Chereads / Sudut Pandang / Chapter 13 - Tangis Dalam Hujan

Chapter 13 - Tangis Dalam Hujan

Keadaan seketika menjadi ricuh. Beberapa orang tenaga medis itu tengah memastikan kondisi Nona Aila baik-baik saja. Wanita itu tedengar meraung, berusaha berontak ingin membuka seluruh perban menutupi tubuhnya.

"Apa yang terjadi? Kenapa pasien berprilaku seperti ini?" tanya dokter pada asisten Nona Aila.

"Seseorang menyarankannya untuk mengoleskan sebuah krim penyembuh luka pada luka bakar Nona, tapi saya menolaknya."

"Kelihatannya pasien ingin melakukan komunikasi. Coba tanyakan padanya, apa yang ia inginkan."

Nona Aila melemah. Satu telunjuknya menunjuk ke arah kaca dimana Arumi menatap pilu. Arah itu lurus menunjuk pada Arumi.

"Anda ingin dia masuk ke sini?"

Samar Nona Aila mengangguk. Seketika dokter mempersilakan Arumi untuk masuk ke dalam ruangan steril itu. Sebuah pakaian khas dan penutup kepala berwarna hijau itu melekat di tubuh Arumi. Tak terlepas kotak keramik dalam genggaman, berisi beberapa tetes gel yang entah bagaimana bisa menyembuhkan luka sebegitu banyaknya hanya dengan benda kecil itu.

Seekor capung dengan tanpa diduga hinggap di bahu Arumi, membisikan sesuatu tanpa orang sadari.

"Tak perlu dibuka perbannya, oleskan saja pada bagian luka yang terbuka."

Arumi sudah tidak asing lagi dengan suara-suara tanpa wujud itu. Ia membuka kotak, menyibak sedikit perban yang menutupi luka di tubuh Aila. Tangan itu gemetar, takut jika apa yang dilakukannya justru berbuntut pada petaka.

Di balik kaca itu, Elang berusaha untuk mencegah, tak ingin terjadi masalah dengan Dewi Pelangi di langit sana. Namun, tampaknya hal itu sia-sia. Benda berbentuk gel dalam kotak itu sudah tersentuh memberikan efek dingin pada jemari Arumi.

Masih dalam keadaan gemetar. Arumi sedikit menyingkap penutup luka supaya lebih leluasa untuk mengoleskannya. Secara ajaib, luka itu mengering, mengelupas hingga membentuk kulit baru yang lebih sehat dari sebelumnya.

Semua orang yang berada dalam ruangan itu tercengang. Tak ada lagi ringisan dan rintihan kesakitan yang keluar dari mulut Nona Aila sekarang.

"Obat apa ini?" tanya dokter itu sambil hendak menyentuh benda dalam genggaman Arumi.

Secepat kilat entah apa yang melesat membentuk kilatan cahaya menyilaukan hingga tanpa sadar Arumi sudah tidak lagi menggenggam benda itu.

"Obatnya!" seru Arumi.

Dokter yang tadi nyaris menyentuh benda itu meringis, tangannya seperti baru saja tersengat sesuatu hingga terasa kebas dan pegal.

"Makhluk apa tadi? Apa itu hantu?" Ia bergidik ngeri sambil kedua matanya sigap mengawasi sekitar.

Sedangkan luka di tubuh Nona Aila justru berangsur semakin membaik. Satu per satu perban yang semula melilit membentuk mumi itu terlepas seiring dengan kulit mati yang terkelupas habis hingga tersisa tubuh telanjang dengan kulit yang lebih cantik dan sehat. Tak ada bekas luka sedikitpun di tubuh itu. Bahkan rambut yang semula habis terbakar itu kini tumbuh kembali lebih lebat dan indah. Nona Arumi memerah wajahnya, Ia tarik selimut itu demi menutupi seluruh bagian tubuhnya yang terpampang jelas membuat sebagian tenaga medis laki-laki merona merah. Tak lupa juga Elang memalingkan wajahnya.

"Obat apa ini? Dan, makhluk tadi ... akh, sulit dipercaya. Ini benar-benar sebuah keajaiban."

Arumi sendiri terpukau hingga melotot dengan mulut menganga. Tak terlepas pun Nina yang juga melihat dari kaca luar ruangan melihat sendiri mejadian mustahil barusan.

"Elang, apa kamu lihat sendiri tadi? Ini, ini benar-benar sebuah keajaiban!" Nina berjingkrak-jingkrak sambil mengguncang lengan Elang.

Pengawal kecil utusan Alam Langit itu hanya tersenyum, sambil menyaksikan gemas dengan tingkah laku Nina yang konyol. Satu tangannya bersembunyi di balik punggung sambil menggenggam sesuatu dengan erat.

Kotak keramik itu, ternyata Elang sendiri yang merebutnya dari tangan Arumi sebelum dapat tersentuh orang lain. Sedikit saja dokter itu menyentuhnya, maka seketika Alam Langit akan tahu jika Dewi Pelangi telah melanggar hukum langit.

Capung itu terbang mengelilingi Elang dan seperti menuntun ke sebuah tempat untuk berubah wujud menjadi gadis cantik bergaun ungu.

"Kembalikan ini pada tuanmu sebelum ia mendapat masalah. Katakan padanya, jangan pernah lagi campuri urusanku!" ujar Elang sambil menyodorkan benda itu.

Si gadis capung tersenyum. Memainkan benda di tangannya, sambil satu tangan bersembunyi di balik punggung memerhatikan Elang kian menjauh. Ia melesat, kembali ke bentuk aslinya dan pergi dengan segera.

...

Lama menunggu di depan gerbang rumah Pak Wali Kota. Guntur tak henti mendongakkan kepalanya berharap Arumi dapat ke luar dari gerbang berpintu besi yang kokoh nan tinggi itu.

Ia sendiri ragu terkait keakuratan informasi jika Arumi adalah putri Pak Wali Kota. Sejak pagi, entah sudah berapa lama. Batang hidung gadis itu tak juga muncul.

Buket bunga besar yang penuh dengan berbagai spesies tanaman cantik itu berada dalam pelukan. Beberapa kali matanya melirik jarum pada benda bulat melingkar di lengannya.

Kedua mata Guntur berbinar. Gerbang rumah itu akhirnya terbuka, tapi yang muncul bukanlah kendaraan yang biasa Arumi gunakan. Melainkan itu ....

Pak Wali Kota.

Sesaat terhenti setelah melirik adanya mobil menunggu di depan rumahnya. Pak Wali kota yang duduk di jok belakang itu sengaja turun untuk menemui Guntur yang masih setia menunggu sambil duduk di atas bagasi kendaraan miliknya.

"Guntur Gumilang?" Pertanyaan itu sontak membuat Guntur menoleh.

"Betul. Anda ...."

"Saya Gunawan Bakhtiar. Rekan ayah anda." Sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.

"Rekan Papa? Oh, saya senang bertemu dengan anda di sini." Berbasa-basi sambil menyambut jabat tangan itu.

Sesaat Pak Wali Kota merasa rancu dengan bagaimana cara Guntur menyambutnya. Namun, ia sendiri faham, pemuda itu sudah lama melarikan diri karena tidak mau turut campur dalam dunia militer meski pustur tubuhnya sangat sempurna.

"Bagaimana kabar papa kamu?" Pertanyaan itu terkesan sangat renyah dan akrab.

"Papa?" Guntur menggaruk tengkuknya. Ia bingung harus menjawab apa. Selama satu tahun terakhir ia tidak pernah pulang ke rumah.

Para anak muda ini nampaknya membuat Pak Wali Kota menggeleng kepala. Selain Arumi, ternyata ada pula bocah lain yang mengambil sikap dengan cara pergi dari rumah.

"Nak?"

"Oh, Papa ya, Om? Beliau baik-baik saja."

"Lalu, apa nak Guntur ke mari membawa pesan khusus dari papamu?"

"Pesan khusus?"

"Ya, sebuah pesan rahasia yang hanya dipercayakan pada anaknya sendiri."

"Oh, itu? Hemmm ... ada, Om. Ini ...."

Dengan konyolnya ia menyerahkan bunga itu pada Pak Wali Kota.

Pak Wali Kota mengernyit heran. Sebuket bunga? Pertanda apa ini? Seolah kalimat itulah yang kini bermain dalam benaknya.

"Itu ... emh, maksud saya sebuah pesan rahasia untuk ...."

"Arumi?" Senyum di wajah laki-laki itu terukir dengan sempurna. "Nak Guntur mempunyai perasaan kepada putri kami?"

Malu-malu, Guntur mengangguk lalu menunduk. Kedua tangannya saling berpagut, raut wajah itu benar-benar terlihat konyol adanya.

"Nak, seorang pria itu tidak boleh lemah," ujar Pak Wali Kota berbisik sambil condong tubuh itu ke arah Guntur. "Kamu memiliki nama yang hebat, berlatar belakang keluarga yang hebat pula. Maka, kamu juga harus menunjukkan kehebatan itu, untuk mendapatkan hati Arumi."

Kedua mata Guntur berbinar. Senyum yang terukir itu begitu cerah, secerah cuaca hari yang ia tapaki sekarang. "Anda merestui saya?"

Pak Wali Kota tersenyum bangga, menepuk lengan Guntur dengan hangat serta mengacungkan tanda semangat melalui kode lengannya.

"Saya permisi dulu," ujar Pak Wali Kota, mengacungkan jempolnya lalu masuk ke dalam kendaraan setelah sesaat menyerahkan buket bunga itu pada salah satu scurity rumahnya untuk diberikan pada Arumi.

Beruntung, kisah cinta yang Guntur hadapi saat ini tidak sesulit pada saat ia berada di Alam Langit dulu.

Ibarat cermin, semuanya berbanding terbalik sehingga semua terkesan begitu mudah. Di kehidupan sebelumnya ketika di alam langit, Cintanya pada Aurora mendapat tentangan keras dari Kaisar Langit. Kebersamaan Guntur dan Aurora yang berakhir tragis itulah hingga saat ini menjadi cerita abadi yang menyayat hati para penghuni langit.

Hingga saat ini, ketika cerita itu dibacakan para penyair langit, maka akan tiba hujan badai setiap tahunnya. Alam bersedih. Maka luruh pula air mata Guntur dan Arumi dengan sendirinya, tanpa mereka sadari.

Tepat di penghujung September. Pada saat itulah tragedi air mata dan darah itu terjadi. Arumi ataupun Guntur akan senantiasa merasa sakit hati tanpa mereka tahu apa sebabnya. Hingga perasaan ini saling terkait satu sama lain.

Guntur sudah berada di kamarnya pada saat hujan badai itu tiba. Di langit sana, sang penyair tengah bercerita, seolah memperingati kehilangan dua orang jenderal kebanggaan Alam Langit.

Dewa Guntur dan Dewi Aurora. Kedua sosok itulah yang hingga kini masih dipuja Alam Langit karena prestasi mereka di dunia peperangan. Kekalahan Alam Neraka di Kota Api, itulah bukti prestasi yang tak dapat dipungkiri.

Seiring dengan bait-bait syair itu mendayu, pada saat itu pula Arumi dan Guntur di bumi menatap jendela, mendongak memerhatikan derasnya hujan sambil menangis dan merasakan ada sesuatu yang menghujam keras, jauh ke dasar hati mereka.

Arumi terisak, ia menekan dadanya terasa sesak. "Ada apa ini?" ujarnya bertanya pada diri sendiri.

Di tempat lain, Guntur mengalami hal yang sama. Ia terisak dengan hebat sambil menutup wajahnya. Merasakan kesakitan teramat pedih yang ia sendiri tidak tahu apa sebabnya.

"Kenapa selalu seperti ini? Ah, sakit sekali ...."

...

Sebuket bunga dengan nama Guntur itu menarik perhatian Arumi. Memang tidak ada pemuda lain yang kerap melakukan hal bodoh itu selain Guntur.

Arumi tersenyum, ia meraih buket itu dan menghirup aroma bunga menyejukan hatinya. Anehnya, tak ada lagi suara-suara bunga menangis selain tampak seperti senyum mengembang ke arah Arumi.

"Apakah kalian senang?" Arumi memeluk buket itu.

Sekumpulan bunga itu berarah seperti ingin mengecup lembut pipi Arumi. Hingga terasa menggelitik membuat Arumi tertawa geli.

"Kalian senang rupanya."

"Nona." Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Nina adanya.

"Ya?"

"Nona Aila ada di ruang tamu. beliau ingin berjumpa dengan anda."

"Katakan padanya, sebentar lagi saya ke luar."

"Baiklah."

Suara itu sudah tidak ada lagi. Arumi mencium para bunga, lalu ia meletakannya di sudut tempat tidur untuk nanti kemudian ia peluk.

"Sayang sekali, seandainya kalian dapat bertahan lebih lama."

Arumi sesaat membelai dretan bunga tersenyum itu sebelum akhirnya ia pergi.

Sosok itu sudah menuggunya di ruang tamu rumah Arumi. Menyilang kaki, dengan pakaian yang lebih berani menunjukan kaki jenjang, sudah tak ada lagi bekas luka yang selama ini dikhawatirkan itu.

Nona Aila, ia berdampingan dengan asistennya ketika Arumi mungcul dari balik pintu kamar. Kedua wanita itu tampak tengah sedikit berbincang-bincang.

"Anda mencari saya?"

Senyum itu terlihat mengembang lebih tulus. Nona Aila bangkit, menoleh dan tersenyum menyambut kedatangan Arumi. Sesaat ia terkesan gugup, mungkin menyadari jika keangkuhannya tempo hari itu telah membuat dirinya berada di ambang kematian.

"Sebelumnya, saya mau minta maaf atas sikap saya tempo hari. Seharusnya sejak awal saya percaya, mungkin kebakaran itu tidak akan terjadi."

Arumi tersenyum, ia mempersilahkan Nona Aila untuk kembali duduk.

"Itu hanya sebuah firasat yang ... mungkin secara kebetulan terjadi. Anda boleh percaya, boleh juga tidak."

"Tapi itu nyata."

Arumi tersenyum lembut. Ia merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak.

"Yang saya tahu, mimpi hanyalah bunga tidur. Terkait firasat atau bukan, mengantisipasi itu lebih baik daripada terlambat untuk menyadari."

"Iya. Sebelumnya saya minta maaf karena telah membuat anda kecewa."

"Sudahlah, lupakan saja. Melihat kondisi anda baik-baik saja pun, saya sudah senang."

"Emh, Nona Arumi. Bolehkan saya menanyakan sesuatu kepada Anda?"

Tangan halus itu menggenggam erat lengan Arumi sehingga menciptakan rasa heran serta penasaran dengan apa yang ingin Aila pertanyakan.

***

Next ....