Sekelompok burung gagak hitam tampak mengejar Elang dari belakang. Jika sekedar burung biasa mungkin tidak masalah, tapi mereka itu memiliki paruh berapi dan menyebabkan beberapa dahan kering pepohonan itu terbakar setelah sebagian api yang dari paruh itu memercik.
"Hati-hati, Nona!" seru Laluna sambil mendorong tubuh Arumi yang nyaris terkena api itu.
Sigap gadis ular itu menginjakan kakinya pada api yang membakar dedaunan kering di bawah mereka sebelum akhirnya membesar.
"Celaka! Klan ular dalam bahaya jika hutan ini terbakar."
Arumi sendiri bingung harus melakukan apa pada saat genting seperti ini. Dia coba kibaskan kedua tangannya, tak ada satu pun tanda-tanda jika ia memiliki tenaga dalam yang dapat digunakan.
"Nona! Awas!"
Laluna kembali menghalangi api itu supaya tidak terkena pada tubuh Arumi. Sedangkan di atas sana Elang masih berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman sekumpulan gagak hitam berparuh api itu.
"Ini pasti ulah Namia!" dengus Laluna.
"Namia? Siapa dia?"
"Ini sudah bukan waktunya untuk menjelaskan, nona. Pergilah cepat! Jangan sampai mereka melihatmu dan katakan pada Tuan Muda, kami membutuhkan bantuannya."
"Tapi, bagaimana Guntur bisa menolongmu? Kondisi dia saja sudah lemah."
"Tuan Guntara memiliki jimat pelindung yang setidaknya bisa memadamkan api dari paruh mereka dan menggunakan senjata api untuk membunuh segerombolan gagak itu."
"Tapi, bagaimana pula denganmu?"
"Jangan pedulikan aku! Cepat pergi!"
Tubuh Arumi terperosok pada turunan dari bukit itu dan menyebabkan kakinya terasa ngilu dan memar. Sesaat ia meringis, lalu kemudian memaksakan diri terseok karena melihat kondisi api di hutan kian membesar. Kondisi hutan memang belum sepenuhnya hijau, mengingat hujan baru beberapa kali turun dalam dua bulan terakhir. Memang cuaca akhir-akhir ini sudah tidak stabil lagi, sehingga setelah badai hebat kemarin kondisi kembali panas cerah.
Laluna seorang diri berusaha mengeluarkan liur dari mulutnya sebisa mungkin. Satu dahan berapi itu nyaris saja menimpa tepat ke atas kepalanya jika saja ia tidak mengelak. Satu percikan itu sudah cukup membuat gaun bagian bawahnya terbakar hingga ia perlu mengeluarkan liur untuk memadamkannya.
Sedangkan Elang, beberapa kali turun naik dan berputar dalam penerbangan itu berbunyi berusaha mencari bantuan dari Pangeran Aslan, tapi nampaknya sinyal itu tak juga sampai karena sulitnya berkomunikasi disaat konsentrasi tidak stabil.
Dari kejauhan, Jendral Guntara sendiri melihat adanya kobaran api yang sudah membakar sebagian hutan dan siap melalap habis seluruh penghuni hutan itu. Ia bergegas menyiapkan pasukan, terlebih pada saat melihat adanya seseorang berusaha terseok dalam temaram cahaya bulan malam itu.
"Arumi!" seru Guntur yang dengan tiba-tiba sudah berada di samping papanya.
Senjata api yang semula sudah siap menembak objek itu seketika diturunkan kembali. Guntur keluar dari pembatas gerbang itu dan menghampiri sosok Arumi uang sudah tampak berantakan dengan kondisinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Jendral Guntara memburu.
"Saya ...." Sesaat terengah lalu kemudian ambruk, terlalu lelah berdiri. "Saya membawa ini." Sebuah plakat langit yang tadi sempat digenggamkan Laluna itu ia serahkan pada Jendral Guntara.
"Plakat Alam Langit? Kenapa benda ini bisa ada padamu?"
"Seseorang menitipkan pesan supaya anda menghentikan gagak hitam berapi."
"Gagak hitam berapi?"
"Arumi!" Guntur terperanjat mendapati kaki Arumi sudah berlumuran darah.
"Pasukan!" seru Jendral Guntara pada sekelompok pasukan bersenjata api itu.
"Siap!" Semua serentak berjajar dengan rapih.
"Siapkan senjata kalian. Yang kita lawan bukan cuma musuh dari negara tetangga, tapi juga makhluk perusak yang akan meluluh lantakkan hutan kita. Sebagian ikut saya, sisanya panggilkan pemadam kebakaran untuk menjinakkan api di hutan."
"Siap, jendral!"
"Danyon memimpin di masing-masing sisi. Arahkan senjata pada sasaran tepat setelah api di paruh mereka padam."
"Siap!"
Setiap pasukan dengan masing-masing pemimpin mereka menyasar ke bagian arah masing-masing. Kobaran api itu kian membesar, tampak bayangan putih terus berkelebat berusaha memadamkan api yang kian menjalar hingga ke titik pemukiman warga.
Elang tetap mempertahankan posisi hingga ia tak ingin membuat api semakin melebar lagi jaraknya. Suaranya semakin kencang menjerit menembus langit.
Satu buah mutiara hitam berada dalam genggaman Jendral Guntara. Sekelompok gagak hitam itu mengarah padanya dan kehilangan kuasa api mereka.
Elang sudah sangat lelah, ia terbang merendah hingga terkapar tepat di samping kobaran api itu.
Beberapa prajurit tentara dengan senjata masing-masing itu mengarahkan mulut senjata mereka dan menarik pelatuk secara bersamaan ketika suara komando dikumandangkan.
Beberapa tembakan itu menggema memenuhi langit. Segerombolan gagak hitam berjatuhan, lepas satu dan tak dapat lagi dikejar. Jendral Guntara melihat tubuh seorang pemuda tergolek lemas tak berdaya dengan menggenggam sebuah gelang perak berbentuk ular kecil.
"Elang?" ujar Jendral Guntara.
"Ketua ...." Elang terbata, kemudian dia tidak sadarkan diri.
Suara sirine itu muncul seiring dengan datangnya mobil pemadam kebakaran yang diiringi Helly kopter pemadam kebakaran pula. Rasanya sudah saatnya bagi beberapa pasukan itu untuk kembali ke markas mereka.
Sebagian tubuh Elang terbakar, tim kesehatan membawanya pula ke ruang khusus untuk perawatan para tentara yang terluka.
Perlahan api dapat dipadamkan, keadaan hutan menyisakan asap kabut kehitaman hingga menjalar ke langit.
"Elang." Jendral Guntara berada di samping pemuda itu.
"Ketua, ternyata ... anda di sini. Sudah lama aku mencarimu." Elang masih terbata dan terengah kesulitan bernafas.
"Sudah sejak lama aku berada di bumi atas ijin Kaisar Langit."
"Kaisar Langit?"
"Iya, Kaisar Langit mengutusku untuk turun ke bumi dan memantau kestabilan alam."
"Ketua ... tolong serahkan benda ini pada putramu."
Elang menyodorkan sebuah gelang perak berbentuk ular kecil melingkar. Wajah gadis itu tergambar jelas dalam bayangan permata merah membentuk mata.
"Ular ini ...."
"Dia terluka. Hanya Tuan Muda yang dapat menyelamatkannya."
"Baiklah."
...
Arumi masih tergolek lemas setelah kakinya dibalut perban oleh petugas kesehatan batalyon. Belum juga sadar, sedangkan beberapa panggilan dari Nina entah sudah sejak lama berdering.
Guntur meraih benda pipih itu, kemudian ia mengangkatnya meski agak sungkan.
"Nona, apa anda baik-baik saja?" Pertanyaan itu sontak membuat Guntur mengernyitkan dahi.
"Apa maksudmu? Kamu tahun tentang kejadian ini?"
"Tuan Muda? Saya sudah menghubungi Nona sejak tadi, tapi tidak ada tanggapan sama sekali."
"Seluruh hutan di perbatasan mengalami kebakaran. Arumi, Elang dan Laluna terluka. Apa kamu sudah tahu apa sebabnya ini?"
"Engh, Tuan. Mohon jangan salah faham dulu. Memang sejak Elang pergi ke sana pun saya sudah ada firasat buruk, tapi saya bingung harus bagaimana menghubunginya dalam wujud rajawali. Maka dari itu saya coba hubungi Nona, apa kalian baik-baik saja?"
"Baik apanya? Arumi terluka!"
"Nona terluka? Apa yang terjadi?"
"Segerombol gagak hitam mengejar Elang hingga ke sini. Menimbulkan kebakaran di hutan. Dan, saya katakan padamu. Jangan terlalu berhubungan dengan Nona menyebalkan itu."
"Nona Aila?"
"Ya, apapun yang ia tanyakan padamu, katakan tidak tahu."
"Apa hubungannya dengan wanita itu?"
"Begini, saya beri tahu. Apa pun alasannya, dia mendekatimu atau Arumi hanya untuk mencari kesempatan untuk membunuh Arumi."
"Membunuh Nona? Tapi kenapa? Bukankah justru Nona telah menyelamatkan nyawanya?"
"Biar saya jelaskan nanti, ikuti saja apa yang saya katakan."
"Emh, Tuan. Bagaimana dengan Elang?"
"Sebagian tubuh Elang terbakar."
Panggilan itu terputus karena habisnya baterai yang menjadi daya bagi ponsel Arumi. Guntur meletakkannya, tepat di samping gadis itu. Mungkin lebih baik dibiarkan seperti itu saja, setidaknya tidak berisik dengan orang yang menghubungi Arumi dalam keadaan seperti ini.
Tangan itu lembut membelai helaian surai di kepala Arumi. Tampak wajah yang teramat lelah, mungkin dia terjatuh dari tebing sebelum akhirnya sampai di tempat itu.
Dengan lembut, Guntur mencium kening gadis itu, memejamkan mata dan menghirup aroma beberapa saat.
"Engh ...."
Gadis itu melenguh ketika ia berusaha sedikit menggeser kan posisi kakinya. Tampak sekali ada kesakitan yang berusaha ia tahan.
Ingat betul Guntur sebelum akhirnya ia memutuskan untuk setuju turut dalam dunia kemiliteran itu. Pak Wali Kota pernah berkata padanya.
"Kujang Kembar itu bisa saja kembali ke tanganmu, nak. Hanya saja kamu harus melatih diri untuk lebih dewasa, lebih bijak dalam berpikir, lebih fokus pula dalam bertindak. Berlatihlah, rebut kembali apa yang seharusnya kamu dapatkan."
"Berapa lama saya harus berlatih?"
"Jika tiga tahun kamu sudah mampu menguasai semua yang saya katakan, maka kembalilah. Arumi akan senantiasa menunggumu di pintu gerbang itu." Pak Wali Kota menunjuk lurus ke arah gerbang tinggi rumahnya.
"Saya mohon restu, Pak Wali Kota." Guntur mencium hormat tangan laki-lali itu.
Guntur kembali tersadar dari lamunannya. Ia tatap lekat wajah yang masih terlelap itu, menggenggam lengan dalam pelukan. Ia tak berani berbuat lebih terhadap gadis terkasihnya.
"Tunggu saya, Arumi. Tunggulah di pintu gerbang rumah itu. Saya akan kembali dan bersatu lagi denganmu. Seperti dulu, pada saat kita masih di Alam Langit. Kemana pun kita akan selalu bersama."
***Next ....