Sebelumnya, kisah ini hanya sebuah khayalan gila penulisnya semata. Jika kalian percaya Tuhan, maka berteguh pendirian saja hanya kepada Tuhan semata. Jika kisah ini mulai melenceng dari kepercayaan masing-masing, percayalah, niat penulis hanya untuk menghibur semata. Kekuatan Tuhan dan kuasa-Nya tetaplah segalanya.
...
Di sini, jauh dari alam langit ataupun alam berbau sihir lainnya, Arumi tumbuh menjadi seorang gadis cantik nan modis dan disukai banyak orang.
Tinggal di pusat Ibu Kota yang syarat akan kemewahan, tak ayal membuat Arumi merasa sombong ataupun berbangga diri dengan pencapaiannya. Ia seorang designer terkenal saat ini. Mengepakan sayapnya dalam usia muda, Arumi tentu melewati semuanya dengan tidak mudah.
Beruntung memang, keluarga Bakhtiar itu pada delapan belas tahun yang lalu bisa memiliki putri seperti Arumi. Lahir dengan ditemani cahaya keemasan di langit hingga aurora yang sebelumnya tak pernah terpancar di langit Ibu Kota.
Sayangnya, ia terkadang merasa risi pada saat orang lain hanya dapat melihat sebuah kursi kayu usang dan reyot tak layak pakai saja, tapi Arumi justru kerap dapat melihat bahkan mendengar beberapa kerumunan rayap di dalam kayu tua itu tengah menggerogoti. Dan kadang itu mengganggu konsentrasinya.
"Tolong singkirkan kursi itu dari hadapan saya," ujar Arumi pada asistennya.
"Apa perlu saya bakar, Nona?"
"Ah, tidak. Ada beberapa ekor rayap di dalamnya. Jika kalian bakar, itu bisa membunuh mereka."
Kedua pemuda itu mengernyitkan dahi mereka. Bagaimana Arumi bisa tahu jika di dalamnya ada sekumpulan rayap?
Namun, mereka hanya menuruti saja sambil sesekali menoleh ke arah Arumi yang tengah fokus pada potongan kain tanpa menyentuhnya sedikit pun.
"Ada apa, Nona?" Gadis berambut ikal yang kerap menemaninya itu meletakkan beberapa kertas berisi rancangan Arumi yang baru.
"Harusnya Nona Aila tak memilih bahan ini untuk pementasan lekuk tubuh di acara itu."
"Alasannya?"
"Nina, coba kamu hubungi beliau dan katakan jika di sana akan terjadi kebakaran. Dan karena bahan ini penyebabnya."
"Apa maksud anda?"
"Bahan ini memang cantik dan nyaman dikenakan, tapi dia sangat rentan terkena api karena nanti di panggung akan banyak sekali lilin pada saat dia bernyanyi. Dia memilih model yang teramat lebar, hingga ujung kain ini akan menyapu sebagian lilin itu. Kamu tahu? Dia wanita yang begitu anggun, tapi juga energik."
"Haruskah saya berbicara begitu pada beliau? Akankah beliau percaya pada saya? Percayalah, Nona. Dia akan menganggap anda gila."
"Nina, saya melihatnya. Tubuhnya akan terpanggang, hangus!"
"Kalau begitu, cari solusi untuk mencegahnya. Buatkan model pakaian yang tak terlalu rumit misalnya, short dress yang anggun. Lagi pula saya rasa itu sekedar ketakutan anda semata."
Ya, mungkin.
Nina kembali pada aktivitasnya, memeriksa berbagai deretan mutiara di bagian leher gaun putih berbentuk baju seorang bidadari.
"Oh, iya. Seseorang mengirimi anda bunga." Mata gadis itu mengerling cantik.
"Siapa?"
"Seperti biasa ...."
"Oh, yaampun. Jangan lagi."
...
Bian Guntur ....
Sebenarnya ia bisa saja menjadi komandan pengawal pasukan presiden jika mau. Bahkan menjadi panglima perang juga rasanya tidak salah.
Tubuhnya yang indah bak seorang jendral itu memang tak ada celah kekurangan yang tampak sedikitpun.
Dia lagi-lagi harus menunggu keluarnya Arumi dari tempat persembunyiannya. Gadis itu begitu geli padanya, atau bahkan mungkin agak ilfeell.
Kenapa pula dia harus mengirimkan bunga setiap hari? Memenuhi ruangan kosong yang seharusnya berfungsi sebagai tempat tamu berdatangan, kini seolah menjadi taman bunga dalam ruangan.
Satu lagi, buket bunga daisy yang cantik, bertuliskan WILL YOU MARY ME itu seolah menambah sesaknya ruangan berukuran 3x3m².
Matanya jeli menoleh ke arah jam melingkar di lengannya, ini sudah waktunya Arumi ke luar dari tempat persembunyian.
Mulut monyong bersiul, kedua tangan membentuk rambut seklimis mungkin. Kedua alisnya bermain dengan genit, saatnya ia membuka pintu, membiarkan Arumi berjalan di red karpet yang sudah ia sediakan.
Gadis itu tetegun sebal, ia melipat tangan dan menggelengkan kepala penuh keheranan.
"Kamu lagi." Menarik nafas panjang, begitu melelahkan.
"Nina, katakan pada mereka tanam bunga-bunga ini di belakang toko."
"Haha, kamu mau menanam cinta kita kan, sayang?" Guntur bergaya ala Elvis Presley. Yang sudah ketinggalan jaman sebenarnya.
"Huh, saya cuma kasihan sama mereka yang kegersangan."
"Mereka?" Kedua alis mengerut tidak mengerti.
"Kamu tidak dengar mereka menangis karena kehausan?"
Arumi berlalu.
Sedangkan Guntur masih tertegun karena memang tanpa sadar ia pun mendengar tangisan itu. Jadi, suara ricuh itu dari bunga-bunga yang ia kirim?
Perlahan dengan ragu, kakinya melangkah, mencondongkan kepala pada rimbunan bunga yang nyaris layu.
"Lapar ... haus ...."
Itulah suara yang terdengar membuat bulu kuduk berdiri. Apa ini? Kenapa suara para bunga itu kian terdengar jelas?
Apa dia sudah gila? Tapi ... atau ini sekedar mimpi?
Sekelompok para asisten laki-laki di tempat itu mengangkut deretan bunga untuk dipindahkan menuju halaman belakang bangunan. Ternyata semua bunga yang pernah Guntur bawa terurus dengan baik.
Mereka sehat, tampak ceria. Bahkan seperti ada ukiran senyum ke arah Guntur pada saat siraman air membasahi dahan-dahan itu.
"Kalian, hantu?"
Pertanyaan itu sontak membuat para pekerja halaman memandang aneh padanya.
"Kami manusia, Pak," jawab salah satu dari mereka.
"Ah, bukan kalian, tapi ini." Menunjuk pada salah satu bunga yang kemudian menggelisik nyaman ke ujung jemarinya. "Tuh, dia gerak."
"Ya jelas dia gerak, kan Bapak yang narik ke genggaman."
Hih, Guntur bergidik ngeri. Segera ia pergi dan tak lagi ada hasrat untuk membawakan bunga pada Arumi.
Kepalanya terngiang seperti mengingat sesuatu. Ingatan macam apa ini? Kaisar, panglima, Kerajaan Langit?
Ah, sakit sekali kepalanya!
Guntur mencengkeram dengan erat, berusaha untuk tetap fokus saat mengemudi, tapi ....
BRUK!
Mobilnya menabrak pohon menjulang tinggi di sudut jalan.
***
Next ....