"Nona, Nona Arumi."
Itu seperti suara Nina yang tengah membangunkannya dari pingsan selama lima jam tak sadarkan diri.
Arumi membuka matanya, ruangan itu sangat familiar karena ini memang kamarnya sendiri. Seingat dia, beberapa detik yang lalu dirinya tengah berada di hamparan luas savana di atas puncak gunung yang tinggi bersama Nina juga bodyguardnya itu.
Kini yang ada hanya Nina, itu pun wibawa yang semula menghiasi raut wajahnya itu kini sudah tidak tersisa.
"Anda pingsan begitu lama. Entah sudah berapa ratus kali Nona Aila menghubungi anda."
"Nona Aila? Bukankah barusan saya sedang berada ... kita ...."
Nina tampak polos, bahkan ia memang tidak mengerti apa yang Arumi bicarakan. Ah, sudahlah. Mungkin tadi Arumi memang tengah bermimpi dalam pingsannya.
"Ini sudah malam ya?" Arumi menekan pelilisnya. "Kenapa dengan saya?"
"Anda pingsan di dalam mobil tepat di samping jalan dekat lampu merah." Nina menyiapkan segelas teh manis untuk menghangatkan tubuh Arumi. "Bodyguard baru itu yang membawa anda pulang."
"Jadi bodyguard itu nyata?"
"Hem?"
"Ah, sudahlah. Siapa yang membayar seorang bodyguard untu kengikutiku?"
"Tuan wali kota yang menyewanya."
"Papa?"
"Iya. Laki-laki itu diambil dari deretan tentara yang mengisi pasukannya." Menyodorkan minum itu. "Namanya Elang, matanya tajam seperti elang. Dan yang pasti, dia ganteng." Nina tersenyum meringis.
"Kamu menyukainya?" Sesaat Arumi mereguk minumnya.
"Ih, siapa yang tidak tergoda dengan wajah tampan seperti dia? Tubuh tinggi, atletis, tampan, beralis tebal ... ah, ganteng banget."
"Ck, tak biasanya kamu genit seperti ini." Arumi tersenyum geli.
"Nona, apa anda tahu? Tadi dia menyapa saya, mengatakan sesuatu." Membenarkan kacamata yang mulai merosot itu.
"Apa katanya?" Nampaknya Arumi sedikit tertarik. Ia meletakkan gelas dalam genggamannya ke atas nakas di samping tempat tidur.
"Katanya ... Nona cantik, apa anda punya camilan?"
"Hah? Benarkah? Semoga berjodoh ya."
Melihat dari tingkah Nina yang jauh berbeda dengan wanita yang mirip tadi bersamanya tentu jauh berbeda. Apa ini sebenarnya?
Ingatannya kembali melayang ke arah di mana ia nyaris saja mengetahui sesuatu. Tapi itu apa? 'Dewi Aurora', nama itu seolah terus terngiang dalam ingatannya.
"Emh, Nina, apa kau tahu sesuatu?"
"Tentang apa?"
"Kamu tahu legenda tentang Dewi Aurora?"
"Dewi Aurora? Setahuku itu hanya cerita rakyat biasa, sejenis dongeng sebelum tidur."
"Kamu tahu bagaimana ceritanya?"
"Kalau tidak salah, Dewi Aurora adalah putri dari seorang kaisar di langit. Dia jatuh cinta kepada rekannya sendiri yang merupakan panglima perang di alam langit."
"Kamu tahu siapa nama pemuda itu?"
"Hamba tidak tahu, Tuan Putri." Nina tergelak memperagakan seorang dayang yang berbicara dengan junjungannya.
Arumi menghela nafas, ia berpangku tangan memikirkan semua yang baru saja terjadi itu memang tidak masuk akal sama sekali.
Tadi, baru saja bahkan yang ia tahu. Dirinya baru meninggalkan rumah sakit dan pergi ke alam yang ia sendiri tidak begitu mengenalnya. Ternyata itu sekedar mimpi dibalik pingsan selama lima jam.
"Bagaimana dengan Guntur?"
"Mobilnya ringsek, ajaibnya dia tidak apa-apa."
Berarti benar tentang hilangnya luka itu? Berarti kejadian di rumah sakit memang bukan sekedar mimpi? Tapi bagaimana bisa?
"Ada apa?" Nina menutup gordeng kamar yang ia maksud pula akan mematikan lampu kamar karena hari sudah menunjukan tepat pukul sepuluh malam.
"Di mana bodyguard itu?"
"Dia sudah pulang. Apa lampunya perlu saya matikan?"
"Emh, tidak perlu. Saya juga akan menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal. Katakan besok pada Nona Aila jika pakaiannya sudah siap." Memijit pelipisnya, bingung.
"Baiklah, kalau begitu saya pergi ke kamar dulu. Anda mau saya bawakan segelas susu?"
"Hm."
Masih tidak dapat difahami dengan nalar manusia biasa. Meski Nina sudah berlalu dari kamarnya, ia tidak melihat ada sifat yang sama antara gadis itu dengan sosok yang tadi bersamanya di dalam mobil.
"Ini, Nona."
Arumi terperanjat, bagaimanapun kedatangan Nina yang terkesan tiba-tiba itu memang mengagetkannya.
"Kamu mengejutkan saya," hardik Arumi.
Nina tertawa kecil, "saya merasa jika anda tengah tertarik dengan bodyguard itu kan, Nona? Hihi, ayolah ... dia memang tampan. Bahkan tak setampan penggemar setia anda." Nina menyenggol lengan Arumi untuk menggodanya dengan kedipan-kedipan genit itu.
"Sudah, pergi sana, bukannya kamu mau tidur?"
"Hmmm ...."
...
ALAM LANGIT ....
"Bagaimana dengan Aurora di bumi?"
Butir kristal sebesar biji kelereng berkilau cahaya keunguan itu mengeluarkan suara khas penuh wibawa.
"Paduka," ucap seorang berbaju bangsawan sambil menyembah, ia rengkuh menekuk sebelah kakinya. "Putri baik-baik saja. Seekor ular putih nyaris membunuhnya tadi."
"Ular putih? Apa itu hewan spiritual milik Jendral Guntur?"
"Benar, paduka."
"Bunuh makhluk itu!"
...
Semalaman hingga pagi menyelesaikan sebuah gaun dengan sendirian setidaknya membuat Arumi merasa ada yang berat di tengkuknya. Sesaat ia menggerakkan kepala ke kiri dan kanan, berharap rasa ngilu itu berkurang.
"Selamat pagi, Nona. Anda semalaman di tempat ini?"
Ruangan kerja pribadi. Nina membuka satu persatu tirai di ruangan itu membuat sinar mentari yang semula malu-malu itu kian berani menyentuh tubuh Arumi. Memicingkan kedua matanya silau serta berlindung di balik tangan melindungi matanya.
"Hubungi Nona Aila, saya akan menemuinya hari ini."
"Anda tidak mau istirahat terlebih dahulu?"
"Itu bisa dilakukan nanti. Persiapkan saya sepotong sandwich dan segelas susu untuk sarapan."
"Baiklah."
Sesaat menatap wajahnya di hadapan cermin wastafel memerhatikan ada yang aneh mungkin dengan dirinya. Seekor laba-laba menghampiri, membisikan sesuatu.
"Dewi Aurora."
"HAH?!"
Kembali seekor hewan membuatnya tidak merasa tenang dalam satu ruangan.
"Nina, bersihkan kamar mandi saya dari laba-laba!"
...
Arumi berdampingan dengan Nina menunggu seorang bintang dalam ruangan selebar 2x2m² itu. Dua gelas dalgona sudah menemani keduanya sejak tiga puluh menit yang lalu. Mungkin efek dingin itu sudah berkurang karena banyaknya embun saling menyembul pada bagian luar kemasan minuman itu sedikit membasahi meja.
Tak mereguknya sedikitpun, ada perasaan tidak percaya diri akan hasil dari pekerjaannya semalam. Arumi merubah sedikit model gaunnya dan juga bahannya. Tak ingin mimpi itu menjadi kenyataan pahit yang berujung tragis hingga merenggut nyawa seseorang.
"Apa kalian sudah menunggu lama?"
Suara merdu dari seorang wanita anggun yang baru saja keluar dari ruangan rekaman kedap suara. Dia sungguh cantik, bahkan Arumi sendiri kerap merasa iri akan kecantikan wanita yang mengembangkan senyum itu.
"Baru tiga puluh menit," jawab Arumi bersalaman lalu kembali duduk menyilang kaki dan kedua tangannya.
"Saya mendapat kabar dari Nina, katanya gaun yang saya pesan sudah selesai?" Sambil menoleh ke arah Nina lalu kembali pada paper bag yang berada di samping Arumi.
"Ah, iya. Saya telah merubah modelnya sesuai dengan keinginan anda."
"Tetap menggunakan bahan yang saya minta kan?" Kedua matanya berbinar penuh harap.
Arumi tersenyum. "Mohon maaf, bahannya saya ganti, Nona."
Harapan Nona Aila sepertinya pupus seketika. Ia segera merogoh isi dari paper bag itu dan membuka lipatan gaun yang sedikitpun tidak membuatnya tertarik.
"Apa ini?" melempar gaun itu tepat ke hadapan Arumi yang tengah menunduk. "Kemarin sudah saya katakan tetap mau bahan dan model yang awal. Ada apa dengan anda? Alasan apa lagi? Kebakaran pada saat bernyanyi atau bahkan mungkin tubuh saya dibakar orang dengan sengaja? Kamu tahu? Saya tidak pernah sedikitpun percaya pada ramalan konyol seperti ini!" Menggebrak meja dengan emosional.
"Nona, mungkin sebaiknya anda pakai ini terlebih dahulu. Saya yakin ini cocok untuk anda." Nina mencoba melindungi tuannya.
"Apa? Kamu suruh saya pakai baju dengan bahan murahan seperti ini?"
"Tapi Nona Arumi sudah mengerjakan ini semalaman hanya demi anda. Dan saya pikir dia tidak mungkin mengkhawatirkan sesuatu tanpa dasar yang logis."
"Dasar yang logis kamu bilang? Dia mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi!"
"Tidak ada salahnya sesekali kita mengantisipasi hal buruk yang belum terjadi. Karena memang acara itu selalu dipenuhi lilin kecil di sebagian panggung."
"Antisipasi apa?! Seharusnya sejak awal saya antisipasi untuk tidak memesan pakaian dari tuanmu ini!"
"Emh, begini." Arumi mencoba untuk mencari jalan keluar dari masalah yang ia buat. "Bagaimana jika saya buatkan lagi anda sebuah gaun, yang saya pasti anda akan menyukainya. Dan saya berikan itu secara gratis sebagai permohonan maaf saya kepada anda."
"Sudah! Saya tidak perduli kamu anak wali kota ataupun presiden sekalipun. Yang saya tahu, kamu tidak profesional dalam bekerja. Dan saya tidak bisa untuk tetap jalin kerjasama dengan orang yang tidak profesional seperti anda!"
Nona Aila menunjuk lurus ke arah wajah Arumi yang memerah menahan rasa kecewa pada dirinya sendiri.
"Akhir seperti ini yang anda inginkan, Nona?" tanya Nina yang juga turut kecewa ketika Nona Aila sudah pergi dari ruangan itu. "Saya tahu anda anak pejabat dan tidak mungkin kelaparan meski karier anda hancur. Tapi, coba lihat saya yang bergantung kepada anda, lihat juga karyawan lainnya yang tidak mungkin untuk ayah anda tampung semuanya. Saya dan mereka mengandalkan anda setiap saat."
"Nina, saya ...."
"Ada apa dengan anda? Saya sungguh tidak mengerti sama sekali."
Nina menggeleng kecewa dan turut meninggalkan Arumi dalam ruang yang terasa hampa itu.
***
Next ....