Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 5 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps5

Chapter 5 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps5

Episode 5

BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai

Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan

kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang

membuat dada montok Bidadari Jalang jadi tertutup. Ia

menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha

mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila

Tuak.

"Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing

kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."

"Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan

bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir

kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan

orang lain."

Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir

yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang

pun berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku

hanya butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah

padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"

"Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini,

Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah

bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi

kau tahu sendiri, aku belum punya murid yang menjadi

pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid

yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan.

Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan

tenang."

"Persetan dengan kepentinganmu itu!" geram

Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan yang

menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali.

Jluuk...!

Wuuss...!

Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah

Bidadari Jalang. Bagaikan tersentak tiba-tiba dari

pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan

Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam

gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk

digendongan seorang ibu.

Napas Suto terengah-engah. Ia sendiri kaget dengan

peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi

ketakutan. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang

diperkuat.

"Setan betina!" umpat Gila Tuak. Baru saja Gila

Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang

telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu.

Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya

bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting

tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas

untuk menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh

yang menggendong Suto itu sudah berada di atas

sebuah pohon berdahan kekar.

"Woaaaow...!" Suto buru-buru memejamkan

matanya setelah menyadari berada di sebuah

ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu

menjadi kecil.

"Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak.

Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin.

Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun

melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan

yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto

tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah

tujuannya.

Ranting dan dahan berguncang semuanya. Sebagian

daun banyak yang rontok sebelum menua. Itu jelas

akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari

Jalang. Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon

lainnya ikut runtuh daunnya.

"Wooaaw... wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri

girang.

Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana.

Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam

membawanya lari membuat Suto bagai melayang

dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto

berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah

berada di pohon ketiga. Begitulah seterusnya, dan hal

itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar lewat

bawah.

Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai

tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon

disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar.

Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat.

JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam

berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.

Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit

berbatu-batu hitam. Ia berhenti sebentar karena harus

membujuk Suto. Sebab dalam pelariannya tadi,

Bidadari Jalang telah berusaha menotok jalan darah

Suto agar berhenti berteriak dan pingsan, sehingga

tidak berisik suaranya. Namun, anak itu justru menjerit

makin keras jika terkena totokan jari Bidadari Jalang.

Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi. Dan

Bidadari Jalang tahu, semua itu adalah ulah si Gila

Tuak, yang tadi waktu ada Kombang Hitam telah

melepaskan totokan pada diri Suto. Kini justru Gila

Tuak telah berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada

tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu, sehingga kebal

totokan siapa pun. Itulah sebabnya Bidadari Jalang

perlu membujuk Suto.

Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di

permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu

sebelahnya telah berdiri si Gila Tuak dengan senyum di

mulutnya. Tongkatnya tergenggam di tangan kanan

dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki. Sosok

tegapnya masih terlihat walau ia berdiri memunggungi

matahari senja. Bayangan sosok Gila Tuak membuat

hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat. Tak sangka

Gila Tuak sudah lebih cepat sampai ketimbang dirinya.

Jalang. "Tapi kau tak akan bisa merebut anak ini!"

"Jangan salahkan aku jika terpaksa menurunkan

tangan keras padamu, Bidadari Jalang!"

"Kalau kau mampu, lakukanlah!" tantang

perempuan itu dengan senyum manis yang menggoda

setiap lelaki. Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh

senyuman birahi Bidadari Jalang.

Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah satu ilmu

yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang untuk

mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman itu mampu

membuat lawannya reda dari kemarahan, reda dari

nafsu membunuhnya, dan justru menjadi kasmaran

kepadanya. Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya

karena merasa dibuat nikmat dengan memandang

senyuman iblis itu.

Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan

akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang

mempunyai pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia

telah menutup jiwanya sehingga tidak pernah punya

rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.

"Nawang, kenapa kau bersikeras mendapatkan

bocah tanpa pusar itu? Apa keperluanmu terhadapnya?"

"Aku butuh obat. Aku butuh mengembalikan

beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga

Pendekar Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak

pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu, telah

mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi.

Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi

sedikit jika aku sedang kasmaran dengan seorang pria.

Racun Birahi ini akan menjadi tawar jika aku sering

mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak

mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku

mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki tanpa

pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku

segera merebutnya dari tangan Kombang Hitam. Bocah

inilah satu-satunya jalan untuk membuat kekuatanku

"Hebat juga kau, Gila Tuak!" gumam Bidadari

pulih kembali dan racun menjadi tawar."

"Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan

belum bisa mengeluarkan hawa murni!" sentak Gila

Tuak.

"Aku akan mendidiknya. Aku akan menjadi gurunya

termasuk guru cinta. Hi hi hi...."

"Guru sesat!" geram si Gila Tuak lagi. "Jangan kau

racuni masa depan anak itu dengan persoalan cinta

birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu-

ilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan

tenang, entah di tangan siapa saja!"

"Hi hi hi..., kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang

bisa membuat umur panjang? Hi hi hi... rasakan

susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih

mending aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak

sepeot kamu. Hi hi hi..."

"Setan! Kalau kau tidak mempunyai ramuan awet

muda dan ilmu kecantikan abadi, kau juga akan setua

aku, Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan

umurku!"

"Tentu saja! Tapi kita beda guru walau saat

diangkat murid kita sama-sama berusia imbang. Aku

mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini

Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panjang dari

suaminya, yaitu Eyang Purbapati. Dan ternyata akulah

yang lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi

kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti

kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panjang

kalau raga kita makin lama semakin keropos, Gila

Tuak?"

"Sudah. Cukup! Jangan mengingat-ingat masa lalu.

Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing-

masing. Persoalan kita adalah Suto!"

"Rebutlah kalau kau merasa mampu!"

"Hiaah...!" si Gila Tuak melompat sambil

mengarahkan tongkatnya ke tubuh Bidadari Jalang.

Namun, begitu melihat tubuh Bidadari Jalang

melayang, Bidadari Jalang pun melompat jauh ke

kanan. Sodokan tongkat itu membentur batu yang

semula ada di belakang Bidadari Jalang. Batu itu pun

segera retak terbagi beberapa bagian, bagaikan

dihantam palu godam yang sangat besar.

Menyadari kekuatannya telah berkurang sejak ia

terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera

melarikan diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak

dalam keadaan kurang kekuatan. Siapa tahu si Gila

Tuak itu sudah berhasil menemukan jurus-jurus baru

dalam padepokannya sejak ia menghilang dari rimba

persilatan selama tujuh tahun. Bisa-bisa jurus dan ilmu

barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuatan

Bidadari Jalang yang tersisa itu.

Melarikan diri adalah hal terbaik. Menghindari

pertarungan dengan Gila Tuak, untuk saat ini adalah

langkah yang tepat. Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau

melepaskan Bidadari Jalang begitu saja. Ia pun segera

mengejarnya. Mereka menuruni bukit dengan

kecepatan tinggi. Suara jeritan Suto yang dibawa lari

secepat itu, membuat jejak tersendiri bagi Gila Tuak.

"Nawang! Berhenti kau! Hadapi aku!" teriak Gila

Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari larinya.

Matanya menyipit memandang kilasan angin merah

yang berkelebat di depannya. Serta-merta tongkatnya

dilemparkan dengan tangan kiri. Sekalipun memakai

tangan kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak

panah yang tak dapat dilihat mata telanjang. Dan tiba-

tiba terdengar suara orang memekik. '

"Aaahg...!"

Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di

sebuah dahan pohon, jatuh terkulai karena

punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak itu.

Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu

menjerit ketakutan.

"Waaaooow...!"

Wusssh...! Taaap...!

Gila Tuak berkelebat cepat. Tubuh Suto tertangkap

olehnya. Bocah tanpa pusar itu menghembuskan napas

lega.

Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah.

Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu

melenting naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan

kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk bertengger

burung rajawali. Namun nyatanya bisa dipakai

bertengger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu peringan

tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari Jalang

mampu berdiri di sana.

Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi

pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang ada

di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.

"Jahanam kau, Gila Tuak!" geram Bidadari Jalang.

Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit

naik.

"Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng,

Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" ,

Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan

muntah karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah

karena pusing dan mual perutnya. Gila Tuak berteriak

pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala

Suto.

"Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara

kau bawa lari sana-sini!"

"Persetan! Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini.

Hiaat...!"

Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang.

Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna

kuning. Arahnya ke wajah si Gila Tuak. Tapi, dengan

cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah. Wusss...!

Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang

membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.

Pohon itu hanya terguncang sedikit. Daunnya rontok

sebagian. Tapi masih berdiri tegak. Sedangkan Gila

Tuak sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah

dibawa terjun begitu cepat.

"Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek.

Puyeng...!" ucap Suto lemah sekali. Gila Tuak iba

melihat anak itu.

Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan

Suto. Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas

pohon dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap

garuda. Rambutnya pun meriap terbang dengan

membentuk keindahan tersendiri. Maka, mau tak mau

Gila Tuak segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan

saja kau mau muntah, muntahkan saja. Kakek tidak

marah terkena muntahanmu, Suto!"

"Sabawana!" teriak Bidadari Jalang. "Ke mana pun

kau lari akan kukejar dan kubuat cacat seumur

hidupmu! Jahanam kau!"

Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa

kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati

puncaknya. Sebab, biasanya jika perempuan itu marah

sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila

Tuak, yaitu Ki Sabawana.

Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan

keras sekali. Suara teriakannya menyerupai sebuah

seruling. Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan

menjadi kalang kabut. Burung beterbangan sambil

mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular yang

bersembunyi di sarangnya melesat keluar. Seakan

semua hewan yang ada di hutan lereng bukit itu

menjadi panik dan salah tingkah.

Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap

membawanya lari. Kalau saja tangan Sabawana tidak

mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu

akan mengalir darah segar. Gendang telinga akan

pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking

itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih,

gurunya Bidadari Jalang. Sementara itu, Gila Tuak tidak

perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan atau

alat apa pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan

tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga,

melapisinya, hingga tak akan ditembus kekuatan 'Siulan

Peri' tersebut.

Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus

mengejar dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka

tiba di pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut

itu mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega,

karena tanaman kelapa dan sebagainya berada dalam

jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.

Gila Tuak ingin segera membawa Suto

menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu

peringan tubuhnya yang bisa berjalan di atas air

asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa harus

terhenti. Di sampingnya Suto muntah-muntah lagi

sambil merengek.

"Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."

Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan.

Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan

sentakan suara kemarahannya.

"Mau lari ke mana kau, Sabawana!"

Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh

pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya

sebentar sambil dalam posisi setengah jongkok, karena

harus memijit-mijit tengkuk Suto yang masih muntah

tanpa cairan lagi itu.

"Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu?!

Perhatikanlah gambar pada layarnya."

Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit

terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di

layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga

melingkar di tengahnya.

"Iblis Pulau Bangkai!" geram Bidadari Jalang setelah

mengenali simbul pada layar perahu tersebut.

"Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis

Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas

dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah

kau hancur leburkan dengan ilmu 'Guntur Baja'. Jelas

sekarang murid tunggalnya yang bernama Nagadipa

sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau

tak mau kau akan berhadapan dengannya Nawang

Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus

menyelamatkannya dan menyembunyikannya."

"Tidak bisa!" sentak Bidadari Jalang.

"Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu

anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya, nanti

kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin

menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu secara

bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni.

Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau

kau mau bikin perhitungan denganku, silakan!"

Bidadari Jalang diam mematung. Matanya menatap

laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati

arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia

mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan

datang itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup

berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai

dalam keadaan belum terkena Racun Birahi. Tapi

sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia

akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa?

Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul,

apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?!

*

* *