Guntur, buka pintunya!"
Kekhawatiran itu nampak jelas di garis wajah Arumi. Gadis itu beberapa kali menggedor pintu tanpa hasil, ia frustasi. Arumi tampak meraup wajahnya dan kembali menggedor pintu itu lebih keras lagi, bahkan menendangnya beberapa kali tanpa ragu.
"Guntur, buka pintunya!"
Ketiga orang itu antara lain, Nina, Elang dan Laluna. Mereka semulanya tertinggal jauh ketika Arumi melesat berlari meninggalkan mobil yang baru berhenti tepat di pelataran parkir.
"Guntur!"
"Nona, biar aku coba mendobraknya," ujar Elang.
",Jangan! Kau akan merusak pintunya," cegah Laluna.
"Lalu apa yang harus kita lakukan? Membiarkannya tetap berada di dalam?!" Arumi kesal.
"Aku bisa masuk ke dalam melalui celah ventilasi udara. Mengambil kuncinya dan membawakan untuk kalian."
"Bagus, cepat!"
Seketika Laluna berubah wujud menjadi ular putih seukuran jari kelingking yang membuat Nina dan Arumi bergidik ngeri. Bagaimana bisa gadis secantik Laluna dapat berubah menjadi hewan yang dianggap berbahaya?
Tak berselang lama. Kunci itu sudah berada di hadapan Arumi dalam genggaman tangan Laluna yang ia sodorkan langsung pada gadis itu.
Pintu terbuka setelah Arumi sendiri yang membukanya. Sosok Guntur ternyata sudah tidak berada di atas tempat tidur, melainkan tengah terbaring lemas di atas lantai, tepat di hadapan Arumi.
"Guntur!"
Arumi memburu. Tubuh itu sudah tidak dalam baik-baik saja. Bayangan tentang tragedi berdarah Alam Langit itu seolah terus menghantui Guntur terlebih setelah ia tahu seperti apa kejadian yang sebenarnya. Ini seperti teringat dosa tak terampuni.
"Apa yang terjadi? Kita ke rumah sakit sekarang."
"Tidak," ujar Guntur menekan dadanya. "Ini akan sembuh dengan sendirinya."
"Kamu gila! Apa kamu mengkonsumsi narkoba? Katakan!"
"Tidak, aahh ...."
Laluna menangis.
Elang sigap mengeluarkan cahaya kemerahan dari kedua matanya yang tajam mengarah pada atap langit kamar itu yang tiba-tiba berguncang dan ....
Hancur!
BRAK!
Sekelompok siluman yang entah dari mana asalnya itu seketika menghancurkan bangunan kamar hingga tinggal tersisa dindingnya saja.
"Nona, awas!"
Elang meregangkan kedua sayapnya melindungi Arumi dan Guntur. Satu tangan itu memeluk Nina dengan erat, sedangkan Laluna hanya menatap pilu di balik tubuh Elang yang juga melindunginya.
Terhitung sekitar tiga puluh sosok siluman memasuki kamar itu kian sesak membentuk sejenis raksasa dengan bentuk yang mengerikan. Kedua taring itu seakan menjadi pertanda jika ia bukanlah makhluk yang mudah diajak kompromi.
Bentuknya sudah berubah lagi. Dari sosok raksasa kini menjadi makhluk lebih menyeramkan dengan ekor harimau serta bertubuh keledai, tapi berwarna hitam dan penuh dengan cairan kental menjijikan.
"Siluman burong!" seru Elang dengan geram.
Secepat kilat ia melemparkan tubuh Elang yang bagaikan tiada apa-apanya bagi makhluk itu. Merebut Guntur untuk kemudian ia cengkeram menggunakan cakar penuh kuku runcing itu dan membawanya terbang melalui celah kamar yang terbuka.
Beberapa orang yang menyaksikan di sekitar saling berteriak. Menjerit karena baru kali ini mereka melihat sosok menakutkan dari makhluk yang terlihat malam itu. Bahkan ada beberapa orang yang mengabadikannya menggunakan kamera di telpon seluler mereka.
"Makhluk apa itu?" Arumi yang sempat terlempar tadi memekik.
"Itu burong, dia siluman yang dulu pernah dikalahkan Tuan Muda Guntur."
"Burong?"
Arumi sendiri seperti pernah mengingat nama itu. Seketika pikirannya berusaha melayang jauh membuka setiap memori yang ada di otaknya, tapi semuanya dikacaukan kembali mengingat jika Guntur sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Saya harus mengejarnya."
"Tidak bisa, Nona. Kau akan celaka."
"Perduli apa?! Saya harus mengejarnya, Saya harus selamatkan dia!"
"Nona, bukankah tadi anda lihat sendiri betapa aku sulit mengalahkannya?"
"Pasti ada cara lain, saya yakin ada cara lain. Ke mana makhluk itu pergi?"
"Goa Buntu," ujar Laluna.
"Goa Buntu? Di mana tempat itu?"
"Itu merupakan tempat persembunyian Burong selama ribuan tahun. Sudah dipastikan dia akan membawa Tuan Muda ke sana."
"Cepat bawa saya ke tempat itu!"
"Baiklah." Sesaat menoleh ke arah Nina yang masih tampak syok. "Nina, kau lebih baik pulang ke rumah Pak Wali Kota. Jangan katakan apapun padanya."
"Tapi ... bagaimana caranya saya pulang? Badan ini saja terasa begitu gemetar."
"Laluna, tolong antarkan Nina. Biar tuanmu aku yang urus."
Ragu, tapi akhirnya ia mengangguk juga. "Nanti aku menyusul ke sana."
Elang merubah wujudnya menjadi seekor burung rajawali dengan kepala berwarna putih. Nina semakin syok melihatnya, segera Laluna membawa gadis itu ke luar untuk kemudian diantarkan ke rumah Pak Wali Kota atas dasar pesan khusus dari Elang.
Ragu, Arumi menaiki tubuh burung raksasa itu untuk kemudian duduk di atasnya dan terbang menuju Goa Buntu. Cukup jauh hingga tampak samar Burong masih mencengkeram tubuh Guntur yang lemas terlihat.
Rasa khawatir Arumi kian mendera. Ia menepak pelan leher rajawali raksasa yang kini tengah ditungganginya itu berharap dapat terbang lebih cepat.
Bunyi khas burung rajawali tak ragu keluar dari paruhnya yang melengkung itu, Arumi mencengkeram erat bulu burung, ia sendiri agak merasa ketakutan pada saat Elang berkelok membentuk jigjag demi dapat menyusul lebih cepat.
Arumi semakin erat mencengkeram bulu-bulu rajawali itu, bahkan ia memeluknya karena ketinggian bertambah hingga berjarak ribuan mil dari arah Arumi hingga ke bumi.
Kondisi Guntur tampak semakin lemas, Arumi semakin merasa panik dan dengan tiba-tiba sesuatu seperti tengah merasuki dirinya, Arumi berdiri tegak di atas tubuh rajawali tanpa ada rasa takut sedikit pun. Kedua matanya memancarkan sinar biru keunguan, bahkan pancaran itu seperti menjalar hingga ke langit malam ini menutupi seluruh terang cahaya bulan yang seharusnya purnama.
Suara rajawali semakin melengking menapaki langit. Tiba saatnya mereka sampai di Goa Buntu tempat Burong bersembunyi.
Tubuh Guntur terjatuh, ia tertatih berusaha untuk mencegah Arumi mengeluarkan semua kekuatannya. Namun, hal itu sudah terlambat. Tangan kanan Arumi sudah mengacungkan sebuah senjata pusaka Alam Langit yang dengan tiba-tiba muncul dalam genggaman itu.
"Kujaaaannggg kembaaaaarrrrr ...!" teriak Arumi sambil mengibaskan kujang raksasa di tangannya.
Bagai seringan kapas, tak ada sedikit pun rasa berat dalam genggaman itu muncul jutaan warna bercampur membentuk aurora yang menyeramkan malam ini, pertanda Dewi Aurora tengah murka!
"Jangan, jangan lakukan itu," ujar Guntur lirih berusaha menahannya.
"Nona, jangan!" Elang sudah kembali ke wujud manusia.
"Mati saja kaaaauuuu ...!"
Arumi melayang sambil mengarahkan benda pusaka itu pada makhluk tinggi besar yang hendak menghujam tubuhnya menggunakan kaki belakang bercakar dengan corak harimau. Secepat kilat Arumi mengelak, ia kibaskan lagi kujang itu, mengeluarkan cahaya aurora kian semakin terang dan menyilaukan.
Tak ada yang sanggup mencegahnya, bahkan tenaga mereka seolah tersedot langsung oleh amarah Arumi sendiri.
"Nona, Nona jangan." Elang memekik, tubuhnya kian sulit untuk digerakkan..
"Burong! Maattiiii kaaauuuu ...!"
Arumi semakin membabi buta mengibas kujang dengan kedua tangannya, menembus tepat di jantung makhluk itu. Burong menjerit menembus langit hingga goa itu bergetar, menjatuhkan beberapa batuan yang nyaris saja menghantam tubuh Arumi tergolek lemas.
Kujang itu seketika lenyap, seiring dengan hancurnya tubuh makhluk besar menyeramkan membetuk cairan kehijauan.
"Arumi ...." lirih Guntur, tubuhnya terasa panas dan lemas. Dari sudut bibir itu muncul darah segar pertanda terjadi masalah dengan paru-parunya.
"Tuan!" Laluna yang baru saja sampai itu memburu. Ia rengkuh menyangga tubuh Guntur yang nyaris terjatuh. "Aku bilang juga apa, lebih baik kita bunuh saja gadis itu. Dia akan membuat petaka jika terus dibiarkan."
"Mulut kurang ajar!" dengus Elang sambil memeluk tubuh tak sadarkan diri Arumi. "Kau lihat sendiri siapa yang tadi menolong tuanmu. Jika saja Nona tidak memaksakan diri untuk ke sini, mungkin tuanmu sudah lenyap jadi persembahan bulan purnama makhluk itu."
"Sudahlah, jangan ribut lagi," ujar Guntur terbata, sesekali terbatuk pula. "Tempat ini jauh dari pemukiman. Sekarang ... kita pikirkan bagaimana cara untuk pulang."
Elang teringat kepada janji Pangeran Aslan, putra dari salah satu menteri di Alam Langit. Ia duduk bersila, menyatukan kedua tangannya demi untuk menjalin komunikasi dengan pemilik kekuasaan atas para binatang itu.
"Kirimkan kami kuda terbang tak kasat mata. Supaya tidak membuat keributan di kota."
Tak berselang lama, kuda sembrani itu sudah mengepakkan sayapnya dan berhenti tepat di depan Guntur dan Laluna. Gadis itu membopong tuannya, untuk kemudian naik ke atasnya.
Sedangkan Elang membawa Arumi ke atas tubuhnya dan berubah kembali menjadi rajawali untuk kemudian terbang bersama kuda itu. Ternyata jarak cukup jauh dari pemukiman, mungkin pula melewati beberapa pulau dan pegunungan.
Hingga ketika sampai di depan rumah Pak Wali Kota, tepat pada saat hampir terbit fajar.
"Arumi!" pekik Pak Wali Kota yang ternyata sudah menunggu sejak lama. "Apa yang terjadi?" tanya Pak Wali Kota pada Elang yang membopong putrinya. Ia juga agak bingung dengan kondisi Guntur yang tampak tidak sedang baik-baik saja.
"Nona lepas kendali," ujar Elang sambil menidurkan Arumi pada tempat tidurnya.
"Kujang itu?"
"Maaf, Tuan." Elang menunduk lesu.
"Itu yang saya khawatirkan sejak lama. Lalu? Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Nona membunuh Burong di Goa Buntu."
"Makhluk besar itu? Arumi membunuhnya?"
"Benar."
"Apa sebabnya?"
"Guntur diculik langsung oleh Burong. Nona melihatnya dan memaksa diri untuk pergi menyelamatkan. Lalu membunuhnya di Goa itu sendiri."
"Cairan hijau itu? Kamu mengurungnya?"
"Sudah, Tuan. Hamba mengurungnya rapat di kotak jati, dalam batu sapir yang ada di kotak itu."
"Bagus, jangan sampai kotak itu terbuka. Jika tidak, Burong akan terlahir kembali. Tidak menutup kemungkinan Raja Iblis akan kembali mengangkatnya menjadk binatang spiritual mereka."
"Emh, Tuan."
"Ya?"
"Bagaimana dengan Nina?"
Pak Wali Kota menarik nafas panjang. Mengingat bagaimana ekspresi Nina ketika gadis itu baru saja sampai di depan gerbang rumah.
"Dia sangat syok. Mungkin kamu bisa menjelaskan sendiri padanya."
Wali Kota berlalu dari kamar itu. Membiarkan Elang berusaha menetralisir keadaan putrinya. Beruntung Nyonya rumah sudah tidur sehingga tidak akan terlalu mencemaskan keadaan Arumi yang tidak sadarkan diri.
Di kamar lain, Guntur sudah berbaring dalam selimut tebal ditemani Laluna menunduk di sampingnya.
"Jika sejak awal kamu tidak memberitahukan semuanya pada Arumi, maka tidak akan seperti ini kejadiannya."
"Maafkan aku, Tuan. Aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa pada Tuan."
"Kamu tahu? Ini seperti de javu. Saya seperti pernah melihat kejadian ini sebelumnya. Tapi di mana?"
"Di Kota Api," ujar Pak Wali Kota masuk ke dalam kamar itu.
Laki-laki itu sudah berubah sosok menjadi seseorang yang lebih bijaksana dan berwibawa.
"Dewa Astro?" ujar Laluna berlutut.
"Ya, selama ini aku sendiri yang menjaga Dewi Aurora. Apa kau masih ingat padaku, Jendral?"
***
Next ....