Episode 2
RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten.
Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan
hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang
menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang
berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan
hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu Ronggo
Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk
beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat
hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso. Tetapi
penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah
hukum kadipaten, sehingga masih sering minta
pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri masih
menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap
menerima upah perbulannya.
Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya
kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit
menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya
diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan
seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah.
Serombongan orang berkuda itu segera mengepung
rumah tersebut sampai di bagian belakang.
Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk-
batuknya itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan
dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram.
Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata
menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa
heran.
"Siapa kau?"
"Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang
atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati,
bukan?"
"Mandra Dayu...?!" gumam Ronggo Wiseso. Ia
berpikir sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak
Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris
membunuh sang Adipati. Kenapa?"
"Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas
kematian adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya
saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan
hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya,
keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa
merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"
"Tunggu dulu...!"
Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anak-
anak, bantai habis mereka!"
"Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas
anak buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada
tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang
berani mendekat. Jerit dan teriakan bagai suasana di
alam neraka.
Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah
berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak
kembali. Suto duduk di atas punggung kuda, sementara
Paman Dubang menuntun, dengan memegangi tali
kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun
berjalan dengan santainya. Suto yang masih berusia
delapan tahun itu tersenyum-senyum. Merasa tenang
dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang
menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar,
melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan
Paman Dubang.
"Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas
menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"
"Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok
dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik
kuda sendiri."
"Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang
kuda sendiri."
"Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"
"Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!"
"Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia
bosan jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.
Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman
Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga
orang itu menegang dan napas mereka tampak tak
teratur.
"Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh-
jauh. Jangan pulang ke rumah!" kata salah seorang.
"Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"
"Ke penginapan saja!" kata yang satunya lagi.
"Di sini mana ada penginapan?!" sentak Dubang.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?"
tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.
"Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal
Utara!"
"Apa...?!" Dubang memekik kaget. Suto segera
turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh
sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga
dan bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"
"Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang
Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak
perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh.
Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga
diperkosa dan dibunuh, dan...."
"Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia
bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu.
"Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"
"Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak.
Sebaiknya...."
"Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak
momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka
melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka
merencanakan menghabisi semua keluarga majikanmu
itu!"
"Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku
gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya,"
sambil Dubang memandang celananya yang basah
bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya begitu
besar.
"Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah
ngompol!" gerutu tetangga yang bersarung merah.
Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak
ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka
berseru, "Lho, di mana Suto tadi?!"
"Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah
rumahnya!"
"Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat
kita kejar dia!"
Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto
begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran
rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju
rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan tegang. Ia
mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang
diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin
melihat kebenaran cerita itu.
Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah
pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya
terbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga
melihat ayahnya yang renta itu sedang melawan dua
anak buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam
sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping
kudanya.
"Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai
mati!" teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati
siapa saja yang melihat pertarungan itu.
Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua
anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah
kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk
menangkis pukulan yang datang secara bersamaan.
Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah
Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran dan
mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk...!
"Hegh...?!" tubuh Ronggo melengkung ke belakang,
lalu terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari
mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.
Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan
jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan
mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.
Bleg...! Bleg...!
"Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik
matanya. Telapak tangan yang datang secara serempak
itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua
dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo
merasakan ada hawa panas yang membakar rongga
dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar
api.
Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit
bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas
menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke
arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.
Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya
menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso
yang menyeringai kesakitan pada pergelangan kakinya,
terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu
kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya
berhasil tetap berpijak pada tanah. Hanya saja,
sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua
tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri,
tertuju pada tengkuk kepala Ronggo.
Bleg...! Bleg...!
"Uhgg...!" kepala Ronggo tersentak maju dan darah
hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan
memenggal itu seperti dua batang balok yang
dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun
jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk...! Saat itu,
Suto menjerit dari balik persembunyiannya.
"Ayaaah...!" ia berlari mendekati ayahnya yang
sekarat.
"Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan
bunuh anak itu sekalian!" seru Kombang Hitam. Ia
menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.
Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia
justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah Kombang
Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang
langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu
dan melemparkan.
Plak, pletak!
Batu itu mengenai wajah dan kepala
penghadangnya.
"Wadow...!" seru mereka serempak.
Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah
seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah
Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu
berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.
"Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!" geram
Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda dan
mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto
membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran
rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk
di jalanan sempit itu.
"Jahanam!" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk
habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap!"
Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan
memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan
tembus tempat pelarian Suto. Sedangkan kedua anak
buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang
diambil Suto.
Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah
menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit,
Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa
menjerit.
"Pamaaan...!"
"Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang
menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman
jagung milik tetangga itu.
"Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya
lewat celah-celah tanaman jagung ini!" kata Dubang
yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun
segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua
tangannya. Dubang membawanya lari tunggang-
langgang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan
tertekan.
"Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher
Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan
Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas
Dubang sulit dikendalikan.
"Ke mana mereka?!" teriak Kombang Hitam kepada
kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat kelebatan anak
itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"
"Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung,
Ketua!"
"Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya
bengong saja?!"
Maka kedua orang tersebut segera menerabas
masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman
itu sudah menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan
Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera
melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia
akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.
"Wah... bajuku robek, Paman!"
"Biarkan saja!" Dubang tetap berlari sambil mencari
arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di
belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di
dalam ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin
mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya
sudah tidak tentu arah lagi.
"Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!"
"Kebetulan!" kata Dubang, segera menurunkan
Suto. Maka mereka lari berdua.
Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil
keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar,
mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan
liar menuju kaki bukit.
"Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan
ngos-ngosan juga.
"Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau
putus, Suto."
"Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman.
Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi,
Paman...!"
"Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia
masih muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus
lari tanpa berhenti, mana bisa?!"
Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang
mulai cemas.
"Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka.
Paman selamatkan diri saja."
"Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil!
Ayo, lari lagi."
Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini
mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celah-
celah batang pohon. Menerabas semak berduri.
Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar
dari ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang
Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak
dengan kemarahannya.
"Kalian lagi! Huh...!"
"Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang,
Ketua!"
"Setan! Kenapa masih mungkin? Harus pasti!"
Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat
gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia
menuding sambil berteriak keras.
"Itu dia!"
"Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam
meringkik dan melonjak kaget karena suara keras
tersebut.
"Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"
"Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"
"Kejar dia! Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam
bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri segera
bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda.
Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih
cepat bergerak di kerimbunan semak.
Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di
belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya.
Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat
mengejar dari arah bawah. Satu-satunya jalan adalah
tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti
dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya tinggal
seliter lagi. Namun, demi menyelamatkan Suto, bocah
asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari
mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia limbung
dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia menjadi
tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda. Suto
memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu
segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.
"Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita
jurang yang sangat dalam, Paman."
"Diam kamu! Aku tahu itu jurang!" kata Dubang
dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan
kelelahan begitu.
Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di
belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat
Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih
cepat lagi. Kaki Dubang pun kian dipercepat. Namun,
sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang
melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke
depan. Buukk...! Suto menabraknya dan ikut terjatuh.
"Ngekk...!" Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba
bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus kalian
sekarang, hah...?!"
Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya
goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
"Awas, Paman...!" teriak Suto terbawa tangan
Dubang.
Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk
menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang.
Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh
Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.
"Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"
Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto.
Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon.
Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati.
Dubang berteriak,"Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"
"Pamaaan...!" Suto bingung, ia ingin membantu
menolong Dubang agar bisa naik.
"Cepat lariii...!" teriak Dubang dengan gemasnya.
"Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!"
Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas.
Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah
ingusan...! Ha, ha, ha...!"
Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang
tadi. Napasnya terengah-engah. Sementara itu,
Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang.
Susah payah ia menarik dirinya dengan
berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip
rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah
Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka
menemukan Dubang dalam keadaan kritis.
"Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang
satu berkata pula.
"Habisi saja dia!"
Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...!
Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo
Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"
"Jangan mau tertipu oleh bujukannya!" kata yang
satu. Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau memberi
tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"
Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu
mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin
memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya.
Orang yang memegang golok itu segera menebas ke
depan. Crasss...! Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh
Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan
jerit yang menggema mengerikan.
"Aaaa...!"
Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan
itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan
Dubang. Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi
kuda yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari
semak-semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya
bisa berdiri dengan tubuh gemetar. Pada saat itu,
kedua anak buah Kombang Hitam pun datang dengan
napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa
terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda.
Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.
"Penggal kepala bocah itul Penggal!"
*
* *