Episode 5
BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai
Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan
kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang
membuat dada montok Bidadari Jalang jadi tertutup. Ia
menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha
mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila
Tuak.
"Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing
kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."
"Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan
bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir
kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan
orang lain."
Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir
yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang
pun berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku
hanya butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah
padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"
"Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini,
Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah
bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi
kau tahu sendiri, aku belum punya murid yang menjadi
pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid
yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan.
Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan
tenang."
"Persetan dengan kepentinganmu itu!" geram
Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan yang
menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali.
Jluuk...!
Wuuss...!
Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah
Bidadari Jalang. Bagaikan tersentak tiba-tiba dari
pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan
Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam
gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk
digendongan seorang ibu.
Napas Suto terengah-engah. Ia sendiri kaget dengan
peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi
ketakutan. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang
diperkuat.
"Setan betina!" umpat Gila Tuak. Baru saja Gila
Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang
telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu.
Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya
bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting
tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas
untuk menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh
yang menggendong Suto itu sudah berada di atas
sebuah pohon berdahan kekar.
"Woaaaow...!" Suto buru-buru memejamkan
matanya setelah menyadari berada di sebuah
ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu
menjadi kecil.
"Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak.
Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin.
Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun
melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan
yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto
tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah
tujuannya.
Ranting dan dahan berguncang semuanya. Sebagian
daun banyak yang rontok sebelum menua. Itu jelas
akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari
Jalang. Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon
lainnya ikut runtuh daunnya.
"Wooaaw... wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri
girang.
Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana.
Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam
membawanya lari membuat Suto bagai melayang
dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto
berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah
berada di pohon ketiga. Begitulah seterusnya, dan hal
itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar lewat
bawah.
Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai
tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon
disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar.
Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat.
JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam
berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.
Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit
berbatu-batu hitam. Ia berhenti sebentar karena harus
membujuk Suto. Sebab dalam pelariannya tadi,
Bidadari Jalang telah berusaha menotok jalan darah
Suto agar berhenti berteriak dan pingsan, sehingga
tidak berisik suaranya. Namun, anak itu justru menjerit
makin keras jika terkena totokan jari Bidadari Jalang.
Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi. Dan
Bidadari Jalang tahu, semua itu adalah ulah si Gila
Tuak, yang tadi waktu ada Kombang Hitam telah
melepaskan totokan pada diri Suto. Kini justru Gila
Tuak telah berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada
tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu, sehingga kebal
totokan siapa pun. Itulah sebabnya Bidadari Jalang
perlu membujuk Suto.
Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di
permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu
sebelahnya telah berdiri si Gila Tuak dengan senyum di
mulutnya. Tongkatnya tergenggam di tangan kanan
dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki. Sosok
tegapnya masih terlihat walau ia berdiri memunggungi
matahari senja. Bayangan sosok Gila Tuak membuat
hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat. Tak sangka
Gila Tuak sudah lebih cepat sampai ketimbang dirinya.
Jalang. "Tapi kau tak akan bisa merebut anak ini!"
"Jangan salahkan aku jika terpaksa menurunkan
tangan keras padamu, Bidadari Jalang!"
"Kalau kau mampu, lakukanlah!" tantang
perempuan itu dengan senyum manis yang menggoda
setiap lelaki. Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh
senyuman birahi Bidadari Jalang.
Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah satu ilmu
yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang untuk
mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman itu mampu
membuat lawannya reda dari kemarahan, reda dari
nafsu membunuhnya, dan justru menjadi kasmaran
kepadanya. Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya
karena merasa dibuat nikmat dengan memandang
senyuman iblis itu.
Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan
akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang
mempunyai pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia
telah menutup jiwanya sehingga tidak pernah punya
rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.
"Nawang, kenapa kau bersikeras mendapatkan
bocah tanpa pusar itu? Apa keperluanmu terhadapnya?"
"Aku butuh obat. Aku butuh mengembalikan
beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga
Pendekar Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak
pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu, telah
mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi.
Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi
sedikit jika aku sedang kasmaran dengan seorang pria.
Racun Birahi ini akan menjadi tawar jika aku sering
mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak
mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku
mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki tanpa
pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku
segera merebutnya dari tangan Kombang Hitam. Bocah
inilah satu-satunya jalan untuk membuat kekuatanku
"Hebat juga kau, Gila Tuak!" gumam Bidadari
pulih kembali dan racun menjadi tawar."
"Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan
belum bisa mengeluarkan hawa murni!" sentak Gila
Tuak.
"Aku akan mendidiknya. Aku akan menjadi gurunya
termasuk guru cinta. Hi hi hi...."
"Guru sesat!" geram si Gila Tuak lagi. "Jangan kau
racuni masa depan anak itu dengan persoalan cinta
birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu-
ilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan
tenang, entah di tangan siapa saja!"
"Hi hi hi..., kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang
bisa membuat umur panjang? Hi hi hi... rasakan
susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih
mending aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak
sepeot kamu. Hi hi hi..."
"Setan! Kalau kau tidak mempunyai ramuan awet
muda dan ilmu kecantikan abadi, kau juga akan setua
aku, Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan
umurku!"
"Tentu saja! Tapi kita beda guru walau saat
diangkat murid kita sama-sama berusia imbang. Aku
mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini
Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panjang dari
suaminya, yaitu Eyang Purbapati. Dan ternyata akulah
yang lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi
kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti
kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panjang
kalau raga kita makin lama semakin keropos, Gila
Tuak?"
"Sudah. Cukup! Jangan mengingat-ingat masa lalu.
Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing-
masing. Persoalan kita adalah Suto!"
"Rebutlah kalau kau merasa mampu!"
"Hiaah...!" si Gila Tuak melompat sambil
mengarahkan tongkatnya ke tubuh Bidadari Jalang.
Namun, begitu melihat tubuh Bidadari Jalang
melayang, Bidadari Jalang pun melompat jauh ke
kanan. Sodokan tongkat itu membentur batu yang
semula ada di belakang Bidadari Jalang. Batu itu pun
segera retak terbagi beberapa bagian, bagaikan
dihantam palu godam yang sangat besar.
Menyadari kekuatannya telah berkurang sejak ia
terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera
melarikan diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak
dalam keadaan kurang kekuatan. Siapa tahu si Gila
Tuak itu sudah berhasil menemukan jurus-jurus baru
dalam padepokannya sejak ia menghilang dari rimba
persilatan selama tujuh tahun. Bisa-bisa jurus dan ilmu
barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuatan
Bidadari Jalang yang tersisa itu.
Melarikan diri adalah hal terbaik. Menghindari
pertarungan dengan Gila Tuak, untuk saat ini adalah
langkah yang tepat. Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau
melepaskan Bidadari Jalang begitu saja. Ia pun segera
mengejarnya. Mereka menuruni bukit dengan
kecepatan tinggi. Suara jeritan Suto yang dibawa lari
secepat itu, membuat jejak tersendiri bagi Gila Tuak.
"Nawang! Berhenti kau! Hadapi aku!" teriak Gila
Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari larinya.
Matanya menyipit memandang kilasan angin merah
yang berkelebat di depannya. Serta-merta tongkatnya
dilemparkan dengan tangan kiri. Sekalipun memakai
tangan kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak
panah yang tak dapat dilihat mata telanjang. Dan tiba-
tiba terdengar suara orang memekik. '
"Aaahg...!"
Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di
sebuah dahan pohon, jatuh terkulai karena
punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak itu.
Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu
menjerit ketakutan.
"Waaaooow...!"
Wusssh...! Taaap...!
Gila Tuak berkelebat cepat. Tubuh Suto tertangkap
olehnya. Bocah tanpa pusar itu menghembuskan napas
lega.
Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah.
Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu
melenting naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan
kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk bertengger
burung rajawali. Namun nyatanya bisa dipakai
bertengger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu peringan
tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari Jalang
mampu berdiri di sana.
Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi
pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang ada
di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.
"Jahanam kau, Gila Tuak!" geram Bidadari Jalang.
Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit
naik.
"Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng,
Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" ,
Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan
muntah karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah
karena pusing dan mual perutnya. Gila Tuak berteriak
pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala
Suto.
"Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara
kau bawa lari sana-sini!"
"Persetan! Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini.
Hiaat...!"
Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang.
Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna
kuning. Arahnya ke wajah si Gila Tuak. Tapi, dengan
cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah. Wusss...!
Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang
membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.
Pohon itu hanya terguncang sedikit. Daunnya rontok
sebagian. Tapi masih berdiri tegak. Sedangkan Gila
Tuak sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah
dibawa terjun begitu cepat.
"Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek.
Puyeng...!" ucap Suto lemah sekali. Gila Tuak iba
melihat anak itu.
Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan
Suto. Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas
pohon dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap
garuda. Rambutnya pun meriap terbang dengan
membentuk keindahan tersendiri. Maka, mau tak mau
Gila Tuak segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan
saja kau mau muntah, muntahkan saja. Kakek tidak
marah terkena muntahanmu, Suto!"
"Sabawana!" teriak Bidadari Jalang. "Ke mana pun
kau lari akan kukejar dan kubuat cacat seumur
hidupmu! Jahanam kau!"
Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa
kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati
puncaknya. Sebab, biasanya jika perempuan itu marah
sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila
Tuak, yaitu Ki Sabawana.
Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan
keras sekali. Suara teriakannya menyerupai sebuah
seruling. Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan
menjadi kalang kabut. Burung beterbangan sambil
mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular yang
bersembunyi di sarangnya melesat keluar. Seakan
semua hewan yang ada di hutan lereng bukit itu
menjadi panik dan salah tingkah.
Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap
membawanya lari. Kalau saja tangan Sabawana tidak
mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu
akan mengalir darah segar. Gendang telinga akan
pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking
itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih,
gurunya Bidadari Jalang. Sementara itu, Gila Tuak tidak
perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan atau
alat apa pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan
tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga,
melapisinya, hingga tak akan ditembus kekuatan 'Siulan
Peri' tersebut.
Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus
mengejar dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka
tiba di pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut
itu mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega,
karena tanaman kelapa dan sebagainya berada dalam
jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.
Gila Tuak ingin segera membawa Suto
menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu
peringan tubuhnya yang bisa berjalan di atas air
asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa harus
terhenti. Di sampingnya Suto muntah-muntah lagi
sambil merengek.
"Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."
Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan.
Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan
sentakan suara kemarahannya.
"Mau lari ke mana kau, Sabawana!"
Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh
pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya
sebentar sambil dalam posisi setengah jongkok, karena
harus memijit-mijit tengkuk Suto yang masih muntah
tanpa cairan lagi itu.
"Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu?!
Perhatikanlah gambar pada layarnya."
Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit
terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di
layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga
melingkar di tengahnya.
"Iblis Pulau Bangkai!" geram Bidadari Jalang setelah
mengenali simbul pada layar perahu tersebut.
"Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis
Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas
dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah
kau hancur leburkan dengan ilmu 'Guntur Baja'. Jelas
sekarang murid tunggalnya yang bernama Nagadipa
sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau
tak mau kau akan berhadapan dengannya Nawang
Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus
menyelamatkannya dan menyembunyikannya."
"Tidak bisa!" sentak Bidadari Jalang.
"Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu
anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya, nanti
kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin
menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu secara
bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni.
Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau
kau mau bikin perhitungan denganku, silakan!"
Bidadari Jalang diam mematung. Matanya menatap
laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati
arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia
mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan
datang itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup
berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai
dalam keadaan belum terkena Racun Birahi. Tapi
sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia
akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa?
Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul,
apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?!
*
* *