Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 2 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps2

Chapter 2 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps2

Episode 2

RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten.

Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan

hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang

menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang

berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan

hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu Ronggo

Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk

beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat

hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso. Tetapi

penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah

hukum kadipaten, sehingga masih sering minta

pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri masih

menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap

menerima upah perbulannya.

Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya

kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit

menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya

diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan

seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah.

Serombongan orang berkuda itu segera mengepung

rumah tersebut sampai di bagian belakang.

Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk-

batuknya itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan

dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram.

Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata

menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa

heran.

"Siapa kau?"

"Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang

atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati,

bukan?"

"Mandra Dayu...?!" gumam Ronggo Wiseso. Ia

berpikir sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak

Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris

membunuh sang Adipati. Kenapa?"

"Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas

kematian adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya

saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan

hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya,

keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa

merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"

"Tunggu dulu...!"

Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anak-

anak, bantai habis mereka!"

"Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas

anak buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada

tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang

berani mendekat. Jerit dan teriakan bagai suasana di

alam neraka.

Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah

berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak

kembali. Suto duduk di atas punggung kuda, sementara

Paman Dubang menuntun, dengan memegangi tali

kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun

berjalan dengan santainya. Suto yang masih berusia

delapan tahun itu tersenyum-senyum. Merasa tenang

dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang

menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar,

melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan

Paman Dubang.

"Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas

menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"

"Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok

dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik

kuda sendiri."

"Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang

kuda sendiri."

"Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"

"Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!"

"Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia

bosan jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.

Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman

Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga

orang itu menegang dan napas mereka tampak tak

teratur.

"Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh-

jauh. Jangan pulang ke rumah!" kata salah seorang.

"Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"

"Ke penginapan saja!" kata yang satunya lagi.

"Di sini mana ada penginapan?!" sentak Dubang.

"Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?"

tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.

"Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal

Utara!"

"Apa...?!" Dubang memekik kaget. Suto segera

turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh

sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga

dan bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"

"Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang

Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak

perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh.

Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga

diperkosa dan dibunuh, dan...."

"Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia

bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu.

"Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"

"Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak.

Sebaiknya...."

"Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak

momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka

melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka

merencanakan menghabisi semua keluarga majikanmu

itu!"

"Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku

gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya,"

sambil Dubang memandang celananya yang basah

bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya begitu

besar.

"Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah

ngompol!" gerutu tetangga yang bersarung merah.

Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak

ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka

berseru, "Lho, di mana Suto tadi?!"

"Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah

rumahnya!"

"Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat

kita kejar dia!"

Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto

begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran

rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju

rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan tegang. Ia

mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang

diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin

melihat kebenaran cerita itu.

Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah

pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya

terbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga

melihat ayahnya yang renta itu sedang melawan dua

anak buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam

sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping

kudanya.

"Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai

mati!" teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati

siapa saja yang melihat pertarungan itu.

Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua

anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah

kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk

menangkis pukulan yang datang secara bersamaan.

Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah

Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran dan

mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk...!

"Hegh...?!" tubuh Ronggo melengkung ke belakang,

lalu terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari

mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.

Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan

jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan

mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.

Bleg...! Bleg...!

"Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik

matanya. Telapak tangan yang datang secara serempak

itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua

dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo

merasakan ada hawa panas yang membakar rongga

dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar

api.

Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit

bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas

menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke

arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.

Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya

menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso

yang menyeringai kesakitan pada pergelangan kakinya,

terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu

kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya

berhasil tetap berpijak pada tanah. Hanya saja,

sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua

tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri,

tertuju pada tengkuk kepala Ronggo.

Bleg...! Bleg...!

"Uhgg...!" kepala Ronggo tersentak maju dan darah

hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan

memenggal itu seperti dua batang balok yang

dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun

jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk...! Saat itu,

Suto menjerit dari balik persembunyiannya.

"Ayaaah...!" ia berlari mendekati ayahnya yang

sekarat.

"Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan

bunuh anak itu sekalian!" seru Kombang Hitam. Ia

menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.

Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia

justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah Kombang

Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang

langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu

dan melemparkan.

Plak, pletak!

Batu itu mengenai wajah dan kepala

penghadangnya.

"Wadow...!" seru mereka serempak.

Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah

seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah

Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu

berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.

"Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!" geram

Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda dan

mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto

membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran

rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk

di jalanan sempit itu.

"Jahanam!" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk

habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap!"

Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan

memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan

tembus tempat pelarian Suto. Sedangkan kedua anak

buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang

diambil Suto.

Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah

menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit,

Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa

menjerit.

"Pamaaan...!"

"Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang

menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman

jagung milik tetangga itu.

"Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya

lewat celah-celah tanaman jagung ini!" kata Dubang

yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun

segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua

tangannya. Dubang membawanya lari tunggang-

langgang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan

tertekan.

"Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher

Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan

Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas

Dubang sulit dikendalikan.

"Ke mana mereka?!" teriak Kombang Hitam kepada

kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat kelebatan anak

itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"

"Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung,

Ketua!"

"Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya

bengong saja?!"

Maka kedua orang tersebut segera menerabas

masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman

itu sudah menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan

Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera

melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia

akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.

"Wah... bajuku robek, Paman!"

"Biarkan saja!" Dubang tetap berlari sambil mencari

arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di

belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di

dalam ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin

mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya

sudah tidak tentu arah lagi.

"Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!"

"Kebetulan!" kata Dubang, segera menurunkan

Suto. Maka mereka lari berdua.

Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil

keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar,

mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan

liar menuju kaki bukit.

"Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan

ngos-ngosan juga.

"Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau

putus, Suto."

"Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman.

Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi,

Paman...!"

"Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia

masih muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus

lari tanpa berhenti, mana bisa?!"

Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang

mulai cemas.

"Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka.

Paman selamatkan diri saja."

"Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil!

Ayo, lari lagi."

Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini

mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celah-

celah batang pohon. Menerabas semak berduri.

Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar

dari ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang

Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak

dengan kemarahannya.

"Kalian lagi! Huh...!"

"Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang,

Ketua!"

"Setan! Kenapa masih mungkin? Harus pasti!"

Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat

gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia

menuding sambil berteriak keras.

"Itu dia!"

"Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam

meringkik dan melonjak kaget karena suara keras

tersebut.

"Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"

"Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"

"Kejar dia! Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam

bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri segera

bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda.

Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih

cepat bergerak di kerimbunan semak.

Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di

belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya.

Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat

mengejar dari arah bawah. Satu-satunya jalan adalah

tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti

dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya tinggal

seliter lagi. Namun, demi menyelamatkan Suto, bocah

asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari

mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia limbung

dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia menjadi

tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda. Suto

memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu

segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.

"Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita

jurang yang sangat dalam, Paman."

"Diam kamu! Aku tahu itu jurang!" kata Dubang

dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan

kelelahan begitu.

Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di

belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat

Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih

cepat lagi. Kaki Dubang pun kian dipercepat. Namun,

sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang

melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke

depan. Buukk...! Suto menabraknya dan ikut terjatuh.

"Ngekk...!" Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba

bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus kalian

sekarang, hah...?!"

Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya

goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.

"Awas, Paman...!" teriak Suto terbawa tangan

Dubang.

Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk

menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang.

Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh

Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.

"Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"

Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto.

Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon.

Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati.

Dubang berteriak,"Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"

"Pamaaan...!" Suto bingung, ia ingin membantu

menolong Dubang agar bisa naik.

"Cepat lariii...!" teriak Dubang dengan gemasnya.

"Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!"

Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas.

Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah

ingusan...! Ha, ha, ha...!"

Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang

tadi. Napasnya terengah-engah. Sementara itu,

Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang.

Susah payah ia menarik dirinya dengan

berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip

rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah

Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka

menemukan Dubang dalam keadaan kritis.

"Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang

satu berkata pula.

"Habisi saja dia!"

Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...!

Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo

Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"

"Jangan mau tertipu oleh bujukannya!" kata yang

satu. Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau memberi

tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"

Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu

mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin

memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya.

Orang yang memegang golok itu segera menebas ke

depan. Crasss...! Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh

Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan

jerit yang menggema mengerikan.

"Aaaa...!"

Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan

itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan

Dubang. Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi

kuda yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari

semak-semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya

bisa berdiri dengan tubuh gemetar. Pada saat itu,

kedua anak buah Kombang Hitam pun datang dengan

napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa

terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda.

Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.

"Penggal kepala bocah itul Penggal!"

*

* *