"Untuk apa perempuan ini menghubungi saya?"
Nyaris Nina menjawab telpon itu jika saja Elang tidak mencegahnya.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Jangan jawab dulu," ujar Elang.
Nina menyandarkan tubuh sambil menengadah frustasi. "Benar apa yang Nona Arumi katakan. Kamu terlalu ikut campur terhadap urusan kami."
"Aku memang ditugaskan untuk ikut campur terhadap kalian."
"Bagaimana jika telpon itu penting? Berkaitan dengan karier tuanmu misalnya?"
"Lebih penting mana karier dan nyawa?" Tatapan itu begitu tajam menghujam ke dasar hari Nina. Gadis itu terdiam, menunduk kaku sambil memainkan ujung kemeja yang dikenakannya.
...
Alam Langit ....
Raja Petir semakin menggeleng kepala melihat istrinya kian tidak tentu dalam berpenampilan. Dewi Pelangi mengenakan dress kekinian dalam acara perjamuan di Kerajaan Langit yang dihadiri para pemimpin beberapa alam itu.
Tidak ada lagi gaun yang mengacu pada tradisi kerajaan digunakan istrinya. Sedangkan Selir Namia tetap tersenyum manis menampakan bahwa dirinyalah yang paling patuh dalam mengikuti aturan langit.
Dress Silver dengan aksen beberapa mutiara hasil rancangan Arumi, penampilan itu sontak menjadi sorotan mengingat mutiara dalam gaun itu pernah digunakan Dewi Mustika Emas dalam acara yang sama.
Laksana mengingatkan betapa anggunnya wanita itu, seolah pula menyindir Selir Namia atas tindakan yang menimbulkan dosa-dosa di masa lalu.
Namia mendengus kesal, raut wajahnya begitu kecut berpaling ke arah lain. Bagaimanapun keinginannya menjadi permaisuri masih tetap kuat hingga saat ini. Menjadi selir tercantik dan kesayangan, bukanlah merupakan suatu kebanggaan.
Namia beringsut menuju singgasana Raja. Duduk tepat di sisi lain setelah sisi yang satunya sudah ditempati Dewi Pelangi terlebih dahulu.
"Salam, Yang Mulia Paduka. Ini adalah acara perjamuan para Raja, seharusnya sang Permaisuri mampu mematuhi aturan tradisi kerajaan secara turun temurun."
Raja Petir melirik sesaat ke arah Namia, lalu ia kembali pokus pada gerak gemulai para penari bercadar sutra itu.
"Hahaha, gerakan yang indah. Mari, berikan tepuk tangan!"
Sontak seruan itu menimbulkan tepuk tangan yang meriah dari para tamu yang hadir di aula kerajaan.
Beberapa istri raja dan pejabat negara menatap takjub ke arah Dewi Pelangi dengan trend mode yang lebih modis dikenakan.
"Emh, Permaisuri, pakaian yang anda kenakan bagus sekali. Dari mana anda dapatkan itu? Mohon maaf jika hamba lancang," ujar seorang istri pejabat membuat suaminya mencubit gemas karena kelancangan istrinya itu.
Dewi Pelangi tersenyum. "Aku memiliki banyak koleksi seperti ini. Beberapa selir kutugaskan turun ke bumi untuk memperbaiki mode pakaian para istri raja dan pejabat."
Penjelasan itu sontak membuat Raja Petir mendelik serta Namia tersenyum puas penuh kemenangan.
"Ampun, Paduka Raja. Istri Yang Mulia memerintahkan para selir untuk turun ke bumi, apakah itu tidak melanggar aturan langit?" ujar salah seorang menteri memberi hormat.
"Benar, Yang Mulia. Sudah beberapa generasi Kerajaan Langit melarang istri raja ataupun istri pejabat berikut para dayang mereka untuk turun ke bumi tanpa alasan. Itu bisa menyebabkan yang bersangkutan dihukum di Paviliun Penyucian selama jutaan tahun."
"Benar, Yang Mulia. Karena terbukti pula akan merusak citra dan nama baik Kerajaan Langit, maka Yang Mulia Paduka Raja harus bertindak tegas terhadap Permaisuri."
Seketika suasana aula kerajaan itu menjadi kaku dan penuh ketegangan. Namun, nampaknya tak sedikit pun rasa takut itu ditampakkan Dewi Pelangi selain hanya senyum memukai penuh kepercayaan diri.
"Permisuri, mohon anda jelaskan, apa maksud anda turun ke bumi. Bahkan yang hamba dengar, anda turut serta dalam acara pagelaran yang dilaksanakan di bumi." Selir Namia semakin memperkeruh suasana.
"Hem, aku dan para dayangku turun ke bumi bukan tanpa alasan pasti. Karena ada pula salah satu istri pejabat tinggi kerajaan yang juga turun ke bumi dengan cara memperbaharui identitasnya."
Kericuhan itu tidak dapat terhindarkan lagi. Semua tamu yang datang saling berbisik mempunyai terkaan masing-masing. Pernyataan Dewi Pelangi sontak membuat Namia sedikit gugup, tapi wanita itu selalu berhasil mengendalikan situasi.
"Siapa yang permaisuri maksud?" tanya salah seorang menteri.
"Yang Mulia," ujar Dewi Pelangi rengkuh sesaat beranjak dari tempat duduknya dan mengangguk sopan di hadapan Raja Petir. Ia memutar, menghadap ke khalayak ramai yang menunggu penjelasan. "Ijinkan hamba membuka beberapa fakta menarik tentang riset yang hamba lakukan di bumi selama ini."
Matanya menyorot tajam ke arah Namia mendelik penuh permusuhan.
"Di istana ini, kita memiliki salah satu anggota kerajaan dari kalangan bangsawan yang dulu memiliki tabiat teramat ceroboh dalam hidupnya. Bahkan kecerobohan itu nyaris saja membunuh dirinya sendiri, hingga menyisakan bekas luka bakar di kaki bagian kanan."
Semua istri bangsawan tak terkecuali Namia menyibak sedikit gaunnya dan memperlihatkan kaki mereka yang tampak mulus tak ada celah.
"Api itu api samadi. Dan hanya obat dari ruang laboratorium kerajaanlah yang dapat menyembuhkannya." Sesaat Dewi Pelangi kembali melirik tajam ke arah Namia. "Dan baru-baru ini, ada kejadian serupa yang terjadi di bumi. Kebakaran dahsyat itu terjadi akibat kecerobohan seorang wanita pula. Dia pun nyaris membunuh dirinya sendiri. Hamba memberikan obat itu padanya dengan jalan orang lain dan luka itu sembuh seketika. Termasuk bekas luka dari api samadi itu sendiri."
Namia tersenyum geli. "Lelucon apa ini, Permaisuri? Bagaimana mungkin anda bisa menyamakan makhluk langit dengan seorang wanita di bumi? Api samadi dan api di bumi tentu tidak sama. Api di bumi hanyalah fana, sedang api samadi adalah api biru, muncul dari keabadian langit dari orang dengan tingkat ilmu yang lebih tinggi lagi."
"Kau lupa, jika semua makhluk langit yang turun ke bumi tanpa ijin akan hilang kekuatannya? Tentu jika kau turun ke bumi, maka derajat kau akan sama dengan mahkluk bumi pula. Jangankan api samadi yang bisa meluluh lantakan tubuhmu, sepercik api lilin pun bisa membunuhmu!"
"Permaisuri menuduh hamba turun ke bumi tanpa ijin Yang Mulia Raja?"
"Hah! Tentu saja tidak. Hanya semuanya perlu tahu, meskipun obat itu berasal dari Alam Langit, yang dapat disembuhkan hanyalah luka yang baru timbul beberapa hari di bumi atau luka yang muncul dari Alam Langit. Jika luka itu sudah lama maka tidak akan ada efek sama sekali. Terkecuali, jika luka itu memang berasal ketika ia masih menjadi penghuni langit." Matanya lurus menatap ke arah Namia yang tampak kikuk.
"Yang Mulia, tetap saja Permaisuri dan para dayangnya harus membayar dosa atas turunnya ke bumi tanpa ijin. Hamba harap, Yang Mulia segera mengirim Permaisuri ke ruang penyucian."
"Benar, Yang Mulia!"
"Benar sekali!"
"Kirim Permaisuri ke Paviliun penyucian!"
"Kirim dia!"
"Tunggu!"
Suara itu menghentikan keributan di ruang aula kerajaan. Seorang wanita tua yang masih memiliki tubuh tegap itu berdiri tepat di arah pintu masuk dalam keadaan mata menatap tajam dan kedua tangannya saling terpaut di belakang punggungnya.
"Ibu Suri," pekik beberapa penghuni ruangan itu.
"Apa yang kalian katakan? Membuat keputusan tanpa melibatkanku? Apa-apaan ini?"
"Ibu Suri." Semua berlutut segan melihat wanita tua itu.
"Aku sendiri yang memberikan ijin Dewi Pelangi dan para dayangnya itu untuk turun ke bumi."
"Tapi kenapa, Ibu Suri?"
"Karena ada beberapa urusan langit yang harus memiliki keterkaitan dengan dunia fana. Tentu aku melakukan ini untuk kestabilan Alam Langit."
"Kestabilan Alam Langit?" tanya Namia dengan berlagak lembut. "Termasuk melanggar aturan dan tradisi Alam Langit seperti yang dilakukan Permaisuri?"
"Itu hanya sebagian dari dampak yang terjadi. Tapi yang Dewi Pelangi lakukan lebih dari itu."
"Bisa Ibu Suri jelaskan apa itu?"
"Selir Namia. Kau sudah melewati batas kesopananmu terhadap Ibu Suri!" tegur Raja Petir bangkit dari singgasananya. "Sebaiknya kau jaga sikapmu!"
"Maafkan hamba, Yang Mulia."
Ketegangan itu membuat para tamu merasa sungkan dan hanya terdiam saja. Hingga Raja Petir harus memutar otak untuk mencairkan suasana.
"Ah, kenapa harus tegang seperti ini? Silahkan nikmati hidangan kalian. Haha, mari bersulang."
...
Rasa pegal semalam masih terasa ketika Arumi tengah menikmati alam sore. Guntur menghampiri dan turut duduk di sampingnya, ia pun memerhatikan deretan bunga yang nampak tersenyum melambai dengan daun mereka.
"Kamu lihat mereka? Menarik bukan?" tanya Arumi tanpa menoleh.
"Para bunga itu seolah tidak ada beban dalam hidupnya. Maaf, karena semalam saya hampir membuat kamu celaka."
Arumi menoleh. Ia tersenyum dan merubah posisi menjadi lebih akrab dengan Guntur.
"Jika boleh saya jujur, saya sendiri tidak tahu apa sebabnya. Bahkan melihat kamu dalam keadaan semalam, itu rasanya lebih sakit dari sakit yang saya rasakan sekarang."
Guntur tersenyum. Kembali mengarahkan pandangan itu ke arah taman. "Mungkin benar kata orang, ikatan batin itu bisa mengalahkan segalanya. Termasuk ego yang selama ini ada dalam diri kita."
"Kemarin adalah badai penghujung September. Apa kamu menangis seharian?"
Guntur kembali tersenyum. "Apa yang kamu rasakan, rasanya saya pun merasakan hal yang sama. Mungkin sejak awal kita memang berjodoh."
"Guntur."
"Hem?"
"Kamu terlihat lebih dewasa dari yang saya kenal beberapa hari yang lalu."
"Mungkin ini terjadi karena dirimu."
"Saya?"
"Ya, melihat dari bagaimana cara kamu melindungi saya semalam, saya baru sadar, ada hati nurani yang hidup di dalam sana untuk sayai."
Arumi menatap iris mata yang lurus ke arahnya itu. Sendu, tapi juga dalam. Beberapa memar di wajah Guntur masih tampak memilukan.
"Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya Arumi menyentuh memar yang membuat Guntur agak meringis itu.
"Aw, tidak usah. Saya rasa beberapa hari saja akan sembuh."
"Kamu serius tidak apa-apa?"
Guntur menggeleng. Ia belai surai yang tertiup angin sedikit menutup wajah Arumi yang cantik.
"Arumi."
"Hem?"
"Kamu tidak merasa keberatan kan dengan kelemahan yang ada pada saya?"
Arumi mengernyitkan dahinya. "Maksudnya?"
"Ya, berdekatan dengan pemuda lemah seperti saya. Seharusnya saya yang bisa melindungi kamu malam itu. Tapi ...."
"Ya, saya keberatan. Harusnya semalam kamu bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa harus menyusahkan orang lain." Sorot mata Arumi beralih ke taman itu.
"Saya malu, Arumi." Guntur menunduk.
"Jika kamu merasa malu, pulanglah ke rumah dan belajar pada papamu. Seorang pria itu harus mampu melindungi pasangannya. Kalau seperti ini bagaimana bisa melindungi saya? Untuk diri sendiri saja sudah repot."
Guntur tersenyum pahit. Mungkin sejak awal langkahnya sudah salah, setidaknya jika ia menuruti keinginan papanya untuk menjadi seorang perwira tentara, mungkin tidak akan sememalukan itu hasilnya.
"Pulanglah, Guntur. Temui papamu. Beliau sangat merindukanmu."
***
Next ....