Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 7 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps7

Chapter 7 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps7

Episode 7

NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau

menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba-

tiba tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke

belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih

mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa

memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga

membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu

keadaan Bidadari Jalang mulai kritis.

Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa

heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai

mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu

dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba

bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya.

Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia

masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih

sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.

"Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram.

"Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan

dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita

tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"

"Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku

sudah siap menyambut jurus-jurusmu!" Bidadari Jalang

tak mau kalah sesumbar.

Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila

Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang

berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut

bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan

puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak

terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai

saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia

tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan

hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar

dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah

itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut

makanan, hanya menuntut pulang.

"Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita

tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"

"Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah

mu?"

Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu

terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan

anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh

berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi.

Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang

membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari keluarganya

tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian

Kombang Hitam.

Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat

pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada

suara memelas.

"Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu."

"Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat

menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan

kepadamu, Suto."

"Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"

"O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela

kebenaran."

"Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi

berjubah ungu itu, ya?"

"Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."

"Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama

aku bisa sinting lagi!"

Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto di-

usap-usapnya. Suto segera berkata, "Kalau aku jadi

pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa

muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar

bergelar Pendekar Cepat Muntah."

Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata,

"Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu

Suto Sinting."

Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup

mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela

tawanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut

oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki

tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada

pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.

Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa,

Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena

pukulan."

"Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada

dan tidak melatih gerakan lincah."

"Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa

menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"

"O, iya! Malah kamu bisa menyerang."

Anak itu tersenyum bangga membayangkan

kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik

memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto

berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia menolongku dari

kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang

dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan

terima kasih atas pertolongannya. Tapi belum bisa

kusampaikan karena Bibi itu sibuk."

"Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali,

Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima

kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha

Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap

syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."

"Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi

pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani,

ya Kek?"

"Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga

harus lebih berani daripada Bibi Nawang."

"Nawang itu apa namanya, Kek"

"Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari

Jalang."

"Jalang itu apa, Kek?"

Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi

jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak

seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila

Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."

"Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan

sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang

bidadari dari kayangan?"

"Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh

Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip

kecantikan bidadari."

"O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi

mempunyai guru yang sama?"

"Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah

suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara

bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh

tarung untuk mengetahui kelemahan kami masing-

masing. Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung

denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan

mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang juga

mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya

sendiri."

"Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya

ilmu tinggi!"

"Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia

mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu

sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan

Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin

dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk

melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah

hilang akibat racun itu?" kata-kata terakhir diucapkan

pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya

sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil

memandangi pertarungan tersebut. Suto sendiri juga

membisu sambil termenung memandang kesana. Namun

tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila

Tuak menjadi heran.

"Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila

Tuak menyenggol pundak anak itu dengan pahanya.

"Tidak ada apa-apa kok, Kek."

"Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan

menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan

kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya

sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"

"Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang

itu... ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"

"Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk

Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu. "Masih kecil

sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah

besar nanti, ya?"

"Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."

"Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi

penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan-

bukan? Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih

dalam tentang perempuan."

Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang

ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan

diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak

mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan

sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang

terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu

bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dan

tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan

mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung

yang berupa cairan berbau aneh buat Suto. Anak itu

bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"

"Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah

beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan

kalau tak terlalu banyak."

Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat

itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera

menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya

kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut...!"

"He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah

Suto menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan

lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak

tangannya.

"Cuih, cuih...," Suto meludah.

"Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi

minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya

dalam waktu-waktu tertentu."

"Cuih...!" kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku

jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih!"

"Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk

bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke rumahku,

akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak

diminum untukmu."

"Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa

yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi

Nawang kok jadi berputar, Kek?"

"Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya

berputar."

"Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"

"Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit

puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu

perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila

Tuak menepuk dadanya sendiri.

"O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."

"Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak

dalam tongkatku!"

"Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus

membawa apa, ya Kek?"

"Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah

jadi pendekar?"

"Hmmm... membawa... membawa singkong bakar

saja."

"Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.

"Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat

julukan si Singkong Setan!"

"Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he

he...!"

Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah

tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus.

Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena

pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali terpusat

pada pertarungan di sana.

Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter

oleh serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya

semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari

Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke

sana-sini.

"Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia

punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh

musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar.

Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah

ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"

Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata,

"Birahi itu apa toh, Kek?"

"Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila

Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan.

Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi

pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"

"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."

"Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"

"Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa

merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti

bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."

"Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya

Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?"

tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala-

galanya begitu besar.

"Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang

jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada

pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari

sudut mana kita memandang."

"Kenapa begitu?"

"Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan

orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam

jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan-

jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh

diri kita baik sadar maupun tak sadar."

Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata

kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali

memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh

sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang

purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan

setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila

Tuak duduk dengan santai.

Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari

telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada

saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia

punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat

belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur

batu karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran

pukulan tenaga dalam mereka berdua.

Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari

Jalang untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini

Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah

dari tempatnya.

Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila

Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia

menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya

mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang jelas, kakek

berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah

pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek

itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.

Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan.

Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan

tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari

mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saja

bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang

mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai. Melihat hal

itu, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa

memuntahkan darah?

Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang

segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya

tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan

terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat

lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru,

sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir

di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan tersebut

segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa.

Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air

pada tubuh Nagadipa.

Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga

api ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api

berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga

Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik

keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena merasakan

hawa panas sedang menyerang tubuhnya. Karena ia

berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya

pakaiannya terbakar menjadi padam.

Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak

segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit

dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang

sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal

itu. Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya

dalam melawan Nagadipa.

"Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan

tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu," gumam

Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini

dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia

itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu

memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak

tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan

kelengahan."

Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih

puyeng saja?"

"Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja.

Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan

beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."

"Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu,

Kek?"

"Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana

dulu."

Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah

mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto

digandengnya, dan langkah mereka tampak santai

sekali. Suto sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak

membantu Bibi?"

"Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan

orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia

adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah

diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh

kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab,

dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita

harus sudah siap menanggung akibat buruknya."

Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang.

Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan

Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat

Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak,

"Jangan ikut campur urusanku!"

"O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan

nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti

anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus

dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang

bersamanya ke padepokanku."

Suto menyahut, "Bibi, terima kasih atas

pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang

Hitam."

Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar

ucapan itu. Namun ia terpaksa harus melompat dan

bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan

ada hawa panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa.

Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi

sasaran hawa panas itu.

"Awas Suto...!" teriak Bidadari Jalang.

Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya

di depan Suto, dan hawa panas yang mampu

melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi

berbalik arah menuju ke pengirimnya. Nagadipa kaget

mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis'

itu bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera

menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan

tersebut menghantam lautan. Crooos...! Suaranya

sangat keras. Air lautan bergolak bagai diguncang

gempa. Nagadipa hanya bertanya dalam hati.

"Siapa kakek tua itu? Hebat sekali dia? Bisa

menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat,

apalagi bisa mengembalikan?"

*

* *