Guntur yang terbaring lemas itu memicingkan matanya. Tangannya erat menekan dada sambil ia berusaha untuk duduk. Dewa Astro berjalan menghampiri, ia pun duduk di samping Laluna.
"Ketika kalian di Alam Langit begitu sulit untuk bersatu hingga menimbulkan bencana besar untuk seluruh alam. Kini di bumi, sudah saatnya aku memperbaiki nasib kalian. Mengubah takdir langit untuk menjadi lebih baik."
"Tunggu, saya tidak sepenuhnya mengingat apa yang terjadi di kehidupan sebelumnya."
Pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya. Jauh dari peradaban manusia biasa layar tembok itu seperti tengah memutar film dokumenter di jaman setiap negara belum mendapatkan kemerdekaan.
Sepasang jendral muda yang memiliki talenta dan karakter kuat itu selalu bersama dalam setiap pertempuran, tentu dengan baju zirah yang sama pula. Selalu berpegangan tangan setiap kali kuda dipacu untuk terbang, melayang memimpin pasukan besar Alam Langit menuju Medan pertempuran.
"Itukah saya?" Guntur menunjuk sesosok pria dengan baju zirah yang tampak gagah berwajah persis seperti dirinya.
"Benar, jendral."
"Itu ... Arumi?"
"Benar. Kalian memang ditakdirkan berjodoh sejak awal. Anda lihat ribuan cahaya itu?"
Pak Wali Kota dalam wujud Dewa Astro itu menunjuk kilauan cahaya yang keluar dari kujang dalam genggaman Aurora.
"Iya."
"Apa anda pun melihatnya pada kejadian di Goa Buntu?"
"Ya."
"Benda itu bernama kujang kembar. Mereka berpasangan. Salah satunya adalah yang digunakan Nona pada saat melawan Burong." Sesaat Dewa Astro menghela nafas. "Bahkan, aku baru tahu jika benda itu ternyata masih melekat padanya," gumam Dewa Astro.
"Lalu, yang satunya lagi?"
"Itu milik anda. Kujang yang anda miliki akan mengeluarkan suara guntur yang hebat. Bahkan jika berpadu dengan cahaya aurora sang Dewi, itu akan lebih dahsyat lagi efeknya."
"Di mana benda itu?"
"Sayangnya, benda itu sudah hilang semenjak sang Dewi menghancurkan diri. Anda sendiri yang menghilangkannya."
Guntur menarik nafas panjang. Ia duduk bersandar sambil menengadah ke arah atap kamar itu. "Mungkin memang lebih baik seperti itu. Daripada akhirnya saya membuat celaka banyak orang."
"Tuan, apa anda masih ingat wanita itu?" Dewa Astro menunjuk seorang wanita cantik dengan mahkota kecil di kepalanya.
"Nona Aila?"
"Bukan. Itu Selir Namia."
"Selir Namia?"
"Ya, dia merupakan selir kesayangan Kaisar Langit."
"Lantas, apa hubungannya dengan saya?"
"Beberapa tahun sebelum anda dituduh sebagai pemberontak oleh Kaisar, wanita inilah yang mengabarkan hal itu dengan membuat hembusan berita jika anda menyukai sang putri hanya karena ingin merebut tahta Kaisar."
"Kenapa seperti itu? Apa salah saya padanya?"
"Anda tidak bersalah. Hanya saja ... pasukan yang anda lawan adalah ...."
"Pasukannya? Dia sendiri yang merencanakan penyerangan kemudian dia akan menduduki tahta pada saat kerajaan langit terkalahkan. Begitu? Licik sekali."
"Tebakan anda benar, Tuan."
"Jahat sekali. Bahkan dia sekarang mengikuti kami turun ke bumi."
"Dan itu masalahnya. Obat yang dibubuhkan Nona telah membuat identitas Nona terbongkar."
"Celaka, dia akan membunuh Arumi juga?"
Dewa Astro mengangguk.
"Tidak tercapai di Alam Langit, maka akan berusaha di sini."
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Selir Namia turun ke bumi berdasarkan tanpa ijin alam langit. Maka seluruh kekuatannya tidak dapat digunakan di bumi."
"Jadi ...."
"Ya, jika dia tidak dapat menghasut Raja Petir yang kali ini menjadi suaminya, maka ia akan melakukan jalan lain. Termasuk menjalin kerja sama dengan Alam Neraka."
"Iblis semalam?"
"Anda hanya sekedar umpan, Tuan "
"Tunggu, sebelumnya dia selir Kaisar Langit, kemudian sekarang menjadi selir Raja Petir juga?"
"Selir Namia memiliki ilmu pemikat sukma. Sehingga mudah bagi ia untuk mendapatkan siapa saja yang menjadi incarannya."
Dewa Astro rengkuh sebelum akhirnya ia berubah kembali menjadi wali kota karena seseorang memanggilnya dari luar.
"Papa," ujar seorang wanita yang tak lain adalah istri wali kota.
"Papa di sini," jawab Pak Wali Kota seraya membukakan pintu.
"Sedang apa Papa di ...."
Ucapan Nyonya Bakhtiar terhenti pada saat melihat ada sosok perempuan di belakang suaminya. Namun, pikiran buruk itu seketika menjadi jernih karena ada sosok Guntur pula yang tergolek lemas di atas tempat tidur.
"Itu bukannya ...."
"Iya, ini putra teman Papa yang tentara itu."
"Hm ... tubuhnya terluka, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?"
"Tidak apa, Tante. Sebentar lagi juga pulih."
"Kenapa bisa jadi seperti itu?"
"Dia mengalami merampokan semalam, beruntung Papa keburu datang." Pak Wali Kota menjelaskan.
"Oh, baru beberapa hari lalu kejadian yang sama terjadi di depan rumah kita. Kini sudah ada lagi korbannya. Gak kapok-kapok ya mereka?" Sesaat terhenti. "Oh, iya. Arumi sudah menunggu di meja makan. Dia juga terlihat pucat. Agak sakit nampaknya. Mama suruh istirahat, dia tidak mau. Katanya sedang menunggu Guntur sadar. Di sini rupanya."
Nyonya Bakhtiar menyibak tirai kamar itu membiarkan sinar mentari pagi dengan malu-malu memasuki ruangan.
"Ngomong-ngomong, kapan kalian sampai ke sini? Bukannya semalam hanya Nina dan gadis ini yang datang?"
"Kebetulan Arumi semalam juga ke sini. Katanya kepalang rindu sama Mama."
"Oh ... segeralah bersihkan diri, kita sarapan sama-sama."
Nyaris saja. Beruntung tidak ada sedikitpun kecurigaan dari wajah Nyonya Bakhtiar meski ketiganya terkesan kaku.
Di hadapan hidangan yang begitu banyaknya, Arumi hanya menatap kosong mengingat pada kejadian semalam tanpa ia ingat seperti apa kelanjutannya hingga dirinya bisa sampai ke rumah ini dan seluruh tubuhnya terasa sakit.
Apa itu hanya mimpi? Terbang dengan menunggangi rajawali raksasa serta melawan sesosok makhluk menyeramkan itu hingga terasa gelap semuanya.
"Guntur dan pacarnya sebentar lagi turut bergabung dengan kita," ujar Nyonya Bakhtiar yang datang bersama suaminya.
"Itu bukan pacarnya, tapi asistennya," jawab Pak Wali Kota sambil duduk di kursi utama.
"Dari mana Papa tahu?" Nyonya Bakhtiar menyiapkan piring untuk suaminya.
"Mama tahu siapa yang mengirim buket bunga besar untuk putri kita tempo hari?"
"Hem?"
"Itulah dia ... penggemar setia Arumi."
"Oh ... haha, Mama baru faham sampai di sini. Baguslah, mendapat menantu keturunan jendral, Mama rasa tidak buruk."
"Sangat baik." Melirik ke arah Arumi yang masih terdiam dalam kebingungannya.
"Ngomong-ngomong, kemana Elang dan Nina?" tanya Pak Wali Kota.
"Mereka katanya sedang ada urusan sebentar."
Mata yang semula menatap kosong itu tiba-tiba tertarik perhatiannya atas kedatangan Guntur yang dibopong Laluna untuk turut duduk dan menikmati sarapan pagi mereka.
Tidak banyak bicara, selain hanya menatapnya saja, memastikan jika keadaan Guntur baik-baik saja. Arumi tak juga meraih makanannya sebelum ia melihat Guntur menoleh ke arahnya.
Wajah sayu itu tersenyum, Guntur mengangguk ke arah Arumi memastikan jika dirinya baik-baik saja. Barulah merasa lega, Arumi meraih sarapan paginya.
Ada yang mengejutkan memang dari tayangan TV pagi itu. Mereka yang mengalami malam panjang tentu merasa tegang dengan tayangan berita pagi yang mengabarkan kondisi rumah Guntur hancur tak beratap.
Celaka!
Malam itu ada banyak warga melihat dan menyoroti Burong yang mencengkeram Guntur lalu terbang melewati atap itu. Bagaimana jika rekaman itu ditayangkan? Semua akan menjadi heboh dan mengalami ketakutan.
Beberapa warga sebagai saksi mata dimintai keterangan atas kejadian itu, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mengaku mengetahui apa sebab kehancuran rumah itu.
"Aneh, atap rumah bisa roboh begitu saja tanpa sebab," ujar Nyonya Bakhtiar.
Keempat orang di ruangan itu selain Nyonya Bakhtiar saling melirik heran. Seharusnya berita semalam itu sudah beredar dan menghebohkan pagi ini, tapi ....
Mungkin ini perbuatan Elang. Dia sudah menghilang sepagi ini untuk apa lagi jika bukan membereskan kekacauan di luar sana?
"Kalian makanlah, nanti setelah ini boleh beristirahat lagi. Jangan terlalu lelah hari ini," ujar Pak Wali Kota mencairkan suasana.
"Saya mau lanjut pulang aja, Om." Perlahan Guntur melahap makanannya.
"Lho, kenapa? Itu tubuh nak Guntur masih lemas begitu. Tak apa nanti Tante yang urus kamu di sini. Bukannya yang roboh itu rumah kamu? Nanti mau di mana tinggal?"
"Emh, kalo Guntur keberatan ada saya di sini, biar nanti saya yang pulang," ujar Arini mengalihkan pandangannya ke arah lain di mana terdapat berita pagi dalam tayangan TV.
"Tidak apa, Nona. Kami tidak keberatan ada Nona. Hanya saja ... Tuan takut akan terlalu merepotkan," ujar Laluna manambahkan.
"Tidak apa-apa," jawab Pak Wali Kota. "Kamu anak dari sahabat saya, sudah sepatutnya saya juga jaga kamu. Biar kalian di sini sampai keadaan membaik."
"Keadaan membaik, Pa? Maksudnya?" Nyonya Bakhtiar mengerutkan dahinya.
"Maksud Papa sampai proses renovasi rumah Guntur selesai."
Seiring dengan pagi yang dilewatkan dengan penuh ketegangan di ruang makan itu, di tempat lain Nina hanya terdiam pada saat Elang sudah kembali duduk di sampingnya menghadap kemudi.
"Makhluk apa kalian sebenarnya? Tidakkah terlalu berbahaya jika berada di samping Arumi?"
Elang tersenyum kecut. Ia injak pedal gas untuk melajukan kendaraan itu setelah menyelesaikan proses tutup mulut para warga sekitar yang menjadi saksi mata atas kejadian semalam. Memang terbilang mudah, cukup mengeluarkan uang tutup mulut supaya mereka dipastikan tak banyak bicara. Jika saja ada yang melanggar, dia akan tahu sendiri akibatnya.
"Jelaskan padaku! Makhluk apa kalian sebenarnya?!"
"Makhluk seperti apa yang kau lihat. Apa kau takut pada kami? Aku dan ular kecil itu?"
"Saya syok melihat sosok kalian berdua. Sosok lain dari raksasa itu, oh ... yaampun." Nina meraup wajahnya. "Dunia seperti apa yang saya hadapi saat ini?"
"Kami datang hanya untuk menjalankan misi. Melindungi Nona dan Tuan Muda."
"Omong kosong macam apa itu? Kalian datang bukan untuk melindungi, tapi hanya akan memberikan masalah kepada mereka, kepada kami makhluk bumi yang tidak tahu apa-apa kemudian harus terlibat masalah karena kalian berdua!"
"Bahkan kau akan lebih terkejut lagi apabila melihat sosok Nona yang sebenarnya." Elang tetap pokus pada laju kemudi, sesekali menekan klakson karena terdapat beberapa pelanggar lalu lintas.
"Apa? Kamu menggambarkan sosok Arumi itu sama seperti kalian? Ayolah, saya tahu dia sejak kecil."
"Kau tak pernah tahu siapa dia di kehidupan sebelumnya. Yang kau lihat hanya dari segi pakaiannya, tanpa tahu jiwanya."
Nina benar-benar syok, ia sendiri menekan kepalanya yang terasa begitu berat karena kejadian tidak masuk akal terjadi akhir-akhir ini. Bahkan sejak dua tahun yang lalu, Arumi heboh dengan pembicaraan bagaimana ia dapat mendengar bunga dan binatang bercengkrama layaknya manusia.
Jadi itu bukan sekedar omong kosong belaka?
Ponsel Nina berbunyi, sebuah nama tertulis memanggilnya di sana.
"NONA AILA."
***
Next ....