas. Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang
itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu
berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke
arah gundukan batu karang. Akibatnya batu karang
itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang
beradu itu.
Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya
mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia
melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu
kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu,
Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan
sorot pandangan matanya yang lembut.
la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang
sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"
"Diam!" bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam
gumam.
"Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya?
Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan
rayuanku?"
"Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau
menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari
Jalang?"
"Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!"
Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya,
mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut
berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang
menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss...!
Nagadipa menahan dengan kedua tangan
disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika
itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan
oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang
disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa
terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk dalam
jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru
berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam
posisi siap menerima serangan lagi.
Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto
beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari
jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam.
Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa,
melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa. Lelaki
itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena
hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah
itu.
Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki
bidadari Jalang segera menendangnya dengan
tendangan miring.
"Hiattt...!"
Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan
dihentakkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai
dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan
tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar
membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga
dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya
Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.
"Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata
Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil mempelajari
kitab peninggalan gurumu itu!"
"Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran
membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."
"Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang
kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan
rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan
tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat
ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa.
Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih
dulu menyambar kaki Bidadari Jalang.
Prasss...!
Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan
kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesir-
desir mendengar rayuan Nagadipa.
Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang
segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat itu
Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik
yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada Nagadipa
terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia tersentak
sambil bersuara.
"Huugh...!"
Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu
lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada
itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari
kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental
dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera
berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam
hatinya.
"Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."
Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang
mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap
cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan
mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental.
Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat
tubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, tak ada
orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang
memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar
dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan.
Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang
tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri
dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan
balasan dari Nagadipa.
Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar
melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai
Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan
kedua tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan
disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit
merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan
ke depan, ke arah Bidadari Jalang.
Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung
tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke
dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari
Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan
tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng
kain jubah ungu.
Traap...! Traas...! Traas...!
Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur
jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam
lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum.
Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling
katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan
keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.
"Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!"
Wuung...! Blaamm...!
Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan
Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu
mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh
Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi semakin
besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut.
Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah
potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah
Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada,
sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke
belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung,
dan telinganya mengeluarkan darah.
Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan
mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera
menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di samping
kanan. Pedang pendek itu segera dibawa mendekati
Bidadari Jalang sambil ia berteriak.
"Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru,
Hiaaat...!"
*
* *