Elang benar-benar tercekat mendengar itu. Arak yang semula dapat direguk dengan mudah, serasa membatu dan tenggorokan itu kehilangan rongga.
"Selama ini kami memiliki kamar masing-masing. Bahkan ia sendiri tak sudi satu ruangan denganku."
Elang meletakan cawan yang semua dalam genggamannya. Memaksakan diri untuk menelan cairan sari bunga lotus itu.
Senyum itu mengembang dengan terpaksa, memperbaiki posisi duduk untuk tampak lebih nyaman dalam percakapan yang sudah dipastikan penuh keseriusan itu.
"Pangeran terlalu memuji. Masalah yang menimpa rumah tanggamu, tidak ada hubungan apa-apa dengan hamba."
Aslan tersenyum, sikutnya sigap menekan salah satu lutut. "Mungkin bagimu seperti itu, tapi aku tahu sendiri apa alasan utamamu datang ke sini. Tentu karena ada maksud tertentu bukan?"
Skak mat!
Elang kembali tercekat hingga kentara di raut wajahnya. Namun, ia tak serta-merta meneruskan ekspresi bodoh dan memalukan itu.
"Haha, alasan utama hamba ke sini hanya untuk menenangkan pikiran di antara dahan pinus di hutan itu. Sayangnya, para hewan penjagamu itu menyerang hamba, sehingga memaksa hamba untuk melawan."
"Haha, aku harap kau tidak ambil hati dengan perilaku mereka. Mungkin karena penampilanmu seperti ini, mereka sangka kau adalah bagian dari manusia yang membuat kericuhan di hutan tempo hari."
Elang tersenyum kecut, kembali mereguk arak pada cawan di genggaman. "Aku kira hidung para siluman ataupun makhluk ghaib itu teramat sensitif, tapi ternyata anggapanku salah."
"Haha, kau memang pandai merangkai kata yang menyakitkan."
"Hamba tidak berani."
"Langsung saja, aku ingin kau membuat dia mampu menerimaku sebagai suaminya."
"Kuncinya ada pada Pangeran sendiri. Tergantung bagaimana cara Yang Mulia menghadapinya."
"Aku? Aku sudah berusaha sebaik mungkin. Melakukan apa yang aku bisa."
"Memberi pengertian seperti apa yang Pangeran lakukan?"
"Membuatkan kamarnya sendiri di dalam kamarku. Kami berada pada ruangan terpisah, sesuai keinginannya."
"Itu kuncinya."
"Maksudnya?"
"Tidak setiap keinginan Tuan Putri harus Pangeran penuhi. Sebagai seorang suami, seharusnya Pangeran juga punya ketegasan."
"Ketegasan seperti apa yang kau maksudkan?"
"Pangeran mempunya negeri yang begitu subur makmur serta rakyat yang sejahtera. Tentu tidak terlepas dari bagaimana cara Pangeran memerintah mereka bukan?"
"Maksudmu, aku harus menegakan hukum keras juga untuk istriku sendiri?"
"Tepat sekali. Tetapi ini bukan berkaitan dengan cambuk ataupun alat hukum lainnya."
"Lalu?"
"Ini berkaitan dengan ketegasan hati Pangeran sendiri."
Mungkin ada benarnya dengan apa yang diucapkan pengawal kecil di hadapannya itu. Aslan seketika mengingat betapa lemah benar hatinya jika sudah berkaitan dengan keinginan Merpati. Harusnya sejak awal ia tegas, harusnya sejak awal Aslan mampu menentukan sikap atas dirinya pada Merpati. Itu kesalahan utamanya selama ini. Hingga kini pada akhirnya ia tertampar oleh pendapat seorang pemuda yang pada awalnya ia anggap sepele itu.
"Jujur, hamba tidak pernah bermain-main dalam menentukan sikap. Termasuk hari ini, hamba ingin memutuskan ikatan yang selama ini menjadi belenggu antara kami berdua, yang justru menjadi duri dalam rumah tangga Pangeran."
Aslan menghela nafas panjang, ia merubah posisi menjadi bersandar pada kursi berbahan jati berukir dengan warna khas pembawaannya.
...
Tepat di belakang taman istana. Tuan Putri Merpati hanya berdiri menatap hamparan taman bunga yang ia rawat selama ini dengan segala ketelatenannya menghasilkan taman yang cantik untuk dipandang mata.
Ia menoleh, mendengar derap langkah sepatu kulit menginjak kerikil yang menjadi alas kaki menutupi tanah membentuk jalan setapak di antara hamparan taman itu.
"Aku tahu kau pasti akan datang untuk menjemputku. Bagaimana kabar Kakak Aurora di bumi?" Ia yang berbaju putih itu tersenyum, menyeka air matanya penuh haru.
"Anda salah, Tuan Putri. Hamba datang bukan untuk menjemputmu."
Pedih, hati Merpati serasa terhantam batu dengan kekuatan jutaan kilo gram mengoyak perasaannya. Air mata itu luruh tanpa ia minta, sedangkan Elang memilih berpaling ke arah lain, tak sanggup pula untuk menatap pilu.
"Kenapa kau seperti ini? Bukankah dulu kita pernah berjanji jika selamanya akan bersama? Kau sendiri yang mengucapkan itu di bawah pohon sakura ketika rintik hujan turun."
Elang tersenyum ketir. "Itu sekedar guyonan masa lalu, kita pun masih sama-sama remaja dan belum mengerti apa-apa. Jangan pernah mengingatnya lagi."
"Apa? Guyonan? Apa kau sadar telah menyakiti hatiku?" Merpati berdiri dan menghampiri Elang, menatap kedua bola mata dengan iris yang sendu, tak ada sedikitpun raut penyesalan dari wajah Elang atas ucapannya barusan.
"Kau memang ...." Tak sanggup lagi Merpati untuk meneruskan.
Wajah itu terlihat kian layu. Tapi ini satu-satunya kesempatan bagi Elang untuk melepaskan diri dari perasaan yang tak semestinya itu.
Dia yang cantik, dia yang lembut, yang selama ini menjadi impian dari segala mimpi dalam hidupnya. Sudah tiba saatnya bagi Elang untuk membuang semua itu. Membuang semua yang semestinya sudah sejak lama ia buang.
Dia milik orang lain, sudah menjadi hak orang lain. Tidak ada lagi celah bagi Elang untuk mengusahakan sesuatu yang hanya memberi jawaban sia-sia dan menyakitkan.
"Tuan Putri, hamba permisi."
Elang berlalu setelah sebelumnya ia memberi anggukan tanda hormat pada wanita yang baru saja ia lepas pengikatnya. Membiarkan anggapan kurang ajar itu melekat begitu saja karena sebuah janji yang terpaksa harus ia ingkari sendiri.
Janji tinggalah janji, selalu bersama tak lagi dapat terlaksana. Elang melangkah ringan tak sedikit pun melirik meski ia sendiri tahu Merpati tengah menunggu hal itu. Wanita yang ia lepas tengah menunggu Elang menoleh, berbalik dan memeluknya untuk pergi bersama meninggalkan tempat yang bagaikan sangkar berlian bagi Merpati. Namun, itu hanya harapan sia-sia. Faktanya Elang semakin jauh melangkah, bayangan punggungnya telah lenyap ditelan gelapnya malam.
...
Pagi sekali, Arumi sudah duduk pada ayunan menikmati taman dengan semangkuk sereal tengah dilahapnya. Beberapa bayangan berselancar pada ingatan dimana ia bermimpi tengah berada di ruang luas nan hamparan savana di atas puncak gunung yang tinggi waktu itu.
"Elang dan Nina ... kenapa mereka bisa ada dalam mimpi itu?"
Tempat duduk bergagang tergantung itu bergerak seiring dengan kaki yang mendorong dan menariknya. Sedangkan matanya kini entah ke mana arah ia menatap.
Ponselnya berdering, ia menoleh dan melihat nama Nona Aila tertera pada layar pipih hologram itu.
"Ada apa dengan wanita ini? Apa dia menginginkanku untuk menjenguknya?"
"Ya? Arumi di sini."
Sesaat tak terdengar apapun selain hening dan suara mesin tanda detak jantung yang entah apa namanya itu sebagai irama paling memilukan. Pada awalnya memang Nona Aila terlalu percaya diri atau bahkan mungkin kesombongan itu memang terlalu kuat adanya.
"Hallo?" Arumi berusaha memastikan jika itu benar Nona Aila adanya. "Nona, Nona apa anda di sana?"
Secara tiba-tiba rasa khawatir itu menyerang benaknya. Segera Arumi bangkit dan bersiap diri untuk berangkat ke rumah sakit di mana tempat Nona Aila dirawat. Takutnya memang tengah ada masalah dengan wanita itu, tapi apa?
Beberapa menit perjalanan bersama Nina juga Elang. Mereka sudah sampai di depan gedung rumah sakit untuk segera menuju ruangan di mana Nona Aila mendapat perawatan intensif.
Wanita itu tergolek lemas dengan perban membalut nyaris seluruh tubuhnya membentuk mumi. Ia tampak menoleh ke arah Arumi, seolah ingin meminta maaf atas sikapnya tempo hari yang menyepelekan setiap peringatan Arumi padanya. Seharusnya sejak awal ia percaya, sehingga tidak terjadi tragedi yang kini merenggut kecantikannya itu.
Tampak Air mata itu mengalir melaluli sudut mata Nona Aila. Wanita itu menatap Arumi tanpa kata. Siapa sebenarnya yang menghubungi Arumi tadi? Tak terlihat pun ponsel berada di samping Nona Aila.
Hingga seorang suster datang menghampiri Arumi karena ada yang tengah menunggunya di luar kamar.
"Dia mau menemui Nona di taman tanpa ada yang mengikuti," ujar suster itu berbisik pada Arumi.
"Siapa?"
Suster itu menyodorkan kartu nama yang tertera di sana nama wanita dengan tujuh pengawal gadis berpakaian warna-warni itu.
Arumi hanya mengangguk. Mungkin memang lebih baik ia temui terlebih dahulu.
Dewi Pelangi sudah berdiri di atas hamparan taman kosong rumah sakit dengan penampilan yang sangat modis. Ia tersenyum melihat kedatangan Arumi.
"Aku dengar penyanyi yang membatalkan pesanan gaun itu sekarang sedang membutuhkan obat untuk mengobati luka bakarnya."
Ya, memang Arumi sendiri sebelum menuju ruang perawatan Nona Aila sempat mendengar percakapan dari beberapa dokter ahli jika luka Nona Aila sangat mustahil untuk disembuhkan. Arumi pun hanya dapat melihat kondisi Nona Aila dari balik kaca lebar menjadi penyekat ruangan itu.
"Iya, nampaknya seperti itu, Nyonya."
"Aku mempunyai sebuah obat setiap luka yang mungkin bisa kau pakaikan untuknya."
"Benarkah?" Kedua mata Arumi berbinar. "Tapi ...." ujarnya kemudian.
"Pakaikan saja. Ini obat terbaik di seluruh dunia. Kau cukup mengoleskannya saja pada semua luka di tubuh Aila, nanti secara ajaib lukanya akan sembuh." Menggenggamkan benda dalam kotak keramik itu pada tangan Arumi.
Arumi menatap benda yang erat berada di tangannya. Baru kali ini ia melihat kotak keramik secantik itu seumur hidupnya. Tapi ... rasanya ini seperti tidak asing, tapi di mana ia pernah melihat benda itu?
"Terima kasih, Nyo ...."
Ucapannya terhenti seketika pada saat wanita yang semula ada di hadapannya itu sudah lenyap dari pandangan. Kepala Arumi celingukan melirik ke sana ke mari. Namun, wajah itu kini sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.
Sesaat mengernyitkan dahi, lalu kemudian merasa mungkin memang Nyonya tadi sudah pergi ketika Arumi menatap kagum benda dalam genggamnya.
Sang idola yang ditemani asistennya itu masih tergolek dengan penampilan semula tanpa perban yang terbuka sedikit pun. Arumi melangkah, masih menggenggam benda tadi pemberian Dewi Pelangi.
Elang menghampiri, ia tahu betul dari benda itu siapa yang tadi datang menemui Arumi.
"Nona," ujar Elang.
Suatu kesalahan besar yang dapat membuat Dewi Pelangi dikurung selama ribuan tahun di paviliun penyucian jika hal itu diketahui Raja Petir. Bagaimana pun benda langit tak boleh digunakan manusia di bumi tanpa ada ijin langsung dari sang penguasa langit.
"Benda itu ...."
"Ini dari Nyonya cantik dengan tujuh gadis pengawal."
"Anda tidak boleh menggunakannya."
"Kenapa?"
"Itu ...."
Ck!
Elang melesat segera mengejar Dewi Pelangi yang ternyata sudah pergi melalui jalan yang ia ciptakan sendiri melalui tujuh warna melengkung ke langit di tengah siang bolong. Ia tak dapat mengejarnya secara terang-terangan karena kekuatannya tak cukup baik untuk menutupi identitas ketika siang. Akan banyak orang yang ketakutan jika sayap Elang berkibar dengan bebas menuju langit.
Ck, ahk, sial!
Ia kembali ke arah kamar itu. Mendapati perdebatan antara Arumi dengan asisten Nona Aila juga ditengahi Nina karena Arumi sendiri memaksa untuk membuka perban itu.
"Anda gila, Nona! Membuka perban Nona Aila sama saja ingin membunuhnya." Si asisten menjaga ketat pintu kamar karena Arumi memaksa untuk menerobos masuk ke dalam kamar.
"Tapi saya punya obatnya. Biarkan saya mengolesi luka-luka itu dengan obat yang saya bawa."
"Omong kosong macam apa ini? Dokter saja yang ilmunya lebih canggih sudah tidak sanggup mengobati luka Nona Aila. Anda mau saya laporkan dokter dan scurity?"
"Nona, sudahlah." Nina menengahi.
"Sejak awal kita sudah memperingatkan, tapi dia menolak dan seperti inilah akibatnya. Kini pun akan sama, lebih baik kita pulang."
"Tapi, Nina ...."
"Nona."
"Benar apa yang Nina ucapkan, Nona," ujar Elang, "lebih baik kita pulang sekarang."
Arumi menghela nafas panjang. "Baiklah. Padahal saya berniat baik untuk mengobatinya. Sayang sekali."
Ketiganya berlalu dengan kekecewaan. Berbeda dengan asistennya, rupanya Nona Aila justru ingin Arumi mengobatinya. Terbukti dari ia berusaha menggerakkan tubuh itu dan ....
BRUK!
***
Next ....