Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 3 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps3

Chapter 3 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps3

Episode 3

JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu

semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam

terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari

kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan.

Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.

"Kalau berani jangan pakai golok!" ucap Suto dalam

kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi melorot.

Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak

ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan

membentak keras.

"Penggaaal...!"

Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi

kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher

bocah telanjang dada itu.

Trangng...!

Orang yang menggenggam golok itu mendelik

melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang

tempat yang patah itu. Kini ia hanya memegangi

gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat temannya

yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam

terperanjat. Ia masih duduk di atas kudanya sambil

matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang

telah mematahkan golok itu dengan menggunakan

sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki kuda.

Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu

kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati

sambil bergumam, "Keparat! Pasti ada orang berilmu

tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini

bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana

dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke

sekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi.

Tak ada tempat yang mencurigakan.

Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang

golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh

pemiliknya. Kombang Hitam merasa semakin geram

dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya

yang masih mempunyai golok di pinggang.

"Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"

Sreet...! Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia

merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan coba-

coba menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.

Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat

diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.

Trangng...!

Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga

bagian. Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan

lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu

sebesar kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu

menjadi semakin panas. Matanya semakin buas

memandang sekeliling.

"Benar-benar keparat!" geramnya dengan kedua

tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu

digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu-

abu. Kecemasan Suto kembali mereda. Ia merasa lega,

bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu patah

kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.

Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah?!

Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?!

Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang

Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari

persembunyianmu! Keluar...!"

Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang

mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar

oleh Kombang Hitam. Biasanya ia bisa mendengar detak

jantung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali ini,

ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak

mendengar detak jantung, selain jantung milik mereka

dan Suto.

"Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik

kita," ia berkata kepada anak buahnya.

"Jangan-jangan anak itu punya kesaktian

tersembunyi?"

Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap

itu mendengus benci, dan memalingkan kepala.

Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip.

Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.

"Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun.

Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa

menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak-

gerak yang mencurigakan."

"Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami,

Ketua?"

"Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan

di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum

bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"

Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto.

Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena

merasakan ada hawa panas berkekuatan besar sedang

mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke samping

dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi

sasaran berikutnya. Kuda itu meringkik sambil

terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya

ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri.

Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan

hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam

menjadi tertegun bengong tak berkedip.

"Iblis Laknat!" maki Kombang Hitam. Ia bergegas

bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah pada

keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali.

Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang

amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu

menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut

dan kaki.

"Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!"

geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari! Periksa.

Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak

yang ada! Cepaaat...!"

Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan

perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto

juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam membentak.

"Hai, mau ke mana kamu, hah?"

"Membakar semak!"

"Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut

kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau

masih ingin selamat!"

Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak

tidak takut sedikit pun.

Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto

berkasak-kusuk.

"Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon?

Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"

"Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam

sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon

dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun

jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari

telapak tangan kita, seperti Ketua."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

"Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan

garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala.

"Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya.

Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini.

Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita

menemukan dia, kita mati lebih dulu."

"Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu

sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh

lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."

"Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara

diam-diam?"

"Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo,

lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu

hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita

mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita

bisa mati konyol!",

"Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat

sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!"

Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni

bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat.

Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang

jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang

menghentikan langkah temannya.

"Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada

kagum. Temannya memandang menurut arah telunjuk.

Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di

atas sebuah tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai

berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang,

sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua

anak buah Kombang Hitam itu.

"Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"

"Sepertinya seorang lelaki berambut panjang

meriap. Berdirinya begitu tegar."

Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah

ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari

karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang

Hitam berkata, "Dia pasti bukan orang sembarangan,

terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas.

Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini

menandakan keberaniannya dalam menentang bahaya

apa pun juga."

"Siapa dia? Apakah dia yang menyelamatkan bocah

itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu

kerikil?"

"Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita

tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu itu

mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk

sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang

jurang lebar itu, kan?"

"Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat

kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang

memperhatikan sang ketua kita?"

"Apa iya begitu, ya...?!" gumam yang satunya

bingung sendiri.

"Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti

di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua mengetahui

kita lari!"

Mereka kembali bergegas pergi. Namun baru tiga

langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan

kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu.

Orang tersebut berada di arah samping mereka,

jaraknya antara enam tombak. Orang itu memandang

sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya

mendaki tanah perbukitan. Kedua anak buah Kombang

Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.

"Siapa orang itu?"

"Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."

"Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi

tidakkah kau sadari pakaiannya?"

"O, iya...?!" orang itu terkejut. "Dia memakai

pakaian serba merah dan berjubah ungu. Rambutnya

panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik.

Apakah dia orang yang ada di atas...."

Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak

buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat

batu menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi,

belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat

seseorang berdiri jauh sekali. Dengan pakaian dan ciri-

ciri sama dengan orang yang baru saja muncul dari

ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.

"Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah

orang yang ada di atas batu sana?"

"Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada

di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang

kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu

cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang

jagung dan...," orang itu menengok ke belakang.

Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu

sudah tidak kelihatan lagi.

"Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana

perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang

berjalan mendaki?"

"Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini!

Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"

Mereka berlari menerabas pepohonan jagung.

Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang

merunduk. Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali

terhenti. Orang yang berjalan paling depan terkejut

dan berhenti seketika, sehingga yang belakang

menabraknya dalam satu sentakan yang membuat

mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena

di depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan

kulit tebal yang diikat sampai betis.

Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang

mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya

berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh.

Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat

memakai kain hitam. Ia menggenggam tongkat yang

tingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat itu

menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat

oleh tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat,

bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis

dan berkeriput. Kumis dan jenggotnya pun memutih

tanpa hitam selembar pun. Jelas kakek itu sudah

berusia lewat dari sembilan puluh tahun.

"Mengapa kalian ketakutan?"

"Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah

Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena

gugup dan bingungnya. Kakek itu semakin terkekeh-

kekeh melihat raut wajah yang salah tingkah.

"Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai

jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"

"Ka... kami... kami takut, Kek."

"Takut melihat golok kalian patah sendiri?"

"Hah...?!" Kedua anak buah Kombang Hitam saling

menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan

yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih

tebal itu. Sang kakek semakin terkekeh-kekeh.

Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa kalian,

baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."

Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir

dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning

melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka

rubuh membuat batang-batang pohon jagung rusak

ditimpa tubuh mereka berdua.

"Kenapa kamu mendorongku?!" sentak yang

belakang.

"Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang

mendorongnya dengan kuat sekali!"

"O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek

itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu

mendorong tubuhmu."

"Masa sekeras itu? Seperti didorong seekor kerbau

rasanya."

"Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng

kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam

yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi

sekali!"

"Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan

jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu

berdiri."

"Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak

bertindak kurang sopan padanya."

"Hei, kau ingat kalimatnya tadi? Kurasa dialah

orangnya yang membuat senjata kita patah."

"O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu,

pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan

mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia

melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia

sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang

ketua. Iya, kan?"

"Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia

bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata karena

patah, jika memang bukan dia pelakunya?"

"Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita

teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek

tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau

pengkhianat, biar sajalah...!"

Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang

menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada

tegang.

"Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?"

Mereka memandang ke tanah ladang.

"Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!"

kata yang satunya dengan kagum sekali.

Benar," gumam yang lain. "Bekas telapak kaki itu

sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat...!

bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga.

Ck, ck, ck...l" orang itu geleng-geleng kepala.

"Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku

jadi kepingin menjadi muridnya."

"Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di

dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."

Temannya memandang dengan dahi semakin

berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan

membuka kulitnya. Mata mereka semakin terbelalak.

"Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti

jagung yang baru saja dibakar!"

"Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba

kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar matang?!

Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benar-

benar memetik satu butir dari rentetannya. Butir

jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya

sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya.

"Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh,

kepalaku jadi menggeliyang begini?"

Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak

temannya. Temannya menjadi heran bercampur

tegang.

"Hai, kenapa kau? Kenapa?"

Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu

terbungkuk dan memuntahkan sesuatu, "Hoooeeek...!"

Mata temannya semakin bundar melebar. Ia

melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang

teman. Cukup banyak orang itu muntah-muntah isi

perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas.

Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera

memapah pergi, ia menyeret kaki temannya yang lemas

sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya menjadi

dingin dan kian dingin.

"Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga

dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba

kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong

lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek

berjubah kuning itu. Bertahanlah. Bertahan sebentar,

nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa

menawarkan racun dan sudah mulai menguasai

pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk

bertahan, kan? Masih kuat...? Hei, kau masih kuat...?"

"Masih," jawabnya lemas. Tubuh itu semakin dingin.

Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa

sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat.

Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak

bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak

mendengarkan.

"Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan

sedikit langsung dicaplok saja," gerutu temannya. Ia

kembali menatap ke belakang sebentar sambil

istirahat.

"Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begitu hebat kau

punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau

lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang

ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan mungkinkah kau

akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu

itu? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua.

Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat

kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik

berjubah ungu itu? Apakah... apakah sebaiknya aku

kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka

lakukan terhadap bocah itu?!"

*

* *