Chereads / Sudut Pandang / Chapter 18 - Kembali Pada Haknya

Chapter 18 - Kembali Pada Haknya

Laki-laki itu masih sibuk mengawasi pasukan militer yang berlatih di area lapangan pelatihan perbatasan antar negara. Semenjak mengalami pergesekan dengan negeri tetangga, nampaknya presiden mulai merasa perlu meningkatkan kewaspadaan akan serangan dadakan yang bisa terjadi kapan saja.

Dia jendral itu. Laki-laki yang berharap anaknya mampu menggantikan posisinya kelak. Namun, nampaknya keinginan itu sekedar harapan kosong semata. Pasalnya, Guntur, putra kebanggan satu-satunya sudah dalam menolak harapan atas keinginan yang tentu mulia adanya. Membela negara.

"Papa." Suara itu sontak membuat sang jendral menolehkan wajahnya pada sumber suara.

"Guntur." Ia bangkit, menadah kedua tangan menunggu anaknya berlari untuk kemudian memeluknya dengan bangga. "Akhirnya kami kembali, nak."

Pelukan hangat itu menyibakkan segala kekecewaan yang semula ada pada perasaan. Pada akhirnya, ia tahu pilihan putranya tidak akan salah.

Beberapa bulan yang lalu, sebelum adanya kejadian ini. Arumi sendiri memang sudah menyadari sesuatu ketika sang jendral itu mencurahkan segala isi hatinya atas kerinduan terhadap Guntur. Ia sendiri memang rindu akan kehangatan keluarga, tapi rasanya malu untuk mengakui.

"Guntur itu putra saya satu-satunya," ujar sang jendral pada pertemuan tanpa sengaja itu. "Saya rasa hanya kamu yang bisa membujuk dia untuk pulang. Tak perlu menjadi seorang tentara seperti yang saya mau, setidaknya dia mau pulang. Saya kesepian, terlebih setelah mamanya meninggal beberapa tahun yang lalu."

Arumi seperti tertampar dengan pernyataan itu. Ia tahu persis seperti apa pula yang dirasakan kedua orang tuanya pada saat itu. Jauh dari salah satu anggota keluarga bukanlah hal yang mudah untuk dilalui, terlebih jika komunikasi itu diputuskan begitu saja.

Akhirnya hati itu memilih untuk kembali pada kehangatan keluarga yang dirindukan. Sekarang, Guntur sudah berada dalam pelukan papanya dan menangis mengungkap segala kerinduan yang selama ini terpendam.

"Maafkan saya, Pa." Guntur terisak memeluk erat papanya.

"Papa yang minta maaf, nak. Selama ini telah memaksa dirimu untuk masuk ke dalam dunia yang sedikit pun kamu tidak menginginkannya."

Arumi yang berada di belakang Guntur menghadap sang jendral itu hanya dapat tersenyum sambil menyeka air matanya. Akhirnya, ia mampu mengembalikan kerinduan itu, berubah menjadi kehangatan yang tercipta.

"Arumi," ujar laki-laki itu, Jendral Guntara namanya.

Gadis itu tersenyum, sekali lagi ia menekan sudut matanya terharu karena mampu melakukan apa yang menjadi keinginan terbesar laki-laki itu.

"Papa mengenalnya?" tanya Guntur melorotkan pelukan itu.

"Dia gadis yang memotivasi Papa untuk dapat menerima keinginanmu."

Guntur menoleh. Ternyata ini sebab kenapa tak ada lagi raut garang dari wajah laki-laki itu.

"Di sini sedang ada sedikit kekacauan, ada kemungkinan Papa masih beberapa hari berada di sini. Mungkin sampai minggu depan, sampai segala urusan itu selesai."

"Saya mencari Papa ke Post utama di kota. Mereka bilang Papa ada di sini, makanya saya dan Arumi melanjutkan perjalanan untuk ke sini."

"Iya, Papa mohon maaf karena tidak dapat menjamu kalian dengan baik. Mungkin minggu depan kita sudah dapat pulang ke kota."

"Saya mau di sini, Pa. Turut menjaga keamanan negara."

Jendral Guntara menatap tidak percaya pada putranya. Ia memastikan jika itu bukan sekedar gurauan belaka.

"Kamu serius, nak?"

"Saya serius. Saya ingin menjadi tentara seperti Papa, selama tidak berkaitan langsung dengan presiden, itu lebih baik untuk saya."

Jendral Guntara mengernyitkan dahinya. "Kenapa? Bukankah jika kami berada di sisi presiden itu lebih aman ketimbang di sini?"

"Saya ingin langsung membela negara. Karena saya pikir keselamatan presiden tidak akan terancam selama beliau memerintah negara dengan baik seperti saat ini."

Jendral Guntara menepuk bangga pundak putranya. Ia tersenyum, meremas pelan penuh kehangatan.

"Terima kasih, Arumi. Kamu sudah mengembalikan permata saya satu-satunya."

Arumi hanya tersenyum dan mengangguk penuh hormat.

Ketiga orang itu sudah duduk saling menghadap pada sebuah meja bundar di belakang post menghadap hamparan lapangan memerhatikan para anggota tentara itu melatih fisik mereka. Tiga cangkir teh hijau sudah menemani sepiring camilan ubi goreng di hadapan mereka. Jendral Guntara memastikan kembali terkait dengan keputusan putranya itu.

"Nak, apa benar kamu mau bergabung menjadi seperti mereka?" tanya Jendral Guntara pada putranya.

Guntur menghela nafas panjang. "Sebenarnya, ada alasan lain yang membuat saya memutuskan untuk bergabung dengan mereka."

Hal itu sudah dapat diduga sejak awal kedatangan putranya yang secara mendadak itu. Namun, apapun itu alasannya, Jendral Guntara tetap menghargainya.

"Saya merasa kecewa pada diri saya sendiri, Pa."

"Kamu tak dapat menjaga orang yang kamu sayang kan?"

Guntur tersenyum. "Entah apa sebabnya, Papa selalu dapat menebak apa pun itu tentang diri saya."

Jendral itu sesaat merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi kayu yang menopang dirinya dengan kokoh. Wajahnya menengadah, menghadap ke atap kayu berlapis plafon warna putih.

"Itu juga alasan Papa kenapa tetap bertahan dalam kemiliteran ini. Dulu, mama___mu pernah berkata, 'dia akan sangat bangga jika Papa mampu menjaga kestabilan negri dengan jujur'. Hal itu pula, yang selalu memotivasi Pala selama ini."

"Pa ...."

"Hem?" Jendral Guntara kembali pada posisi semula.

"Apa saya lahir ... dengan membawa suara dentuman di atas langit?"

Sontak pertanyaan itu membuat Jendral Guntara terkesiap. Apa pun alasannya, istri sang jendral selalu melarang kejujuran atas hal itu. Mengingat jika Guntur akan dianggap sebagai pembawa kutukan untuk keamanan di bumi.

"Tidak," jawab Jendral Guntara singkat.

Rasanya tidak perlu lagi bertanya hal lain lebih banyak. Tujuan Guntur ke sini bukanlah untuk menanyakan hal itu, melainkan melatih diri agar kelak ia tidak menyusahkan Arumi lagi. Bagaimanapun, ia harus dapat kembali bersama Arumi menggunakan kujang kembar itu berdampingan menjaga Alam Langit dan bumi.

"Sekali lagi Papa tanya, apa kamu yakin dengan keputusan ini?" Kedua matanya menatap dengan lekat.

"Saya yakin, Pa."

"Kalau begitu, kamu harus memotong rambut ini. Kapan kamu bersedia?"

"Sekarang."

"Sekarang?"

"Iya."

"Baiklah."

Sang jendral memanggil salah seorang ajudannya untuk mengambilkan gunting dan pisau cukur yang akan digunakan.

"Ini." Jendral Guntara menyodorkan kedua alat itu pada Arumi.

"Saya?"

Jendral mengangguk hangat. "Kamu yang membawanya ke sini, makan kamu yang mempunyai hak ia mendapatkan pilihannya."

"Tapi ...."

"Arumi, saya hanya percayakan anak saya padamu."

Guntingan pertama itu ia genggam. Menghirup aroma rambut yang sudah harus Guntur buang sejak lama. Demi mampu melindungi Arumi dari ancaman pembunuhan Alam Langit, rasanya harus mati pun sangat sepadan.

"Arumi." Tangan Guntur lembut menggenggam jemarinya yang masih erat dengan helaian rambut itu.

"Jika kelak kamu memang harus membunuhku, lakukan saja. Asalkan kamu tetap bisa hidup dengan baik."

"Apa ini? Kita berada dalam negara yang sama. Sudah pasti akan berjuang pula di jalan yang sama. Bukankah sejak dari Alam Langit memang sudah ditakdirkan berdua?"

"Arumi, maaf jika ...."

"Sebentar ya." Ponsel itu berbunyi memotong pembicaraan antara Guntur dan dirinya.

"Ada apa, Nina?"

"Nona, anda ke mana saja? Tidak ada kabar sama sekali. Nona Aila mencari anda, beliau ingin memesan kembali gaun untuk pagelaran pesta ilang tahun stasiun televisi minggu depan."

"Nina, saya sedang berada di perbatasan."

"Perbatasan? Untuk apa anda berada di sana? Nona Aila meminta bertemu dengan anda di kediamannya malam ini."

"Tapi itu tidak mungkin. Saya hanya bisa pulang besok pagi. Lagipula hari sudah terlalu sore."

"Kamu bisa pulang sore ini," ujar Guntur turut menanggapi. "Elang bisa membantumu seperti waktu itu."

Ah, benar sekali. Namun, rasanya terlalu berat untuk mengungkapkan kata berpisah pada Guntur yang saat ini sudah mulai mampu mengusik hatinya.

"Baiklah, katakan pada Elang, jemput saya petang ini di pinggir hutan perbatasan."

Arumi memasukan kembali ponsel itu. Ini memang tidak biasanya Nona Aila meminta ia bertemu secara langsung si kediamannya selain pada tempat rekaman seperti biasa.

Namun, nampaknya memang ada hal lain yang perlu dibicarakan secara khusus.

Kepala itu sudah plontos, sengaja Guntur ingin menghabiskan rambutnya merubah diri menjadi pribadi yang lebih berguna.

"Arumi."

"Hem?"

Wajah mereka sudah saling berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Degup jantung itu terasa semakin cepat, menimbulkan desiran halus di sekujur tubuh

Jarak semakin dekat, nafas sudah semakin menyatu dengan lembut. Bibir itu sudah saling bersentuhan dan ....

Keduanya terbuai dalam permainan asmara yang mereka ciptakan sendiri.

Deru nafas menggebu, menidurkan tubuh itu dalam hamparan rambut yang baru saja terlepas atas paksaan gunting dan pisau. Arumi yang berada di atasnya tersenyum. Ini kali pertama ia dapat bersentuhan hingga kenikmatan itu ia rasakan.

"Kamu sudah harus pergi, Arumi. Saya sendiri yang akan mengantarkanmu ke wilayah hutan perbatasan."

"Tidak, saya akan pergi sendiri. Terlalu berbahaya jika jalan berdua."

Keduanya sudah kembali pada posisi duduk dengan baik. Guntur mengecup lembut pucuk kepala Arumi, ia peluk dengan hangat.

"Dulu, saya begitu sulit untuk mendapatkanmu." Kedua tangannya lembut membingkai wajah Arumi.

"Guntur, jaga dirimu baik-baik. Saya tunggu kamu di kota beberapa tahun yang akan datang."

Bibir itu kembali berpagutan dengan lembut. Tak ada nafsu berlebih di sana, selain hanya saling mencurahkan apa yang ada pada benak masing-masing.

"Laluna, keluarlah!"

Guntur begitu geli dengan gelang yang terus tak dapat diam itu.

Gadis itu tertawa geli, ia sudah membentuk wujud seperti manusia dan menggaruk malu tengkuknya.

"Tuan, bisakah nanti anda masukan aku dulu ke dalam sakumu sebelum saling berciuman?"

"Hus!" Guntur menepis wajah Laluna uang tampak memerah.

"Aku malu melihat kalian berdua bermesraan."

"Bocah nakal. Kenapa kamu tidak cari saja pasangan yang juga bisa menjadi pacarmu? Mengganggu saja."

Laluna terus tersenyum dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. " Aku malu. Kenapa pula wajahku harus memerah seperti ini?"

...

Hari sudah petang ketika Arumi mendaki perbukitan menuju pinggir hutan perbatasan untuk menunggu Elang di sana. Rasanya Guntur sendiri tidak begitu leluasa, sehingga ia memerintahkan Laluna untuk menemani Arumi menuju tempat itu.

Terjal perjalanan itu tak membuat Arumi gentar. Hingga terdengar suara rajawali sejak dari kejauhan itu seperti dikejar-kejar pula adanya.

"Elang? Elaaaannnggggg ...!" teriak Arumi sambil memberi tanda dengan senter di tangannya.

"Nona, sepertinya dia juga sedang dalam masalah," ujar Laluna.

***

Next ....