"Katakan, apa yang ingin anda tanyakan, Nona?" Kedua mata itu menatap lekat pada iris Nona Aila yang juga menatapanya lekat. Arumi seperti menahan nafasnya, takut jika pertanyaan itu justru membuat ia kaku dan kelu.
"Apa hubunganmu dengan Alam Langit?"
Benar. Sudah Arumi duga sejak awal. Kalimat Alam Langit itu seolah menjadi hantu yang terus mengikuti kehidupannya. Ia sendiri tidak begitu yakin dengan apa yang terlintas dalam pikirannya, tapi .... haruskah pertanyaan bodoh itu dijawab?
"Pertanyaan konyol apa ini?" Arumi mengernyitkan dahinya, kedua alis itu saling bertautan. "Kenapa begitu banyak orang yang membahas tentang Alam Langit?"
"Bukan seperti itu, maksud saya ...."
"Nona, seorang gadis mencari anda."
Kalimat Nona Aila terpotong dengan kedatangan Nina yang memberitahukan perihal lain di luar sana. Ternyata Laluna adanya. Gadis itu sudah berdiri tegak di depan gerbang masuk sambil terus berurai air mata.
"Kenapa kamu tidak persilahkan dia untuk masuk?" ujar Arumi pada Nina."
"Saya sudah menyuruhmya masuk, Nona. Tapi dia menolak dengan alasan tidak akan lama."
Arumi bergegas menghampiri Laluna yang masih berdiri tegak di depan sana. Seketika Nona Aila beserta sang asisten pun turut pamit untuk pulang, rasanya mungkin lain kali mereka bisa berbincang lagi. Mungkin ini bukanlah saat yang tepat untuk mempertanyakan hal itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Arumi pada Laluna yang kini sudah berganti posisi menjadi berlutut. "Bangunlah."
"Nona, Tuan ... Tuan Muda ...."
"Tuan Muda Siapa?"
"Tuan Muda Guntur."
"Guntur? Ada apa dengannya?"
"Nona harus ikut saya sekarang juga. Tuan dalam bahaya."
Arumi sudah bergegas hendak pergi ketika tiba-tiba Elang menahannya.
"Nona, jangan pergi."
"Kenapa?"
"Wanita ini penuh tipu muslihat."
"Ah, kamu jangan terlalu berburuk sangka pada orang lain, mungkin saja dia benar."
"Nona, percayalah. Ini tidak seperti yang anda bayangkan. Dia ...."
"Nona, Tuan Mudah Guntur membutuhkan anda saat ini. Dia, dia ...." Laluna terus menangis.
"Nona, jangan." Elang tak henti mencoba untuk mencegahnya.
"Saya tak tahu kenapa kamu begitu banyak mengatur hidup saya. Tapi ini menyangkut dengan nyawa seseorang, mungkin saja Guntur sedang dalam bahaya."
"Nona, aku katakan sekali lagi, jangan. Dia akan membunuh anda."
Agak sedikit ragu. Arumi yang semula bersemangat itu tiba-tiba nyaris mengurungkan niatnya bila saja Laluna tak segera membujuk dengan segala kata-kata yang diucapkannya.
"Nona, seharian ini Tuan Muda Guntur menangis sepanjang turun hujan. Hamba temukan beliau tak lagi sadarkan diri, beliau hanya mengurung diri di kamar." Laluna memelas.
"Bagaimana kau bisa tahu dia tak sadarkan diri jika kamarnya terkunci?" tanya Elang menyelidik.
"Sepanjang hari hamba selalu melingkar di lengannya, tentu saja akan tahu hal itu."
Benar juga. Mungkin ini saatnya Arumi harus sedikit percaya dan memastikan apa yang terjadi. Bagaimana pun, akhir-akhir ini setiap yang bersangkutan dengan Guntur memang kerap membuat Arumi merasa tidak enak hati.
Tapi ... ada yang aneh, bau gadis ini seperti ....
"Kamu siluman!" seru Arumi. "Tadi kamu bilang melilit di lengan Guntur sepanjang hari. Berarti kamu siluman kan?" Arumi mundur, ia bersembunyi tepat di belakang Elang bersama Nina.
"Nona, aku memang melilit menjadi gelang perak di lengan Tuan Muda, tapi aku bukan siluman, aku hewan spiritual, sama seperti dia yang berada di hadapanmu."
Arumi dan Nina sama-sama menatap ke arah Elang yang mengeraskan rahangnya. Laki-laki itu sudah siap menyerang, jika saja Laluna tak segera mengatakan sesuatu.
"Aku tahu penyebab sakit hatimu dulu karena aku, Elang. Tapi aku juga terpaksa melakukan itu, semua bukan mauku!"
"Tutup mulutmu! Kau bahkan sudah beberapa kali nyaris membuatku terbunuh!"
Arumi dan Nina semakin tidak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan.
Sebelumnya, pada saat di Alam Langit. Laluna si ular itu pernah menaruh hati pada Elang yang ketika itu masih memiliki hubungan dengan Merpati. Atas perasaannya, Laluna terjebak dengan permainan Selir Namia yang menawarinya kesepakatan atas klan ular yang mengalami masalah pada saat itu.
Para ular itu berada di bawah tekanan Kaisar Langit karena telah dianggap sebagai pemberontak ketika tidak mau ikut serta dalam perang melawan Negara Api atau Alam Neraka di Kota Api. Mereka hanya ingin hidup damai tanpa harus mendapat perselisihan dengan siapa pun. Sayang, hal itu justru membuat klan ular terancam dimusnahkan dari Alam Langit. Begitulah berita yang dihembuskan Selir Namia pada waktu itu
"Aku tahu kau menyukai pemuda itu kan?" ujar Selir Namia pada waktu itu ketika memergoki Laluna yang selalu mencuri pandang menatap Elang.
"Ampun, Selir. Hamba tak bermaksud untuk merusak hubungan Tuan Putri dan Elang. Hamba hanya mengaguminya saja, tidak ada niat untuk berkhianat." Laluna rengkuh sambil berlutut di hadapan Selir Namia.
"Kau salah, justru aku ingin kau memisahkan Merpati dan pengawal kecil itu."
"Hah?"
"Aku ingin Merpati mendapat jodoh yang lebih baik, memiliki pangkat yang lebih tinggi. Bukan hanya seorang pengawal kecil seperti pemuda itu." Angkuh, Selir Namia mengangkat wajahnya.
"Tapi ... ampun, Selir. Hamba tidak bermaksud untuk membantah, Hanya saja, hamba juga tidak mau merusak persahabatan hamba dengan Tuan Putri dan Elang."
"Lalu bagaimana dengan klan ularmu?"
Laluna mengangkat wajahnya, memberanikan diri untuk menatap wajah yang tak sedikitpun menoleh padanya itu.
"Tapi Gusti, kenapa anda melakukan hal ini? Kenapa anda harus menjadikan klan ular sebagai jaminan?"
"Hem, aku tahu apa yang terjadi pada seluruh klan ular sekarang." Selir Namia merubah posisi untuk berdiri dan melipat tangannya di dada dengan angkuh. "Kaisar Langit mengancam akan memusnahkan mereka semua dari Alam Langit, karena dianggap sebagai pemberontak atas penolakan terlibatnya perang melawan Raja Iblis di Kota Api. Dan hanya aku yang dapat berbicara dengan Kaisar untuk membujuknya membebaskan klan ularmu. Bahkan, Permaisuri saja tidak sepandai aku dal berbicara."
"Apa? Benarkah itu?"
"Kau sendiri tidak tahu akan hal itu?"
Laluna menggeleng lemas. Ia sendiri tidak tahu bagaimana nasib semua klannya itu di luar sana. Laluna benar-benar bingung, ia tidak dapat berbuat apa-apa.
"Hah! Menyedihkan sekali!"
Selir Namia berlalu tanpa menoleh sedikit pun ke arah Laluna. Ia sendiri yakin, cepat atau lambat pada akhirnya Laluna akan menyetujui kesepakatan itu. Nasib klan ular saat ini tengah berada di ujung tanduk. Samar pandangan itu mengabur, Laluna tak sanggup membayangkan bagaimana nasib para ular itu jika harus dimusnahkan seluruhnya.
Hingga ia sendiri pada akhirnya menyetujui kesepakatan itu. Memilih untuk mengkhianati persahabatan karena harus memilih untuk mempertahankan salah satunya. Persahabatan atau keselamatan klan.
Pada saat itu atas bantuan Laluna sendiri, pasukan dipimpin sendiri oleh Selir Namia untuk mengepung dan membunuh Elang karena dianggap telah menculik dan hendak membawa kabur Tuan Putri Merpati. Dengan ganasnya pedang berapi itu mengibas kian kemari, nyaris menusuk tepat di tenggorokan Elang jika saja ia tidak mengelak.
Seluruh pasukam burung pemangsa itu siap membunuh Elang yang terbang semakin menjauh meninggalkan Merpati yang menyusul di belakangnya. Sebenarnya ia ingin membawa Merati pergi, tapi mengingat keadaan sangat berbahaya, maka keputusan terakhir adalah meninggalkannya.
Di depan sana, sudah berdiri dengan tegak dua orang jendral kepercayaan Kaisar Langit bersama pasukan yang ternyata datang untuk menyelamatkan Elang dari bahaya. Aurora tegak dengan senjata andalannya bersama Guntur, dua kujang kembar terjulur hingga sampai setinggi tubuh mereka berdua.
Kujang kembar bermata rubi yang kerap menjadi ketakutan para musuh Alam Langit itu seakan membuat bergidik ngeri bagi siapa saja yang melihatnya. Pasalnya, benda pusaka turun temurun itu selalu membunuh korbannya dalam sekali tebas hingga tak segan menggelindingkan kepala musuh.
Cahaya aurora yang menyilaukan langit seiring gemuruh suara guntur itu seolah menjadi pertanda jika kedua Jendral Langit tengah mengalami pertempuran yang hebat.
Dan kini keduanya berdiri, tepat di hadapan pasukan Selir Namia yang berusaha membunuh Elang.
"Aurora? Guntur? Kenapa kalian bisa membawa pasukan ke sini?" Rasa panik itu mulai menjalar. Selir Namia mulai gelagapan menahan pasukannya.
"Ibunda? Kenapa bertanya demikian? Tentu hamba berdua beserta ribuan pasukan di belakang sana baru pulang dari pertempuran. Apakah Ibunda lupa akan hal itu?" jawab Aurora pada ibu tirinya.
Sialan!
Kenapa Namia bisa lupa akan hal itu? Sudah pasti pasukan Kaisar Langit pun akan menyusul di belakang. Celaka! Ia harus segera menarik mundur pasukannya.
"Kau hanya sedang beruntung hari ini," ujar Namia sambil menatap tajam pada Elang.
Elang memejamkan matanya rapat ketika mengingat kejadian itu. Hatinya terasa pedih, itu adalah awal kehancuran hubungannya bersama Merpati.
"Elang, percayalah aku terpaksa melakukannya, klan ular pada waktu itu sedang berada dalam bahaya. Mereka terancam dimusnahkan Kaisar Langit karena tidak mau ikut perang di Kota Api, kami dianggap pemberontak!"
"Kau seharusnya tahu bahwa itu sekedar akal bulus Selir Namia. Selama ini klan kalian memang tidak pernah ikut perang dan Kaisar Langit tidak pernah mempermasalahkan itu!"
"Aku yang bodoh, aku minta maaf." Laluna bersujud di hadapan Elang dengan air mata berderai. Meski ia tahu sendiri, bukan hal mudah bagi Elang untuk memaafkan kesalahannya di masa lalu.
Arumi dan Nina saling melirik tidak mengerti. Antara Alam Langit, Selir Namia, Kaisar langit. Keduanya benar-benar tidak faham akan hal itu.
Namun, melihat kesungguhan Laluna, rasanya Arumi tidak perlu lagi ragu turut pergi bersama gadis itu untuk menemui Guntur yang mungkin saja memang benar tengah berada dalam bahaya.
...
Di kamar itu, Kondisi masih gelap tanpa penerang semenjak hari memasuki malam. Guntur mengurung diri, bahkan ia bersembunyi di bawah selimut tebal merasakan dingin yang teramat sangat dengan keringat yang tak hentinya mengucur deras.
"Sakit sekali, sakit aarrgghh ...!"
Guntur terus meraung sambil tak mau diam ia berguling-guling.
"Saakiiitttt ...!" jeritnya.
Seluruh tubuhnya terasa disayat-sayat setiap kali ia beru menghadapi kesedihan di saat hujan badai penghujung September setiap tahunnya.
"Saakkiiittt ...!" Guntur mencengkeram kuat kepalanya. Terdengar pula suara gigi gemerutup.
"Guntur, kamu ada di dalam?" Terdengar suara Arumi memanggil dari luar kamar.
Jika orang yang tidak faham, mungkin mereka akan mengira jika Guntur mengalami ketergantungan obat-obatan terlarang. Namun, pada kenyataannya bukanlah seperti itu.
"Guntur, buka pintunya!"
***
Next ....