Episode 3
JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu
semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam
terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari
kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan.
Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.
"Kalau berani jangan pakai golok!" ucap Suto dalam
kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi melorot.
Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak
ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan
membentak keras.
"Penggaaal...!"
Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi
kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher
bocah telanjang dada itu.
Trangng...!
Orang yang menggenggam golok itu mendelik
melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang
tempat yang patah itu. Kini ia hanya memegangi
gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat temannya
yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam
terperanjat. Ia masih duduk di atas kudanya sambil
matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang
telah mematahkan golok itu dengan menggunakan
sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki kuda.
Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu
kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati
sambil bergumam, "Keparat! Pasti ada orang berilmu
tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini
bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana
dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke
sekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi.
Tak ada tempat yang mencurigakan.
Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang
golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh
pemiliknya. Kombang Hitam merasa semakin geram
dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya
yang masih mempunyai golok di pinggang.
"Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"
Sreet...! Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia
merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan coba-
coba menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.
Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat
diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.
Trangng...!
Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga
bagian. Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan
lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu
sebesar kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu
menjadi semakin panas. Matanya semakin buas
memandang sekeliling.
"Benar-benar keparat!" geramnya dengan kedua
tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu
digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu-
abu. Kecemasan Suto kembali mereda. Ia merasa lega,
bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu patah
kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.
Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah?!
Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?!
Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang
Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari
persembunyianmu! Keluar...!"
Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang
mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar
oleh Kombang Hitam. Biasanya ia bisa mendengar detak
jantung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali ini,
ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak
mendengar detak jantung, selain jantung milik mereka
dan Suto.
"Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik
kita," ia berkata kepada anak buahnya.
"Jangan-jangan anak itu punya kesaktian
tersembunyi?"
Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap
itu mendengus benci, dan memalingkan kepala.
Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip.
Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.
"Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun.
Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa
menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak-
gerak yang mencurigakan."
"Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami,
Ketua?"
"Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan
di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum
bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"
Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto.
Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena
merasakan ada hawa panas berkekuatan besar sedang
mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke samping
dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi
sasaran berikutnya. Kuda itu meringkik sambil
terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya
ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri.
Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan
hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam
menjadi tertegun bengong tak berkedip.
"Iblis Laknat!" maki Kombang Hitam. Ia bergegas
bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah pada
keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali.
Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang
amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu
menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut
dan kaki.
"Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!"
geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari! Periksa.
Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak
yang ada! Cepaaat...!"
Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan
perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto
juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam membentak.
"Hai, mau ke mana kamu, hah?"
"Membakar semak!"
"Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut
kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau
masih ingin selamat!"
Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak
tidak takut sedikit pun.
Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto
berkasak-kusuk.
"Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon?
Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"
"Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam
sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon
dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun
jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari
telapak tangan kita, seperti Ketua."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan
garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala.
"Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya.
Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini.
Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita
menemukan dia, kita mati lebih dulu."
"Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu
sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh
lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."
"Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara
diam-diam?"
"Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo,
lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu
hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita
mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita
bisa mati konyol!",
"Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat
sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!"
Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni
bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat.
Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang
jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang
menghentikan langkah temannya.
"Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada
kagum. Temannya memandang menurut arah telunjuk.
Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di
atas sebuah tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai
berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang,
sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua
anak buah Kombang Hitam itu.
"Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"
"Sepertinya seorang lelaki berambut panjang
meriap. Berdirinya begitu tegar."
Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah
ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari
karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang
Hitam berkata, "Dia pasti bukan orang sembarangan,
terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas.
Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini
menandakan keberaniannya dalam menentang bahaya
apa pun juga."
"Siapa dia? Apakah dia yang menyelamatkan bocah
itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu
kerikil?"
"Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita
tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu itu
mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk
sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang
jurang lebar itu, kan?"
"Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat
kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang
memperhatikan sang ketua kita?"
"Apa iya begitu, ya...?!" gumam yang satunya
bingung sendiri.
"Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti
di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua mengetahui
kita lari!"
Mereka kembali bergegas pergi. Namun baru tiga
langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan
kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu.
Orang tersebut berada di arah samping mereka,
jaraknya antara enam tombak. Orang itu memandang
sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya
mendaki tanah perbukitan. Kedua anak buah Kombang
Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.
"Siapa orang itu?"
"Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."
"Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi
tidakkah kau sadari pakaiannya?"
"O, iya...?!" orang itu terkejut. "Dia memakai
pakaian serba merah dan berjubah ungu. Rambutnya
panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik.
Apakah dia orang yang ada di atas...."
Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak
buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat
batu menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi,
belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat
seseorang berdiri jauh sekali. Dengan pakaian dan ciri-
ciri sama dengan orang yang baru saja muncul dari
ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.
"Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah
orang yang ada di atas batu sana?"
"Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada
di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang
kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu
cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang
jagung dan...," orang itu menengok ke belakang.
Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu
sudah tidak kelihatan lagi.
"Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana
perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang
berjalan mendaki?"
"Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini!
Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"
Mereka berlari menerabas pepohonan jagung.
Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang
merunduk. Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali
terhenti. Orang yang berjalan paling depan terkejut
dan berhenti seketika, sehingga yang belakang
menabraknya dalam satu sentakan yang membuat
mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena
di depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan
kulit tebal yang diikat sampai betis.
Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang
mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya
berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh.
Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat
memakai kain hitam. Ia menggenggam tongkat yang
tingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat itu
menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat
oleh tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat,
bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis
dan berkeriput. Kumis dan jenggotnya pun memutih
tanpa hitam selembar pun. Jelas kakek itu sudah
berusia lewat dari sembilan puluh tahun.
"Mengapa kalian ketakutan?"
"Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah
Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena
gugup dan bingungnya. Kakek itu semakin terkekeh-
kekeh melihat raut wajah yang salah tingkah.
"Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai
jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"
"Ka... kami... kami takut, Kek."
"Takut melihat golok kalian patah sendiri?"
"Hah...?!" Kedua anak buah Kombang Hitam saling
menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan
yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih
tebal itu. Sang kakek semakin terkekeh-kekeh.
Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa kalian,
baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."
Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir
dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning
melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka
rubuh membuat batang-batang pohon jagung rusak
ditimpa tubuh mereka berdua.
"Kenapa kamu mendorongku?!" sentak yang
belakang.
"Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang
mendorongnya dengan kuat sekali!"
"O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek
itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu
mendorong tubuhmu."
"Masa sekeras itu? Seperti didorong seekor kerbau
rasanya."
"Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng
kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam
yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi
sekali!"
"Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan
jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu
berdiri."
"Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak
bertindak kurang sopan padanya."
"Hei, kau ingat kalimatnya tadi? Kurasa dialah
orangnya yang membuat senjata kita patah."
"O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu,
pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan
mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia
melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia
sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang
ketua. Iya, kan?"
"Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia
bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata karena
patah, jika memang bukan dia pelakunya?"
"Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita
teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek
tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau
pengkhianat, biar sajalah...!"
Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang
menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada
tegang.
"Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?"
Mereka memandang ke tanah ladang.
"Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!"
kata yang satunya dengan kagum sekali.
Benar," gumam yang lain. "Bekas telapak kaki itu
sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat...!
bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga.
Ck, ck, ck...l" orang itu geleng-geleng kepala.
"Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku
jadi kepingin menjadi muridnya."
"Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di
dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."
Temannya memandang dengan dahi semakin
berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan
membuka kulitnya. Mata mereka semakin terbelalak.
"Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti
jagung yang baru saja dibakar!"
"Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba
kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar matang?!
Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benar-
benar memetik satu butir dari rentetannya. Butir
jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya
sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya.
"Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh,
kepalaku jadi menggeliyang begini?"
Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak
temannya. Temannya menjadi heran bercampur
tegang.
"Hai, kenapa kau? Kenapa?"
Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu
terbungkuk dan memuntahkan sesuatu, "Hoooeeek...!"
Mata temannya semakin bundar melebar. Ia
melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang
teman. Cukup banyak orang itu muntah-muntah isi
perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas.
Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera
memapah pergi, ia menyeret kaki temannya yang lemas
sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya menjadi
dingin dan kian dingin.
"Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga
dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba
kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong
lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek
berjubah kuning itu. Bertahanlah. Bertahan sebentar,
nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa
menawarkan racun dan sudah mulai menguasai
pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk
bertahan, kan? Masih kuat...? Hei, kau masih kuat...?"
"Masih," jawabnya lemas. Tubuh itu semakin dingin.
Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa
sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat.
Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak
bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak
mendengarkan.
"Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan
sedikit langsung dicaplok saja," gerutu temannya. Ia
kembali menatap ke belakang sebentar sambil
istirahat.
"Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begitu hebat kau
punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau
lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang
ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan mungkinkah kau
akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu
itu? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua.
Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat
kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik
berjubah ungu itu? Apakah... apakah sebaiknya aku
kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka
lakukan terhadap bocah itu?!"
*
* *