Episode 7
NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau
menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba-
tiba tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke
belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih
mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa
memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga
membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu
keadaan Bidadari Jalang mulai kritis.
Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa
heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai
mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba
bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya.
Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia
masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih
sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.
"Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram.
"Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan
dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita
tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"
"Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku
sudah siap menyambut jurus-jurusmu!" Bidadari Jalang
tak mau kalah sesumbar.
Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila
Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang
berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut
bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan
puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak
terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai
saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia
tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan
hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar
dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah
itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut
makanan, hanya menuntut pulang.
"Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita
tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"
"Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah
mu?"
Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu
terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan
anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh
berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi.
Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang
membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari keluarganya
tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian
Kombang Hitam.
Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat
pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada
suara memelas.
"Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu."
"Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat
menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan
kepadamu, Suto."
"Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"
"O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela
kebenaran."
"Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi
berjubah ungu itu, ya?"
"Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."
"Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama
aku bisa sinting lagi!"
Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto di-
usap-usapnya. Suto segera berkata, "Kalau aku jadi
pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa
muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar
bergelar Pendekar Cepat Muntah."
Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata,
"Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu
Suto Sinting."
Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup
mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela
tawanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut
oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki
tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada
pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.
Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa,
Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena
pukulan."
"Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada
dan tidak melatih gerakan lincah."
"Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa
menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"
"O, iya! Malah kamu bisa menyerang."
Anak itu tersenyum bangga membayangkan
kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik
memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto
berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia menolongku dari
kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang
dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan
terima kasih atas pertolongannya. Tapi belum bisa
kusampaikan karena Bibi itu sibuk."
"Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali,
Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima
kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha
Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap
syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."
"Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi
pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani,
ya Kek?"
"Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga
harus lebih berani daripada Bibi Nawang."
"Nawang itu apa namanya, Kek"
"Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari
Jalang."
"Jalang itu apa, Kek?"
Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi
jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak
seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila
Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."
"Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan
sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang
bidadari dari kayangan?"
"Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh
Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip
kecantikan bidadari."
"O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi
mempunyai guru yang sama?"
"Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah
suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara
bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh
tarung untuk mengetahui kelemahan kami masing-
masing. Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung
denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan
mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang juga
mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya
sendiri."
"Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya
ilmu tinggi!"
"Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia
mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu
sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan
Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin
dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk
melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah
hilang akibat racun itu?" kata-kata terakhir diucapkan
pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya
sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil
memandangi pertarungan tersebut. Suto sendiri juga
membisu sambil termenung memandang kesana. Namun
tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila
Tuak menjadi heran.
"Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila
Tuak menyenggol pundak anak itu dengan pahanya.
"Tidak ada apa-apa kok, Kek."
"Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan
menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan
kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya
sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"
"Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang
itu... ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"
"Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk
Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu. "Masih kecil
sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah
besar nanti, ya?"
"Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."
"Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi
penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan-
bukan? Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih
dalam tentang perempuan."
Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang
ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan
diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak
mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan
sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang
terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu
bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dan
tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan
mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung
yang berupa cairan berbau aneh buat Suto. Anak itu
bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"
"Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah
beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan
kalau tak terlalu banyak."
Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat
itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera
menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya
kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut...!"
"He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah
Suto menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan
lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak
tangannya.
"Cuih, cuih...," Suto meludah.
"Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi
minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya
dalam waktu-waktu tertentu."
"Cuih...!" kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku
jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih!"
"Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk
bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke rumahku,
akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak
diminum untukmu."
"Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa
yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi
Nawang kok jadi berputar, Kek?"
"Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya
berputar."
"Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"
"Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit
puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu
perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila
Tuak menepuk dadanya sendiri.
"O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."
"Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak
dalam tongkatku!"
"Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus
membawa apa, ya Kek?"
"Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah
jadi pendekar?"
"Hmmm... membawa... membawa singkong bakar
saja."
"Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.
"Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat
julukan si Singkong Setan!"
"Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he
he...!"
Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah
tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus.
Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena
pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali terpusat
pada pertarungan di sana.
Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter
oleh serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya
semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari
Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke
sana-sini.
"Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia
punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh
musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar.
Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah
ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"
Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata,
"Birahi itu apa toh, Kek?"
"Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila
Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan.
Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi
pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"
"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."
"Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"
"Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa
merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti
bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."
"Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya
Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?"
tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala-
galanya begitu besar.
"Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang
jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada
pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari
sudut mana kita memandang."
"Kenapa begitu?"
"Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan
orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam
jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan-
jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh
diri kita baik sadar maupun tak sadar."
Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata
kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali
memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh
sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang
purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan
setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila
Tuak duduk dengan santai.
Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari
telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada
saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia
punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat
belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur
batu karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran
pukulan tenaga dalam mereka berdua.
Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari
Jalang untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini
Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah
dari tempatnya.
Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila
Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia
menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya
mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang jelas, kakek
berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah
pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek
itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.
Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan.
Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan
tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari
mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saja
bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang
mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai. Melihat hal
itu, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa
memuntahkan darah?
Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang
segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya
tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan
terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat
lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru,
sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir
di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan tersebut
segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa.
Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air
pada tubuh Nagadipa.
Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga
api ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api
berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga
Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik
keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena merasakan
hawa panas sedang menyerang tubuhnya. Karena ia
berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya
pakaiannya terbakar menjadi padam.
Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak
segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit
dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang
sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal
itu. Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya
dalam melawan Nagadipa.
"Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan
tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu," gumam
Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini
dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia
itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu
memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak
tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan
kelengahan."
Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih
puyeng saja?"
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja.
Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan
beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."
"Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu,
Kek?"
"Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana
dulu."
Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah
mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto
digandengnya, dan langkah mereka tampak santai
sekali. Suto sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak
membantu Bibi?"
"Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan
orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia
adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah
diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh
kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab,
dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita
harus sudah siap menanggung akibat buruknya."
Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang.
Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan
Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat
Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak,
"Jangan ikut campur urusanku!"
"O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan
nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti
anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus
dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang
bersamanya ke padepokanku."
Suto menyahut, "Bibi, terima kasih atas
pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang
Hitam."
Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar
ucapan itu. Namun ia terpaksa harus melompat dan
bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan
ada hawa panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa.
Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi
sasaran hawa panas itu.
"Awas Suto...!" teriak Bidadari Jalang.
Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya
di depan Suto, dan hawa panas yang mampu
melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi
berbalik arah menuju ke pengirimnya. Nagadipa kaget
mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis'
itu bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera
menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan
tersebut menghantam lautan. Crooos...! Suaranya
sangat keras. Air lautan bergolak bagai diguncang
gempa. Nagadipa hanya bertanya dalam hati.
"Siapa kakek tua itu? Hebat sekali dia? Bisa
menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat,
apalagi bisa mengembalikan?"
*
* *